Paris Fashion Week atau PFW, pemungkas pekan mode utama dunia, baru usai. Kali ini gemanya kuat di Indonesia, menyebar ke publik yang biasanya tidak peduli mode. Pasalnya, beberapa jenama Indonesia, termasuk yang bukan mode, riuh memasang klaim kehadiran di ”Paris Fashion Week 2022” di media sosial, di amplifikasi pendengung dan pesohor. Keriuhan membesar setelah sontak masyarakat mode Indonesia mengoreksi bahwa mengadakan acara di Paris bersamaan PFW bukan lantas menjadi bagiannya. Kepesertaan di PFW sendiri mudah diverifikasi di situs resmi yang juga memuat pernyataan hak cipta dan sanksi hukum pelanggarannya.
Sayangnya, sebagian jenama dan pendukungnya malah defensif. Gekrafs/Kemenparekraf sebagai pengirim rombongan wagu menanggapi. Keriuhan menjadi kericuhan; semua yang berangkat ke Paris ditahbis abal-abal, digeprek komentar publik sepedas cabai.
Baca juga: Cuan Manis dari Paris
Konyol dan kontraproduktif. Kenapa? Karena dalam acara di The Westin Paris Vendome itu tampil jenama mode mumpuni seperti IKYK, Danjyo Hiyoji, dan Purana yang jelas rekam jejaknya dalam memenangi penghargaan, berbisnis, dan mempergelarkan karya, termasuk di mancanegara. Bahkan di dalam ruang pamer PFW dan tercantum dalam jadwal resmi, hadir Sean Sheila dan Jewel Rocks yang diusung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris. Kekuatan desain dan kualitas kerja talenta di balik Sean Sheila telah menelurkan penghargaan Harper’s Bazaar Asia New Gen 2013 dan undangan tampil pada Dewi Fashion Knights 2018, pemungkas Jakarta Fashion Week tiap tahun. Namun, fokus publik tersedot debat struktur PFW dan logika kuliner di pekan mode dunia.
Mengapa pemerintah atau organisasi mode Indonesia getol membawa talenta ke mancanegara? Di luar nasionalisme, ada kepentingan praktis mengembangkan pasar. Di negara berlimpah penduduk muda dengan pengangguran tinggi, industri padat karya seperti mode adalah pilihan logis. Wilsen Willim, desainer Indonesia yang pernah mengisi ruang pamer di Paris, mengakui bahwa ekspektasi ekspor seimbang dengan faktor pamor. Wilsen menyatakan menerima pesanan buyers dan liputan media asing tahun itu.
Sepanjang karier saya di pemasaran, efektivitas iklan dihitung dari angka frekuensi dan jangkauan berdasarkan data statistika AC Nielsen yang dikalibrasikan dengan target penjualan dan distribusi. Matematika, bukan romantika.
Justru ini yang juga diharapkan dari acara satelit di sekitar pekan mode besar, terciprat sorotan lensa atau jejaring dunia. Sah saja selama tak mendompleng nama. Pers dan pencinta mode lokal juga akan tetap mendukung karena paham itu pun sudah berat dan mahal. Jadi, mengapa harus menyelewengkan diksi yang cuma memicu polemik? Tak paham, atau mengira publik tak berwawasan?
Apalagi ini bukan insiden perdana. Dua tahun lalu, ada jenama parfum Indonesia yang mengklaim sama. Belum lagi sesumbar ”merek Indonesia pertama yang beriklan di Times Square New York”. Sepanjang karier saya di pemasaran, efektivitas iklan dihitung dari angka frekuensi dan jangkauan berdasar data statistika AC Nielsen yang dikalibrasikan dengan target penjualan dan distribusi. Matematika, bukan romantika. Apa dampak tayangan sekian detik di depan warga New York, yang belum tentu target pasar, yang sedang bergegas melintasi Times Square? Atau memang tujuan promosinya sekadar gempar di kampung halaman, supaya diborong konsumen domestik karena beriklan di megapolitan asing?
