Saya berharap masa landai turisme ini bisa diutilisasi Kemenparekraf dan otoritas lokal untuk berbenah agar standar turisme Indonesia meningkat. Perlu fokus pada akar masalah, bukan terjebak kosmetika.
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
Setelah dua tahun pandemi menghalangi liburan menginap, saya mulai ke luar kota beberapa bulan lalu. Saat membuka koper di hotel, saya tersadar lupa membawa 1-2 hal. Bulan depannya, saya kelupaan sesuatu lagi. Padahal sebelum pandemi, saya mengepak koper komplet dalam 30 menit.
Lupa karena lama tak melakukan bisa berbahaya bila bukan sekadar terlupa krim malam, tapi prosedur keselamatan. Isu penting ini diangkat oleh seminar pembuka di Deep & Extreme Indonesia, pameran tahunan olahraga dan wisata laut yang diselenggarakan baru-baru ini di Jakarta.
William Ziefle, CEO dari Divers Alert Network (DAN), organisasi nirlaba tentang keselamatan penyelam, menyebutkan naiknya angka kecelakaan scuba diving di beberapa negara setelah pandemi mereda. Secara terpisah, Ziefle memberikan statistik kasus darurat yang ditangani DAN di Amerika Serikat yang menunjukkan angka sepanjang 2022 hanya sedikit di bawah 2019 walau kegiatan menyelam belum menormal. Artinya, rerata tingkat kecelakaan meningkat. Bayu Wardoyo dari DAN Indonesia mencatat 5 kasus darurat sejauh 2022, dibandingkan 3 pada 2019.
Menyikapi ini, DAN yang baru terbentuk di Indonesia, merencanakan serangkaian kegiatan pelatihan penyelamatan darurat kepada staf diving center dan nakes di daerah penyelaman yang populer. Tidak mudah, mengingat Indonesia bukan saja luas namun juga terpencar dalam ribuan pulau dengan jalur transportasi umum yang belum mumpuni.
Tapi permasalahan wisata kita bukan hanya keselamatan pribadi dan transportasi umum. Infrastruktur dasar, infrastruktur wisata, kesiapan warga lokal berinteraksi dengan wisatawan, sampai kedisiplinan mengantre dan menjaga kebersihan adalah tumpukan masalah wisata di Indonesia. Paling tidak, itu yang saya kerap temui saat berburu kuliner atau kriya di area urban sampai saat berkelana snorkelling ke pulau-pulau kecil di semua zona waktu Indonesia. Tak usah jauh-jauh, minggu lalu saat berwisata sejarah di seputar Kota Tua Jakarta saja saya sempat tersandung sampah.
Saat dihadapkan pada observasi di atas, Alexander Reyaan, Direktur Wisata Minat Khusus Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), mengakuinya sambil menyebutkan program sosialisasi Kemenparekraf dengan warga kawasan pariwisata untuk bertahap mengatasinya.
Saya berharap Kemenparekraf dan otoritas lokal tujuan wisata serius mengatasi permasalahan dasar wisata karena, mengacu pada presentasi Kemenparekraf pada seminar yang sama, turisme yang ditargetkan sekarang adalah turisme berkualitas. Pengukur yang dipakai Kemenparekraf adalah durasi, pengeluaran perkepala, dan pengalaman wisata. Wisatawan hanya akan berkunjung lama, mengeluarkan uang banyak, dan mengejar pengalaman mendalam bila infrastruktur sudah mumpuni dan hambatan lain minim.
Apa saja wilayah tujuan wisata yang akan diangkat Kemenparekraf saat ini? Masih berdasar presentasi pada seminar pembuka Deep and Extreme 2022, 5 pilot project tujuan wisata adalah Plataran Menjangan, Mangrove Tembudon, Pantai Tiga Warna, Bukit Peramun dan Mangrove Klawatu.
