Tragedi Kanjuruhan dan Sanksi Ompong PSSI
Terkait tragedi Kanjuruhan, sanksi yang dijatuhkan komisi disiplin PSSI tidak merefleksikan esensi dari sebuah sanksi karena kurang menggigit dan berpotensi menyisakan peluang terulangnya peristiwa maut yang sama.
"Tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia." Kalimat ini menggema di jagat maya seiring ungkapan belasungkawa atas tragedi maut di Stadion Kanjuruhan Malang pada 1 Oktober 2022.
Pertandingan sepak bola yang berujung maut memang bukan cerita baru di Indonesia. Namun kali ini lebih sadis karena ratusan jiwa meninggal.
Memberi penghormatan dan penghargaan atas nyawa para korban yang meninggal maupun yang menderita luka akibat tragedi maut di Stadion Kanjuruhan mempunyai urgensi untuk didahulukan sembari mencari fakta penyebab kerusuhan yang menewaskan 133 orang tersebut.
Baca juga: Awasi Penyidikan Tragedi Kanjuruhan
Baca juga: Polri Temukan Kesalahan Bertumpuk di Tragedi Kanjuruhan
Apapun penyebab kerusuhan yang disimpulkan dari hasil proses hukum, panitia pelaksana pertandingan secara otomatis memikul tanggung jawab moral dan hukum untuk memberikan ganti rugi dan santunan kepada para penonton yang menjadi korban.
Secara hukum panitia memikul tanggung jawab dan kewajiban yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Panitia sebagai pelaku usaha mempunyai perikatan perdata dengan penonton melalui tiket masuk stadion.
Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen mematok prinsip dan tujuan perlindungan konsumen adalah untuk keamanan dan keselamatan konsumen. Artinya para penonton yang telah mendapatkan tiket dari panitia pelaksana mempunyai hak mutlak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan selama berada di dalam stadion.
Karena penonton pertandingan antara Persabaya Surabaya dengan Arema Malang tersebut tidak saja kehilangan kenyamanan dan keamanan tetapi sampai kehilangan keselamatan, maka dengan seketika panitia penyelenggara harus memberikan ganti rugi dan santunan kepada penonton korban sebagai bentuk penghargaan yang lazim dilakukan.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahkan membatasi penditribusian ganti rugi dan santunan hanya dalam waktunya tujuh hari sejak tanggal transaksi. Perlu dicatat bahwa pemberian ganti rugi dan santunan dari panitia kepada para korban sebagai bentuk tanggung jawab moral merupakan keniscayaan, tetapi tidak perlu terlalu diapresiasi karena itu merupakan tanggung jawab hukum yang berdampak sanksi hukum apabila tidak dilaksanakan.
PSSI harus berada di garda terdepan dalam pengawasan sekaligus pelaksana pendistribusian ganti kerugian dan santunan untuk memastikan pemenuhan hak korban.
Oleh karena menjadi kewajiban hukum, maka kepastian penyaluran ganti rugi dan santunan harus dilaksanakan dengan transparan dan akuntabel. PSSI harus berada di garda terdepan dalam pengawasan sekaligus pelaksana pendistribusian ganti kerugian dan santunan untuk memastikan pemenuhan hak korban. Tugas PSSI tidak cukup dengan menjatuhkan sanksi kepada panitia penyelenggara.
Sanksi tidak mengakomodir hak korban
Langkah PSSI menjatuhkan sanksi kepada Arema FC dan ketua panitia pelaksana pertandingan patut diapresiasi. Tiga butir sanksi dari komisi disiplin PSSI tersebut setidaknya memperlihatkan PSSI telah bergerak menyikapi tragedi sepak bola maut ini.
Menjatuhkan sanksi hanya supaya terlihat bertanggung jawab sangatlah tidak solutif. Sanksi esensinya mengandung efek jera. Artinya baik penerima sanksi maupun masyarakat umum terjamin kapok sehingga kejadian serupa tidak terulang.
