Kondisi kebinekaan masyarakat Indonesia yang telah menjadi keniscayaan sejarah menuntut para pemimpin untuk selalu bersikap adil dan setara kepada setiap warganya, tanpa adanya diskriminasi atas dasar apa pun.
Oleh
SUKIDI
·3 menit baca
Pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah di provinsi Syariat Islam itu kembali dihalang-halangi! Hak konstitusional warga untuk beribadat sesuai agama dan keyakinannya di masjid tak segera terwujud. Usia Muhammadiyah yang 33 tahun lebih tua daripada republik ini dan telah berjasa besar pada pendirian Indonesia modern tidak sedikit pun memberikan jaminan atas terpenuhinya hak-hak dasar konstitusional bagi keluarga Persyarikatan.
Ironisnya, tak satu pemimpin pun, lokal maupun nasional, berdiri di barisan terdepan untuk menegakkan konstitusi tentang jaminan kemerdekaan keyakinan secara setara dan adil. Jaminan itu telah menjadi konsensus bersama para pendiri bangsa yang termaktub dalam konstitusi UUD 1945, Pasal 29 Ayat (1) dan (2).
Namun, jaminan kemerdekaan keyakinan yang adil dan setara itu jarang sekali ditegakkan oleh negara melalui pemimpinnya. Inilah yang menjadikan Indonesia sebagai ”negara yang lunak” atau soft state, meminjam istilah Karl Gunnar Myrdal (1968). Padahal, pemimpin mestinya selalu hadir untuk menegakkan konstitusi secara setara demi kemajuan Indonesia Raya.
Tanpa penegakan konstitusi secara konsisten dan tegas, orang-orang yang tak beradab menjadi terbiasa untuk melakukan pelanggaran terbuka terhadap konstitusi. Praktik tak bermoral ini dapat berubah menjadi kewajaran umum belaka karena penegakan konstitusi tidak menjadi prioritas pertama dan utama dalam penyelenggaraan negara Indonesia modern.
Pelanggaran itu yang terjadi selama bertahun-tahun pada penyelenggaraan negara di Kota Cilegon, Banten. Bayangkan, ada kota di Indonesia yang hanya dipenuhi oleh begitu banyaknya bangunan masjid tanpa memberikan ruang toleransi konstitusional untuk pendirian gereja, wihara, pura, dan kelenteng.
Padahal, kemajemukan umat beragama di Kota Cilegon merefleksikan Indonesia yang berbineka, mulai dari 6.740 Protestan, 1.743 Katolik, 215 Buddha, 215 Hindu, hingga 7 Khonghucu, sesuai data BPS tahun 2019.
Sayangnya, kemajemukan umat beragama itu tidak disertai komitmen dan kemauan politik pemimpin lokal ataupun nasional untuk menegakkan amanah konstitusi yang memberikan jaminan kemerdekaan yang adil serta setara kepada setiap warga negara untuk dapat beribadat sesuai agama dan keyakinannya serta sekaligus mendirikan rumah ibadah.
Namun, pemimpin sering kali tunduk pada tekanan tirani mayoritas ketimbang pada amanah konstitusi sehingga kota itu telah bergerak jauh di luar negara Pancasila dan falsafah kebinekaan.
Dalam konteks inilah pemimpin harus berpegang teguh hanya pada konstitusi dan menegakkan amanah konstitusi dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang plural dan harmonis. Kondisi kebinekaan masyarakat Indonesia yang telah menjadi keniscayaan sejarah menuntut para pemimpin untuk selalu bersikap adil dan setara kepada setiap warganya, tanpa adanya diskriminasi atas dasar apa pun.
Karena itu, pemimpin dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kebinekaan Indonesia. Semuanya bermula dari keteladanan pemimpin dan disertai oleh keterlibatan aktif setiap warga untuk menjiwai kesadaran kebinekaan bahwa Indonesia berdiri tegak di atas pilar kebinekaan serta bertahan secara abadi dengan tetap merawat kebinekaan.
Kebinekaan itu mensyaratkan setiap pemimpin untuk bersikap adil dan setara kepada setiap warga, apa pun agama dan keyakinannya. Kita, pemimpin dan warganya, terikat secara sipil, moral, dan intelektual pada falsafah kebinekaan. Pemimpin yang terobsesi pada uniformitas dan hanya menguntungkan kepentingan sepihak, justru melawan sendi-sendi utama kebinekaan.
Dalam kehidupan masyarakat yang plural, kebinekaan mensyaratkan setiap pemimpin dan warganya untuk berpegang teguh pada tradisi respek kepada sesama. Sikap respek ini bertumpu penuh pada keharusan doktrin kesetaraan antarwarga yang diikat sepenuhnya oleh kesadaran kebinekaan.
Kesadaran ini menuntut kita, pemimpin dan warganya, untuk dapat hidup secara koeksistensi dan setara di tengah masyarakat yang majemuk. Hanya mereka yang menjiwai kesadaran kebinekaan yang mampu hidup secara damai dan harmonis.
Namun, kebinekaan yang menjadi karakteristik utama masyarakat majemuk harus selalu diikat oleh ikatan persatuan antarwarga. Spirit ini harus menjadi etos bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan etos persatuan ini, kita menegakkan Indonesia yang satu dan setara dengan pilar kebinekaan.