Ratu Elizabeth II dan 70 Tahun Teknologi
Berbagai perubahan zaman kemudian dihadapi Elizabeth II, terutama karena percepatan teknologi. Selama ratusan tahun, komunikasi monarki hanya tertulis. Saat George VI naik, radio sudah hadir.
Elizabeth Alexandra Mary menjadi ratu Inggris karena dua, bukan satu, kebetulan.
Saat Edward VII naik menggantikan ibunya, Victoria, pemimpin monarki Inggris terlama saat itu, putra sulungnya sendiri telah mendahuluinya karena pandemi flu. Wafat 9 tahun kemudian, ia diganti putra keduanya, George V.
Putra mahkota dari George V adalah sulung tampan yang jatuh cinta kepada Wallis Simpson, istri orang yang pernah bercerai sebelumnya. Tak lama, Wallis bercerai kedua kalinya. Kerajaan, gereja, dan Pemerintah Inggris kian menentang. Walau secara konstitusi naik takhta setelah ayahnya mangkat, tekanan memaksa Edward VIII mengundurkan diri dalam setahun. Adiknya bertakhta sebagai George VI. Elizabeth, anak sulung George VI, baru berusia 10 tahun.
Dua kebetulan, bukan satu.
Lima belas tahun kemudian Elizabeth, ibu muda dengan dua anak balita, menggantikan ayahnya yang wafat karena kanker paru. Sebagai kepala negara baru dan masih muda pada 1952, Ratu Elizabeth II harus bekerja sama dengan kepala pemerintahan yang jauh lebih tua dan berpengalaman, Perdana Menteri legendaris Winston Churchill, mengurus Inggris yang baru bangkit pasca-PD II.
Baca juga: Seni Menggeliat Keluar dari Pandemi
Berbagai perubahan zaman kemudian dihadapi Elizabeth II, terutama karena percepatan teknologi. Selama ratusan tahun, komunikasi monarki hanya tertulis. Saat George VI naik, radio sudah hadir. Walau memungkinkan rakyat mendengar langsung suara pemimpinnya, sempat menyulitkan sang raja yang ternyata gagap. Film The King’s Speech (2010) mengisahkan mundurnya Edward VIII dan ikhtiar George VI bertugas sambil mengikuti terapi bicara.
Elizabeth II dihadapkan dengan televisi. Upacara penobatannya pada 1953 adalah penobatan Inggris pertama yang diliput langsung oleh TV. Ekspresi wajah dan bahasa tubuh, termasuk spontanitas, kini tertangkap kamera. Ruangan untuk salah bersikap di publik kian menyempit.
Dua dekade berikutnya, tatanan sosial di Barat tegas bergeser. Bertahapnya penyetaraan ras dan jender melahirkan generasi yang lebih ekspresif dan bebas. Elizabeth menikahi cinta monyetnya, tetapi pergeseran norma 1960-1970 menyulitkan memilih pendamping putra mahkota yang ”tanpa masa lalu”. Dari sekian wanita yang dikencani Charles sampai usia 30-an, hanya Lady Diana Spencer yang dianggap layak dinikahi. Cantik, ningrat, baru 19 tahun, dan dipercaya masih suci. Menurut data BBC, pernikahan mereka pada 1981 ditonton 750 juta orang di 74 negara, lebih dari 15 persen populasi dunia saat itu.
Sayangnya, rangkaian skandal memisahkan Charles dan Diana 11 tahun kemudian, bersamaan bubarnya pernikahan anak-anak lain Elizabeth II dan terbakarnya Kastil Windsor. Charles dan Diana saling memublikasikan kisah intim mereka. Karena media elektronik telah tumbuh menjadi jaringan kabel dan berita 24 jam, semua detail memalukan terpampang sedunia, terulang tiap jam.
Baca juga: Tentang 77, 350, dan Hal-hal Historis Lainnya
Melalui itu semua, Elizabeth II cenderung diam tanpa ekspresi. Entah mengikuti kebiasaan leluhurnya atau karena sadar reaksi apa pun bisa disalahartikan. Ia tak pernah diwawancara dan hanya berkala memberikan pernyataan publik. Meneguhi batas konstitusi sebagai kepala negara, ia tak mencampuri politik dan pemerintahan. Semua sisi kehidupannya mengikuti protokol—tak memegang uang, tak perlu SIM saat berkendara, tak butuh paspor saat ke mancanegara. Setelah lama dikritik, Ratu dan putra mahkota mulai membayar pajak pendapatan pada 1993.
