Teman-teman pencinta batik garis keras umumnya menolak mengklasifikasikan batik cetak sebagai batik, sebagian bahkan tak sudi memakainya. Banyak yang memilih berburu batik tulis dan cap lawas.
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
Hari ini pada 2009, UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi. UNESCO menyebutkan bahwa teknik, simbolisme, dan budaya yang terkait pada pembuatan batik layak masuk sebagai warisan dunia.
Ibu saya adalah putri pebatik Surakarta yang menyaksikan ibunya mengurus grup pebatik di rumah dan kedai batik di pasar. Batik pertama yang beliau hadiahkan adalah selendang kecil batik tulis yang saya pakai menggendong boneka. Saat saya kecil, batik umum dipakai sebagai kain adat, kemeja pria, dan seragam sekolah. Saya sempat melihat batik dianggap kuno sebelum bangkit pada akhir 1990-an. Makin ke sini makin beragam bahan, teknik dan aplikasinya pada busana jadi. Dari katun, sutra, dan rayon. Untuk gaun pesta, dasi, taplak meja, tutup galon air mineral, dan bikini.
Bahkan, batik yang secara tradisional diciptakan melalui teknik tulis dan cap sekarang diproduksi masal melalui teknik cetak tekstil. Dan, di sinilah debat terjadi.
Bila mengacu pada sejarahnya, batik tulis dan cap adalah kriya yang datang dari inspirasi di kepala sang pebatik, dituangkan melalui gerak tangannya ke sehelai kain, lalu diproses panjang oleh petugas pewarnaan. Banyak pebatik tradisional, terlepas agamanya, yang sampai puasa dahulu sebelum memulai sehelai kain baru. Individualitas pelaku dan cuaca penting berperan sehingga tak mungkin dua helai batik tulis atau cap dari pola yang sama oleh pebatik dan pencelup warna yang sama, tetapi dalam waktu berbeda, akan persis sama. Mirip, mungkin. Persis sama, tidak. Tidak heran UNESCO memberikan pengakuan terhadap kesakralan proses ini. Tak heran juga harganya tidak rendah—proses berminggu, kadang berbulan, tak pantas dihargai murah. Namun, akibatnya, seiring meningkatnya harga bahan baku dan tingkat upah, batik tulis dan cap tak terjangkau bagi banyak masyarakat Indonesia.
Kreativitas individual pada batik cetak terjadi pada desain awal, semua proses selanjutnya dilakukan mesin. Lebih efisien dan efektif dalam mereplikasi sehingga bisa diproduksi banyak dan harganya lebih terjangkau. Batik cetak, yang harus diakui kualitasnya membaik dan lebih mudah diproduksi dalam berbagai jenis kain, sekarang jadi sumber terpopuler untuk busana kontemporer dan seragam berbagai fungsi. Namun, karena prosesnya nyaris tanpa sentuhan individual dan sama persis dengan tekstil lainnya, apakah tetap bisa disebut batik?
Teman-teman pencinta batik garis keras umumnya menolak mengklasifikasikan batik cetak sebagai batik, sebagian bahkan tak sudi memakainya. Banyak yang memilih berburu batik tulis dan cap lawas di tukang loak ketimbang ”menyerah” pada konsensus dan memakai batik cetak.
Di sisi seberangnya, saya punya teman-teman yang lebih praktis memandang isu. Bagi mereka, di tengah serbuan tekstil impor kontemporer, yang lebih penting adalah mempertahankan kecintaan pada warisan budaya. Cinta harus dimulai dari kenal. Bagaimana bisa kenal apabila tak mampu membelinya? Bahkan, bagi yang berkantong tebal, tetapi baru mengenal batik di permukaan, cenderung sulit seketika mengeluarkan uang besar untuk membelinya.