Namun, butir-butir sanksi yang dijatuhkan komisi disiplin PSSI tidak merefleksikan esensi dari sebuah sanksi karena kurang menggigit dan berpotensi menyisakan peluang terulangnya peristiwa maut yang sama. Apalagi sanksi tersebut tidak menyentuhkan langsung proses pemulihan hak dan duka para korban.
Sanksi kepada panitia penyelenggara pertandingan misalnya. Alih-alih dilarang menyelenggarakan atau mencabut izin penyelenggaraan pertandingan, panitia penyelenggara pertandingan maut di Kanjuruhan hanya mendapat sanksi pembatasan penyelenggaraan pertandingan di tempat sejauh 250 kilometer dari Malang dan tanpa penonton tuan rumah. Artinya panitia ini masih bisa leluasa menyelenggarakan pertandingan asal memenuhi syarat sederhana semacam itu.
Sanksi semacam ini bertendensi hanya untuk menyelamatkan tim sepak bola dan lini bisnis sekelilingnya tanpa upaya yang menjurus ke peningkatan standar penyelenggaraan sepak bola. Padahal potensi masalah yang mengancam kematian bukan hanya bersumber dari tempat penyelenggaraan dan siapa penonton. Selama ada kelalaian dari penyelenggara, potensi masalah akan tetap ada.
Sanksi semacam ini bertendensi hanya untuk menyelamatkan tim sepak bola dan lini bisnis sekililingnya tanpa upaya yang menjurus ke peningkatan standar penyelenggaraan sepak bola.
Penjatuhan sanksi sementara tanpa dipaksa untuk mengikuti standar pelaksanaan yang tinggi tidak melenyapkan persoalan, tetapi hanya menunda kericuhan yang sama bahkan lebih besar. Karena jika batas waktu sanksi habis dan standar penyelenggaraan pertandingan masih sama maka kondisi dan situasi akan balik seperti semula.
Sanksi kepada ketua panitia yang bersifat personal juga tidak mengubah standar penyelenggaraan oleh panitia. Ketua panitia bisa diganti dengan kualitas yang sama atau bahkan bisa lebih buruk kalau tidak ada standar yang digariskan dari atas (PSSI).
Sanksi Arema FC berupa denda sebanyak Rp 250 juta juga masih jauh dari kandungan efek jera. Melihat rekam jejak, tim ini telah berkali-kali mendapat sanksi denda dengan jumlah yang tidak jauh berbeda dengan sanksi sekarang.
Selain itu, PSSI juga tidak merinci kejelasan untuk apa dan kepada siapa pengalokasian denda tersebut, dan jumlahnya pun masih sangat kecil dengan nilai kerguian nyawa maupun fasilitas akibat kerusuhan. Seandainya untuk mengganti kerugian penonton termasuk sebagai santunan kepada yang telah meninggal dunia, jumlahnya tidak cukup untuk satu orang korban meninggal dunia.
Baca juga: TGIPF Rekomendasikan PSSI Harus Turut Bertanggung Jawab
Baca juga: FIFA dan AFC Ingin Memastikan Tragedi Kanjuruhan Tidak Akan Terulang
Dari sekian butir sanksi PSSI tersebut, tidak ada satupun yang bersinggungan dengan pemulihan hak bahkan sekadar untuk mengakomodir hak korban setidaknya yang sejalan dengan roh UU Perlindungan Konsumen.
Memang secara hukum korban disediakan hak untuk melayangkan tuntutan hukum hak kepada panitia pelaksana. Namun, untuk mengakses upaya hukum semacam itu tidak mudah dan tidak murah terutama bagi kalangan konsumen (penonton) kelas menengah ke bawah.
Harapannya PSSI dapat mempermudah korban dan keluarganya dalam mendapatkan hak ganti rugi dan santunan dari panitia penyelenggara tanpa melalui proses hukum yang panjang dan mahal.
Di sisi lain memang PSSI masih harus mengerjakan tugas berat untuk menaikan standar sepak bola Indonesia yang sejauh ini belum mencapai standar keselamatan apalagi kenyamanan. PSSI harus berada di garda terdepan menjaga Jangan sampai sepak bola Indonesia akan menjadi seharga nyawa manusia.
Yosef Oriol Jebarut, Advokat di Jakarta