Selain seniman dan pemilik galeri, keriuhan seni juga mempekerjakan kurator, staf galeri, kru pameran, tim promosi, dan ekspedisi. Profesionalisme untuk memutar roda ini tak cukup dibayar dengan kopi dan puisi senja.
Oleh
Lynda Ibrahim
·5 menit baca
”Mantab, alias makan tabungan,” lugas perupa Eko Nugroho menjawab saat saya tanya bagaimana hidup berkesenian selama 2,5 tahun pandemi Covid-19. Dua pameran solo termasuk di mancanegara dibatalkan. Proyek baru kelas seni terpaksa dialihkan ke bentuk daring, padahal fasilitas fisik telah didirikan.
Seretnya bisnis seni rupa selama pandemi sudah saya dengar dari beberapa pemilik galeri di Jakarta dan Yogyakarta yang menolak disebut namanya. Galeri terpaksa memotong gaji staf, sementara pembeli, bila ada, bisa minta diskon sampai separuh harga. Eko mengaku karyanya pernah sejauh itu ditawar, tetapi ia tolak. Menurut Eko, ia dan timnya bertahan karena anggota tim multi-talenta dan luwes bertukar-peran walau ia tak yakin terus bertahan bila, amit-amit, pandemi sampai 4 tahun lamanya.
Selama pandemi, saya pribadi sempat dihubungi beberapa seniman yang menawarkan karya mereka secara langsung karena pendapatan nyaris nihil setelah pameran dibatalkan dan galeri ditutup. Jujur, saya sedih karena sebatas mampu membantu menyebarkan informasi itu ke sesama penikmat seni.
Putu Sutawijaya, seniman yang juga gallerist, membenarkan relatif turunnya bisnis walau menggarisbawahi bahwa selama pandemi galerinya tetap bisa menyelenggarakan beberapa pameran luring dengan baik dan membukukan penjualan.
Nasirun justru merasa heningnya pandemi bukan saja kesempatan berefleksi, tetapi juga waktu produktif yang menelurkan lebih 1.000 sketsa. Bahkan ada karyanya yang didedikasikan terhadap pekerja seni yang wafat karena Covid-19. Pengapresiasi karya tetap hadir, salah satunya karena studionya termasuk destinasi wisata resor Aman Jiwo.
Anda mungkin membatin, kok menyangkutpautkan seni secara terbuka ke bisnis? Bukannya seni harusnya sesuatu yang lebih sakral dari sekadar aktivitas komersial?
Dengan ekspresi datarnya yang khas, Eddie Hara menyatakan tak munafik bahwa dalam berkarya ia perlu mencukupi hidup. Menurut dia, selama pandemi, karyanya tetap diminati dengan harga wajar. Tantangan bagi Eddie yang berdomisili di Swiss adalah logistik pengiriman ke pembeli di belahan dunia lain, sesuatu yang dulu dijembatani art fair.
Saya sepakat penciptaan seni itu proses sakral, seperti saya mengamini seniman berhak mencukupi hidup melalui kesenian. Berkesenian mengerahkan tenaga dan pikiran, layak diapresiasi secara finansial seperti profesi lainnya. Saya menghormati meritokrasi—ada kualitas ada harga—walau saya paham di dunia sarat subyektivitas seperti seni tentunya ada faktor popularitas. Saya pun tak tuli terhadap celoteh industri bahwa galeri acap melambung-lambungkan harga karya tertentu. Sebagai seseorang berpendidikan bisnis yang mengawali karier korporatnya di pasar modal, meroketnya harga karya seniman zaman now kerap mengingatkan saya pada saham yang ”digoreng” pialang. Namun, bila harga itu diterima pembeli, saya menghormati mekanisme pasar yang terjadi, seperti saya menghormati bila di kemudian hari harga tersebut dikoreksi pasar lagi.