Matematika bisnis seharusnya melandasi promosi talenta ke mancanegara. Siapa dan berapa besar target pasar di negara promosi, seberapa ketat kompetisi, siapa media yang harus didekati dan serealistis apa rantai distribusi bila dapat pembeli? Apa strategi jangka panjang? Berdasar strategi tersebut dan iklim bisnis saat memberangkatkan, lebih masuk akal ikut pergelaran di catwalk meriah atau menjaring trade buyers di showroom? Mana indikator keberhasilan program? Di balik citra gemerlapan, mode adalah industri keras di mana kreativitas harus ditopang perencanaan bisnis matang untuk bertahan.
”Seolah fashion di Indonesia harus sensasional, padahal desainer kerja keras, proses kreatifnya panjang dan mendetail, sekolahnya pun susah,” keluh desainer Rama Dauhan di Instagram. Keluhan Rama sahih, karena di balik kepak sayap talenta sering tersemat sesat pikir. Apabila Descartes, filsuf Perancis abad ke-17 berprinsip ”Saya berpikir, maka saya ada”, tampaknya dogma zaman ini adalah ”Saya viral, maka saya ada”.
Demi menjalar dibicarakan, etiket, etika, dan kebenaran enteng diterabas. Yang mengoreksi dianggap dengki. Apabila yang salah diperkuat barisan pendengung dan pesohor, penggemar membebek klaim apa pun yang diteriakkan sang pujaan sambil mengeroyok penentangnya. Saat kebenaran ditakar dari besarnya pengikut, sedangkan kehebohan selalu mendulang pengikut baru, akhirnya tercipta lingkaran setan di mana ”yang penting viral aja dulu”.
Baca juga: Gaung Sumbang dari Paris
Sialnya, banyak pesohor atau pendengung berpengikut besar ini yang miskin rasa malu. Terlepas basis pendidikan atau pengalaman kerja, biduan berceramah soal agama dan vaksin sedang penceramah agama berjualan produk dilapis dalil. Sosok asal populer di Youtube dan Instagram jadi panduan untuk mode, metode melahirkan, gizi bayi, geopolitik, insiden pesawat, uang kripto sampai robot trading. Terlindas sudah desainer, dokter, teolog, insinyur, analis militer, ahli keuangan dan kaum profesional lainnya. Apabila saja pendengung Paris kemarin paham pasal, mereka akan sadar klaim berlebihan. Sayangnya, kemerdekaan bersuara dan demokratisasi media bermuara pada kerancuan antara opini dan fakta. Relevansi bergeser dari pengetahuan atau pengalaman ke kesigapan meloncat ke dalam percakapan. Pantas di Amerika ada Anna Sorokin, sedangkan di Indonesia ada sederet orang yang tadinya mendapuk diri crazy rich dan sekarang diciduk polisi karena penipuan investasi. Teori Tom Nichols tentang matinya kepakaran sungguh terwujud masif, subur, dan terstruktur.
Kembali ke keserampangan klaim Paris. Selain berpotensi diperkarakan PFW dan mengerdilkan kerja jujur sesama rekan desainer, bisa berbuah sinisme publik sendiri atas talenta lain bangsa—pemusik, penulis, seniman, sineas—saat tampil di forum internasional. Menyesatkan setitik, rusak reputasi sebelanga. Sungguh konyol dan kontraproduktif.
Wahai publik, pemilik jenama, dan pemerintah. Kita hampir 77 tahun merdeka. Belum terlalu terlambat untuk menjadi warga elite dunia. Tetap berangkat berpromosi ke mancanegara, tapi melangkah secara berkelas. Telaah siapa yang harus dipresentasikan. Selidiki tawaran, jangan langsung diiyakan. Nilai informasi dari kepakaran, bukan kemasyhuran. Dan, demi Dewa Semesta Nyata dan Meta, janganlah hidup cuma demi viral nan gempar.
Jakarta, 11 Maret 2022
Lynda Ibrahim, Konsultan bisnis dan penulis