Kita mestinya tetap ”eling lan waspada” sesuai pesan arif pujangga Ranggawarsita yang diutarakan Bung Karno saat meresmikan patung Ranggawarsita di halaman Museum Radya Pustaka pada 11 November 1953.
Oleh
HERI PRIYATMOKO
·4 menit baca
Tuan dan Puan, pernahkah menginjakkan kaki di Museum Radya Pustaka, Kota Surakarta? Bung Karno kala duduk di dhampar kencana kepresidenan pernah menyambangi museum kuno yang berdiri pada 28 Oktober 1890 itu.
Ternyata 28 Oktober kita tak hanya memeringati Hari Sumpah Pemuda. Tanggal 28 Oktober, 132 tahun silam, museum lawas tersebut mbrojol di telatah Surakarta. Dari segi waktu, umur yang merentang itu tentu menyimpan keteladanan dan kearifan untuk dipetik masyarakat. Tak melulu urusan kebudayaan Jawa, museum tersebut merekam kehebatan manajemen museum di masa lalu, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Peletak dasar organisasi Paheman Radya Pustaka yang mengelola museum berikut aktivitasnya adalah Patih Sasradiningrat IV. Pucuk pimpinan museum diganti tanpa kerikil yang merintangi. Selepas ketua RTH Djojodiningrat (1899-1905) tutup buku kehidupan, berurutan diganti RT Jayanegara (1905-1014), RT Wurjaningrat (1914-1926), dan GPH Hadiwijaya (1926-1960).
Bersamaan itu, Hadiwijaya harus berangkat ke Batavia menjadi anggota Volkrsaad. Lalu patih istana urun rembug, alangkah baiknya Hadiwijaya meletakkan posisinya sebagai ketua Paheman Radya Pustaka. Akan tetapi, para anggota berpendapat lain. Mereka yang sungkan kepada sosok Hadiwijaya yang cerdas itu memilih menunggu sampai sidang Volkrsaad habis.
Setelah melalui rapat anggota, surat penetapan pengurusnya ditandatangani ketua dibubuhi cap pepatih dalem sebagai pihak yang mengetahui. Cap ini hanya menambah rasa puas dan tidak mengurangi status otonomi Radya Pustaka yang menempel sedari pertama berdiri.
Di halaman museum, tampak ”bertengger” patung kepala pujangga RNg Ranggawarsita. Tepatnya 11 November 1953, di tengah halaman, Presiden Soekarno dikepung para tokoh nasional dan barisan pandu (pramuka). Mulutnya berada di depan mikrofon, Bung Karno dengan suara menggelegar meresmikan patung Ranggawarsita, tokoh pinunjul di jagad literasi yang dimakamkan di Palar, Klaten itu.
Oleh pengelola museum, presiden pertama Indonesia tersebut diperlihatkan pula setumpuk karya Ranggawarsita yang dikoleksi oleh museum. Dari sekian karya, ada yang merampok perhatian pengunjung, yakni tanda tangan berbunyi ”Ranggawarsita” memakai coretan di bawah menyerupai gambar ular. Dalam bahasa Kawi, ular adalah budjangga (pujangga). Barangkali agar dibaca Ranggawarsita budjangga (pujangga).
Mulutnya berada di depan mikrofon, Bung Karno dengan suara menggelegar meresmikan patung Ranggawarsita, tokoh pinunjul di jagad literasi yang dimakamkan di Palar, Klaten itu.
Pengurus museum dan publik hanyut terbawa oleh kalimat-kalimat bertenaga yang disodorkan Sang Putra Fadjar detik itu. Mereka makin bersemangat untuk membedah pemikiran sang pujangga yang kematiannya meninggalkan sejumput misteri ini. Kepercayaan panitia makin berlipat ganda dan merasa tak sia-sia memilih halaman Museum Radya Pustaka untuk ”ditanduri” patung kepala Ranggawarsita, justru bukan memilih Keraton Kasunanan ataupun makam Ranggawarsita di Palar.
Agar bisa merasakan jiwa zaman, saya petikkan penggalan pidato asli Bung Karno: ”Saudara-saudara dan anak-anakku sekalian. Pada saat ini, saudara-saudara dan anak-anakku sekalian menyaksikan pembukaan patung almarhum Ronggowarsito, seorang pujangga besar di kota ini. Tatkala saya diminta untuk melakukan pembukaan meresmikan tersebut, ketika itu juga saya berkata ’Insya Allah’ permintaan itu akan saya penuhi. Oleh karena saya pun beranggapan bahwa almarhum pujangga besar Ronggowarsito menduduki tempat yang penting di dalam ingatan bangsa Indonesia pada umumnya, suku Jawa pada khususnya. Dan, oleh karena kenyataannya memang beliau seorang pujangga yang besar buat bangsa kita.”
Semua mata tertuju kepada tubuh tegap dan mulut presiden berpeci hitam itu. Ia masih berdiri tegak di depan patung, terus berucap, ”Teringatlah aku saat akan meresmikan patung pujangga besar Ronggowarsito, akan tinggalan dan ucapan beliau yang meletakkan dasar-dasar hukum moril yang sebagaimana saya katakan pada hari peringatan Hari Pahlawan 10 November yang baru lalu ini, beliau telah meletakkan hukum-hukum moril tercantum dalam ucapannya: Amenangi jaman edan, ewuh aja ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan milu anglakoni, boja kaduman melik, kaliren wekasanipun, dialah karsa Allah, berja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada.”
Penghayatan akan syair berbahasa Jawa itu dan ramalan Ranggawarsita acap didengarnya dalam percakapan masyarakat menyebabkan jiwa Presiden Soekarno makin disesaki semangat nasionalisme. Dengan intonasi teratur dan dadanya dipenuhi kobaran semangat, Bung Karno melanjutkan ucapannya tanpa mencontek naskah laiknya pejabat dewasa ini.
Apakah artinya ucapan beliau itu? Beliau telah meletakkan dasar-dasar hukum moril: ”begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada”. Memang benar zaman ini adalah zaman edan. Kita bangsa Indonesia mengalami zaman edan. Kalau tidak eling lan waspada, kita akan ikut serta dalam zaman edan tadi.
Bait terakhir di atas sangat relevan untuk kondisi bangsa ini yang menghangat menjelang kampanye pemilu presiden. Terlihat mesin politik sudah bekerja, tanpa kecuali buzzer yang rajin cuap-cuap tanpa nalar demi menghamba uang. Mereka rela menjadi edan, mencederai hati nurani, dan menggadaikan akal sehat guna memenuhi nafsu junjungannya untuk meletakkan pantat di kursi kekuasaan.
Maka, kita mestinya tetap eling lan waspada, sesuai pesan arif pujangga Ranggawarsita yang diutarakan Bung Karno. Lewat petuah itu, hati siapa yang tega mendapati keterbelahan masyarakat akibat perebutan kekuasaan oleh elite politik.
Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; Mahasiswa S-3 Sejarah Universitas Diponegoro