Saya beruntung sudah mengunjungi Pantai Tiga Warna beberapa tahun lalu. Saat itu, kawasan tersebut dikelola warga dan komunitas peduli lingkungan setempat. Saya dan teman-teman seperjalanan harus mendaftar masuk melalui Facebook, yang jumlahnya dibatasi per hari, dan sepanjang perjalanan ditemani pemandu lokal yang menjelaskan topografi kawasan. Bukitnya tidak susah disusuri dengan hiking. Pantainya bersih dan air lautnya biru jernih; saya sempat berenang dan mengobrol santai dengan nelayan perawat terumbu karang di bibir pantai. Bila saat berwisata kami menghasilkan sampah non-organik seperti plastik kemasan, maka kami harus membawanya kembali keluar di akhir perjalanan. Butuh waktu seharian dari Malang untuk mengunjungi pantai tersebut, tapi kami sungguh terkesan.
Pilihan Plataran Menjangan mengingatkan saya bahwa grup perhotelan yang sama mendapat konsesi besar dalam pengembangan Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur dan ditentang barisan aktivis lingkungan hidup, terutama dalam sisi konservasi habitat komodo. Dari sependek pengalaman saya menginap di jaringan mereka di Magelang dan Bromo saya akui keunikan model usahanya dalam melibatkan penduduk dan kehidupan sekitar. Secara umum saya tak otomatis antipati pada kiprah swasta dalam program Pemerintah, tetapi saya berharap ada proses seleksi awal dan peninjauan kinerja yang obyektif saat konglomerasi swasta dilibatkan dalam proyek-proyek sepenting ini.
Paling tidak, Kemenparekraf cukup realistis bahwa target tahun ini adalah wisatawan domestik, mengingat keterbatasan penerbangan internasional setelah pandemi. Estimasi saya, target ini tetap realistis sampai 2023 karena ancaman resesi global. Setelah tabungannya dikuras untuk membayar biaya pemanas yang pasti naik musim dingin ini, sementara rute penerbangan mungkin akan tetap terbatas karena melonjaknya harga avtur, bisa jadi sedikit turis asing yang mampu pergi jauh dan lama untuk menikmati Indonesia tahun depan.
Apakah turis domestik akan tetap bisa pelesir tahun depan? Menarik membaca ulasan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri awal minggu ini yang memproyeksikan bahwa karena kaitan Indonesia ke perekonomian global melalui ekspor tak terlalu besar maka resesi global relatif tak akan terlalu mendera, dengan risiko saat perekonomian global bangkit nanti Indonesia juga tidak terkerek kilat.
Siapa pun yang akan datang, tak kuasa dipungkiri bahwa turisme Indonesia butuh wisatawan kembali datang. Sepanjang mengikuti seminar dan mengitari pameran, saya terbayang wajah pemandu wisata, kru kapal, penjual makanan, penjaja suvenir dan pemilik penginapan dari Maratua, Tambolaka sampai Kaimana. Saya terpikir pengemudi yang mengantar kami dari Pekanbaru ke Siak, atau supir kawakan yang mengantar kami menyeberang dari Sarawak ke Pontianak. Saya teringat bagaimana pelabuhan Banda Naira sontak meramai tiap kapal Pelni merapat, menurunkan pedagang dan wisatawan.
Saya sungguh berharap masa landai turisme ini bisa diutilisasi Kemenparekraf dan otoritas lokal untuk berbenah agar saat turis ramai lagi standar turisme Indonesia sudah meningkat. Tentunya perlu fokus pada akar masalah, bukannya terjebak kosmetika. Misalnya, memperbaiki toilet di seluruh tujuan wisata agar layak dan berstandar, ketimbang membangun toilet premium berbayar di lokasi terkenal.
Namun karena harapan saya ke Pemerintah terlalu sering jadi arang, saya akan bertanya saja ke sidang pembaca yang berjiwa petualang—sudah siap terjun kembali ke laut kah kita?