Saatnya Memperkuat Kompolnas
Keberhasilan Kompolnas membongkar kasus Irjen Ferdy Sambo tak lepas dari kecerdikan Ketua Kompolnas yang juga Menko Polhukam Mahfud MD yang notabene berlatar belakang sipil. Mengapa dapat terjadi demikian ?
Peranan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dipertanyakan dalam menangani kasus ”polisi tembak polisi” yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo. Menurut Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa kepada Ketua Kompolnas Mahfud MD, Kompolnas tak diperlukan apabila hanya menjadi juru bicara Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penggalan perdebatan pada acara Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR itu mencerminkan kritik masyarakat terhadap peran Kompolnas sebagai pengawas eksternal (external oversight) atas Polri.
Berikut beberapa hal menarik dari kasus Irjen Sambo. Pertama, tak ada check and balances. Surat Perintah Tugas (Sprint)/1583/VII/HUK.6.6/2022 tanggal 1 Juli 2022 terkait Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih yang dipimpin Irjen Ferdy Sambo memiliki kewenangan menyelidiki perkara pidana, mulai dari narkotik, informasi dan transaksi elektronik (ITE), hingga tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Sementara, Irjen Ferdy Sambo adalah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri selaku penegak disiplin dan ketertiban di lingkungan Polri. Dua kewenangan itu melekat pada satu orang, yakni Irjen Ferdy Sambo. Itu mengapa ia disebut superpower.
Baca juga : Urgensi Menjaga Marwah Polri
Baca juga : Larangan Pamer Kemewahan Bagi Polri
Kompolnas lalai
Sprint dengan kewenangan begitu besar dengan personel lintas polda tanpa didukung anggaran tentu sulit dipahami. Berbagai kisah yang mengemuka dalam kasus Sambo yang melibatkan puluhan personel Polri telah menyibak kerusakan yang terstruktur, sistemik, dan masif di tubuh Polri.
Pada titik ini Kompolnas dianggap lalai menjalankan perannya, bahkan sejak pertama kali Sprint dikeluarkan pada masa Kapolri Tito Karnavian.
Dalam membangun sistem manajemen modern, Polri tertinggal dibandingkan instansi lain seperti Kementerian Keuangan, khususnya dalam mengadopsi three lines model. Semula bernama three lines of defense yang digagas oleh The Institute of Internal Auditors Research pada 2013 yang bertumpu pada pengendalian internal dalam suatu subsistem berbasis risiko sesuai dengan UU Cipta Kerja.
Lini pertama ada pada subsistem reserse kriminal (reskrim), baik di level polres, polda, maupun mabes, yang tentu punya target kinerja yang diturunkan dari visi besar Polri. Termasuk di dalamnya risiko kecurangan, baik korupsi maupun nonkorupsi.
Almarhum Prof Farouk Muhammad ketika menjadi Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pernah mengeluarkan daftar kecurangan (fraud) di tubuh Polri yang dibuat para siswa PTIK sehingga tak sulit membuat daftar risiko kecurangan di lingkungan reskrim sebagai lini pertama.
Daftar risiko fraud dibuat berbasiskan SNI ISO 31000 Sistem Manajemen Risiko yang sudah lama diterapkan di Kementerian Keuangan.
Lini kedua sebenarnya sudah ada pada setiap level di kepolisian, yakni Wassidik (Pengawasan Penyidikan), tetapi masih silo dan belum terintegrasi dengan institusi three lines model. Lini kedua pada Sistem Manajemen Anti-Penyuapan SMAP SNI ISO 37001 yang sudah diterapkan di seluruh BUMN disebut Fungsi Kepatuhan Anti-Penyuapan.
Tugas lini kedua memastikan lini pertama telah menjalankannya fungsinya dengan benar, termasuk memitigasi risiko kecurangan sesuai daftar risiko fraud yang dibuat sendiri oleh lini pertama di bawah pengawasan lini kedua Wassidik.