Kedua argumen ada benarnya. Selain harga yang tinggi, batik tulis dan cap kadang terbatas pemakaiannya selain sebagai kain tradisional, padahal kehidupan sekarang lebih membutuhkan pakaian modern. Alur motif batik klasik acap membentuk narasi yang sulit atau sayang apabila dipotong untuk dijahitkan sebagai baju jadi. Demi memperluas pasar, banyak perusahaan batik yang sejak awal memolakan karya tulis dan capnya agar mudah dipotong, contoh terbaik adalah kain batik berpola untuk kemeja pria, tetapi harganya tak lantas menjadi lebih murah. Saya bisa paham dan mendukung demokratisasi akses dan pilihan pada batik cetak.
Di lain pihak, jujur saya sering jengkel karena menemukan batik cetak yang asal tabrak motif, atau pakaian jadi dari batik cetak yang terbalik motifnya. Ibu saya, yang dibesarkan dalam pakem batik klasik, kerap menghela napas panjang saat motif parang besar-besar, yang dimaksudkan untuk lelaki, dipakai perempuan. Boro-boro filosofi dibaliknya, bentuk dan pemakaian motif saja sudah asal comot. Saking mudahnya ”menembak” motif, apalagi dengan akses Internet, sekarang bahkan sudah ada batik cetak meteran atau gulungan yang datangnya dari China—sebagaimana diceritakan dengan gusar oleh beberapa pebatik Pekalongan ke saya hampir sedekade lalu.
Lalu, apa jalan keluar dilema ini? Saat ini saya tak punya ide brilian selain jawaban normatif bermodal harapan bahwa dengan memakai batik cetak yang dibarengi edukasi, pemakai akan kemudian tertarik mengenal dan, setelah menghargai kesulitan tekniknya dan mampu membelinya, beralih ke batik cap dan tulis sehingga warisan budaya ini berumur panjang.
Itu dari sisi demand, dari sisi supply, ribuan pengusaha batik terus berjuang mengarungi zaman. Yang tak digerus pandemi sekarang menghadapi inflasi dan perubahan iklim. Saat di Tasikmalaya, minggu lalu, seorang pemilik batik terkenal mengeluh bahwa tak menentunya cuaca membuat beberapa warna gagal ”keluar”, yang lalu membuat saya berpikir betapa makin sulitnya bagi pebatik Lasem dan Tiga Negeri yang amat bergantung pada semburat dan kepekatan warna.
Menyiasati selera kalangan muda, Batik Mahadewi dari Sragen mantap keluar dari palette warna sogan kecoklatan khas Surakarta dan konsisten menawarkan batik tulis dan cap dalam warna pastel dan cerah.
Saat berkunjung ke museum Batik Danar Hadi sedekade lalu, saya bahkan melihat gulungan batik cetak yang dijual per meter, sesuatu yang membuat saya lega karena tentunya institusi sesenior Danar Hadi tidak akan serampangan dalam memilih motif dan warna untuk batik cetakan.
Ada juga perusahaan seperti Batik 2 Nyonya yang mengaryakan (upcycle) batik lawas untuk pakaian jadi kontemporer. Sebagai seseorang yang senang berburu batik lawas apabila mampu, saya acap menemukan batik lawas cantik yang sayangnya sudah pudar, sobek, atau rapuh. Dengan memakai bagian yang masih layak sebagai bahan pakaian, minimal sepotong warisan zaman terselamatkan.
Hartono Sumarsono, kolektor batik legendaris yang juga pemilik merek pakaian jadi batik Kencana Ungu, juga merintis jenama baru kelas premium yang mengambil inspirasi dari batik-batik lawas tulis dan cap yang ia koleksi. Ribuan batik yang ia koleksi, sebagian besar langka dan pantas masuk museum, dibukukan berseri dan jadi sumber belajar bagi pencinta batik seperti saya.
Demikian etalase dunia batik dan dilema demokratisasinya saat ini. Apabila boleh tanya, Anda pakai batik apa pada Hari Batik ini?