Apakah itu membuat seni jadi (makin) sulit diakses publik? Dari dulu, saya berpendapat seni bisa dinikmati tanpa dimiliki. Oleh karena itu, saya pendukung keras peremajaan museum dan pelebaran akses pameran atau galeri ke publik. Contoh yang baik adalah program kunjungan siswa sekolah ditemani kurator yang disediakan Museum MACAN sejak awal berdirinya. Saya tidak buta bahwa gempita acara seni di perkotaan beberapa tahun sebelum pandemi sedikit banyak dipicu keinginan tampil kekinian, di mana karya acap sekadar jadi latar di unggahan media sosial, tetapi paling tidak barisan penghamba lampu sorot ini mulai kenal seni rupa ketimbang sepenuhnya berkubang di mal.
Selain seniman dan pemilik galeri, keriuhan seni juga mempekerjakan kurator, staf galeri, kru pameran, tim promosi, dan ekspedisi. Profesionalisme untuk memutar roda ini tak cukup dibayar dengan kopi dan puisi senja. Tentunya, biaya-biaya ini terjahitkan pada harga jual karya. Di balik produk yang eksklusif nan subyektif ini, bergerak mesin yang engselnya mirip dengan bisnis lain.
Bagaimana dari sisi kolektor? Aji Suleiman, yang menyebut dirinya sekadar penikmat seni walau rutin mengoleksi, berkisah bahwa ia stop membeli karya di awal pandemi. ”Waktu itu, mana tahu, kan, besoknya kiamat,” cetusnya. Aji juga membenarkan bahwa galeri lebih luwes bernegosiasi saat itu. Aji mulai membeli karya lagi di akhir tahun 2020, membeli lebih banyak di 2021, dan saat saya temui pada pembukaan Art Jakarta 2022 sedang mempertimbangkan membeli beberapa karya.
Pada Art Jakarta minggu lalu itu, dan perjalanan saya ke ArtJog dan rangkaian galeri Yogyakarta minggu sebelumnya, terlihat seni mulai menggeliat tanpa melupakan prahara sejak awal 2020. Di Artjog karya Mulyana terinspirasi makanan karantina, sementara instalasi Iwan Yusuf merenungi keikhlasan hidup terkurung melalui keseharian sepupu difabelnya. Walau mungkin tak terinspirasi pandemi, lukisan Erizal AS di Sarang II mengingatkan saya akan harmoni kehidupan yang dirangsek keluar jalur oleh wabah yang muncul mendadak. Di seberang jalan, Sarang I mengadakan lelang silang sebagai solidaritas terhadap seniman yang terdampak pandemi. Lorong Sangkring Art Space dibingkai kerangka manusia dari material kelam karya Putu Sutawijaya bak elegi pilu kematian Covid-19, sementara hamparan instalasi Nyoman Erawan menggugah penyucian alam dan manusia. Serial karya Iwan Suastika di Art Jakarta pun mengusung tema serupa—penyeimbangan diri dan dunia.
Gairah pengunjung terasa pada pembukaan Art Jakarta, juga arena seni Yogyakarta, bahkan 1,5 bulan setelah ArtJog dimulai. Perosotan curam, bagian dari instalasi Angki Purbandono dan Alex Abbad, sedang direparasi saat saya datang karena sudah retak setelah diluncuri ribuan pengunjung Artjog. Instalasi Soni Irawan yang menyilangkan hiburan dan perjuangan dalam bentuk gitar dari tas kerja malah sudah dipinang kolektor beberapa jam sebelum Art Jakarta resmi dibuka.
Ekonomi global diprediksi resesi karena krisis energi sehingga tahun depan mungkin drama dunia berbeda lagi, tetapi tahun ini seni rupa Indonesia secara bertahap bangkit, mengobati parut torehan pandemi sambil menemukan asa dan rasanya kembali. Mengingat tragedi dan trauma yang baru saja kita bersama lewati, sebagai penikmat seni saya tak berhasrat meminta lebih pada saat ini.