Dunia di luar pagar istana berputar lebih jauh dan kematian Diana tahun 1997 menegaskan jarak itu. Film The Queen (2006) mengilustrasikan rakyat yang meratapi Diana merasa diabaikan Kerajaan. Sementara bagi Kerajaan, setelah cerai, Diana bukan lagi anggota keluarga. Angka popularitas Kerajaan terjun bebas. Prosesi pemakaman Diana yang akhirnya diadakan adalah kompromi protokol Kerajaan atas desakan rakyat dan PM Tony Blair sebagai kepala pemerintahan.
Popularitas Kerajaan mulai pulih setelah cucu-cucu Elizabeth II mendewasa. Pernikahan penuh cinta William dengan Kate Middleton pada 2011 menepis kabut perceraian generasi sebelumnya. Mungkin karena pacaran lama, termasuk serumah saat William bertugas di Anglesey. Kate yang non-bangsawan terlihat cepat beradaptasi. Sempat enggan terseret era internet, Kerajaan akhirnya memiliki akun media sosial yang dikelola humas profesional.
Namun, dunia bergulir lebih cepat lagi. Krisis imigran dan gejolak politik domestik bermuara pada keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Eksploitasi semasa kolonialisme Inggris menjadi diskursus serius; banyak negara menuntut balik harta yang dirampas, minimal pernyataan maaf. Bekas koloni mulai melepaskan Elizabeth II sebagai kepala negara. Pandemi dan krisis energi karena perang Rusia-Ukraina mengguncang perekonomian. Pernikahan Harry dengan Meghan Markle tahun 2018 yang tadinya diharapkan membantu Kerajaan menjadi lebih inklusif malah menjadi pintu air bah karena teror rasis oleh tabloid Inggris mendorong pasangan muda ini pindah negara. Kasus pelecehan seksual Andrew makin mencoreng citra Kerajaan.
Baca juga: Gempar Kepak Sayap Mancanegara
Benar bahwa dalam dekade terakhirnya Elizabeth II terlihat berusaha mendekatkan citranya dengan selera rakyat. Adegan terjun payung bersama James Bond untuk pembukaan Olimpiade 2012 dan acara minum teh bersama Paddington Bear untuk Platinum Jubilee 2022 mendapat sambutan hangat. Dedikasinya kepada tugas pun tetap tergambar saat ditinggal wafat suami pada usia 95. Ia duduk sendiri di gereja demi meneladani protokol pandemi, sedangkan PM Boris Johnson ternyata berpesta malam sebelumnya. Mundur kesehatan sesudahnya, termasuk terpapar Covid, ia bertahan untuk perayaan Platinum Jubilee yang telah lama disusun dan mengukuhkan Liz Truss sebagai PM kelimabelasnya.
Di lain pihak, selain pidato bernada rekonsiliasi di Irlandia Utara, Elizabeth II tak pernah minta maaf atas kolonialisme Inggris. Ia jarang menjelaskan sisi ceritanya atas berbagai drama yang melibatkan keluarganya. Inggris yang ia tinggalkan lebih kecil dari Inggris yang ia warisi, di mana media sosialnya berdebat sengit tentang diri dan institusinya jauh sebelum ia dikebumikan.
Wanita yang tak dilahirkan untuk bertakhta itu akhirnya menjadi pemimpin monarki terlama Inggris. Sejarah akan mencatat mana yang dinilai benar, juga apakah monarki bisa bertahan. Di luar itu semua, saya pribadi menghargainya sebagai seseorang yang karena dua belokan nasib harus mengarungi tujuh dekade kehidupan sepenuhnya di mata publik, di mana dinamika sosial dan teknologi makin menjauhi dunia yang ia pahami dan tetap harus wakili. Entah berapa orang yang mampu melakukannya lagi.
Selamat jalan, Ratu Elizabeth II. Sebuah era telah berakhir.
Lynda Ibrahim
Konsultan Bisnis dan Penulis