Lini ketiga adalah inspektorat di setiap level di kepolisian di bawah kendali Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri. Ada adagium, fraud akan meningkat apabila inspektorat lemah. Citra Polri sangat tergantung keberhasilan kinerja Itwasum Polri, dan seharusnya termasuk dalam mengendalikan kinerja Divpropam Polri. Lini ketiga akan kerja keras jika lini kedua di mabes, polda, dan polres tak berfungsi.
Posisi Kompolnas sebagai oversight seharusnya pada lini keempat, mengawasi kinerja lini ketiga Itwasum Polri. Mirip seperti fungsi komisaris pada korporasi yang didukung komite audit dan lain-lain. Dengan bantuan TIK yang andal, Kompolnas dengan mudah memonitor penerapan tiga lini melalui dashboard sampai level polres di seluruh Indonesia.
Ternyata inisiatif saja tidak cukup tanpa diikuti kewenangan yang memadai.
Saat ini Polri telah memiliki Indeks Tata Kelola Kepolisian sehingga diasumsikan Polri sudah paham prinsip good police governance, yakni: transparan, akuntabel, responsible, independen, dan fair (TARIF). Maka, mestinya Polri tak sulit terapkan three lines model itu.
Sekaligus untuk menjaga tingkat maturitas dalam mempertanggungjawabkan penggunaan kekuatannya, Polri harus di-review secara berkala oleh lembaga independen sesuai rekomendasi The Geneva Centre For Security Sector Governance.
”Esprit de corp” di Kompolnas
Keberhasilan Kompolnas dalam membongkar kasus Irjen Ferdy Sambo tak lepas dari kecerdikan Ketua Kompolnas yang juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang notabene berlatar belakang sipil.
Prof Mahfud lebih banyak menggunakan kewenangannya sebagai Menko Polhukam dibandingkan sebagai Ketua Kompolnas dalam melakukan klarifikasi ke sejumlah lembaga negara. Cukup dengan angkat telepon untuk koordinasi.
Kondisi ini berbeda dengan waktu penulis masih memegang jabatan Sekretaris Kompolnas (sekarang disebut Ketua Harian). Koordinasi dengan komisi-komisi negara seperti Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sering kami lakukan. Namun, upaya itu kandas karena kurangnya dukungan dari internal maupun eksternal Kompolnas.
Ternyata inisiatif saja tidak cukup tanpa diikuti kewenangan yang memadai. Keberadaan dua menteri ex-officio, yakni Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menko Polhukam, hampir tak ada peranannya. Kompolnas bak kebesaran struktur, tapi minim kewenangan dan anggaran. Latar belakang sipil-nonsipil mutlak diperhitungkan. Dalam kasus Irjen Ferdy Sambo, wakil Polri di Kompolnas hampir tak ada perannya, mungkin karena faktor esprit de corps.
Cacat WBS
Dalam Undang-Undang Polri, peranan Kompolnas sebagai external oversight nyaris tak berarti. Tak ada kewenangan investigasi non-pro justicia seperti diatur dalam standar SNI ISO 37002 Sistem Manajemen Pengaduan Masyarakat.
Termasuk perlindungan keselamatan pelapor atau korban dampak dari WBS (Whistle Blowing System). Pengelolaan WBS berbasis SNI ISO 37002 termasuk aktivitas investigasi sudah lazim di dunia industri, maka seyogianya dapat diterapkan di lingkungan kepolisian karena rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang berujung pemidanaan korban yang tak bersalah.
Kasus Sambo yang memiliki karakter ”terstruktur, sistemik, dan masif” niscaya akan berulang dan berulang lagi. Seyogianya kasus Sambo dapat menyadarkan kita semua, khususnya pemerintah dan DPR, untuk memperkuat Kompolnas.
Posisi Kompolnas jauh berbeda dengan komisi lain karena: (1) mencerminkan wajah governansi dalam penegakan hukum di Indonesia yang dimulai dari kepolisian, (2) menghindari korban intimidasi yang saat ini semakin menggila, (3) Kompolnas kiranya dapat menjadi garda terdepan dalam mengawal demokrasi.
Adnan Pandupraja Mantan Komisioner Kompolnas dan KPK