Krisis pangan terus berulang sepanjang sejarah peradaban manusia. Karena itu, di tengah ancaman inflasi pangan saat ini, penting mengedukasi masyarakat untuk tetap sehat dengan makanan yang pantas dikonsumsi.
Oleh
FADLY RAHMAN
·5 menit baca
Inflasi pangan tahun ini terjadi di sejumlah negara. Faktor penyebabnya tidak dapat dipisahkan dari kendala pasokan pangan yang dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar, kondisi geopolitik luar negeri, dan perubahan iklim. Ancaman inflasi pangan itu juga tengah dihadapi Indonesia.
Meski pemerintah optimistis inflasi pangan masih terkendali, nyatanya harga kebutuhan pangan belum stabil. Di pasaran, beberapa harga komoditas pangan naik. Dengan penurunan daya beli masyarakat, dikhawatirkan hal ini makin mengubah preferensi konsumsi makanan yang berpengaruh terhadap kian menurunnya kualitas kesehatan masyarakat.
Pemerintah seharusnya dapat belajar dari sejarah dampak parahnya inflasi pangan yang pernah melanda Indonesia sepanjang dekade 1930-an hingga 1950-an. Ini adalah periode kritis dari jejak sejarah pangan Indonesia yang ditandai dengan masa transisi dari kolonial ke kemerdekaan.
Pada 29 Oktober 1929, bursa saham New York di Amerika Serikat jatuh. Peristiwa ini membuat hancur perekonomian dunia. Hindia Belanda sebagai negeri jajahan Belanda pun turut terkena dampaknya. Krisis ekonomi melanda Hindia sejak awal dekade 1930-an. Masa-masa inflasi global yang dikenal dengan great depression atau malaiseini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh lesunya perdagangan dunia akibat instabilitas ekonomi sebagai dampak berkepanjangan Perang Dunia I.
Sejak abad ke-19, Hindia adalah produsen komoditas perkebunan, seperti gula, kopi, teh, dan karet, yang diekspor ke Eropa. Lesunya perekonomian dunia turut memengaruhi kehancuran harga dan menurunnya permintaan terhadap komoditas hasil perkebunan. Hal ini berdampak kepada penurunan pendapatan dan daya beli masyarakat akibat hilangnya kesempatan kerja.
Malaise adalah istilah medis yang memiliki arti perasaan gelisah, sakit, dan tidak nyaman. Kata yang pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis pada abad ke-12 ini menjadi populer untuk menggambarkan kondisi penuh kegelisahan dan kelesuan pada masa depresi ekonomi tahun 1930-an. Kelaparan dan malnutrisi akibat kondisi gagal panen, kelangkaan pangan, dan mahalnya harga bahan makanan menjadi ancaman nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Hindia.
Pemerintah dengan bantuan ahli pangan dan gizi berusaha menekan angka kelaparan dan gizi buruk serta kematian yang diakibatkan kedua hal itu. Pada 1931, pakar farmasi dan kimia, WF Donath, mencetuskan pemikiran perihal perlunya masyarakat pribumi pada masa malaise untuk membiasakan diri menambah bahan makanan lain selain beras. Ini didasarkan pada keprihatinannya melihat beras yang dipandang mayoritas masyarakat sebagai hoofdvoedingsmiddel (bahan makanan utama) sehingga keragaman konsumsi pangan menjadi terpinggirkan.
Selain Donath, para ahli gizi juga menyarankan agar bahan-bahan makanan selain beras, seperti jagung, ubi, singkong, kedelai, dan ikan, dikonsumsi untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat. Kampanye gizi sehat digencarkan sepanjang masa malaise.
Pada 1931, pakar farmasi dan kimia, WF Donath, mencetuskan pemikiran perihal perlunya masyarakat pribumi pada masa malaise untuk membiasakan diri menambah bahan makanan lain selain beras.
Seorang konsultan pertanian, GA van de Mol, dalam publikasinya tahun 1940, Gezondheid door doelmatige voeding (sehat dengan makanan pantas), mengatakan bahwa hingga jelang 1940, pengetahuan gizi masyarakat Hindia meningkat berkat intensifnya gerakan kampanye gizi sehat yang digencarkan pemerintah. Ia memetakan tujuh kelompok jenis makanan sehat yang ideal dikonsumsi di Hindia. Salah satu yang dianjurkannya olahan kedelai seperti tempe.
Pada masa-masa depresi ekonomi, bahan makanan hewani, terutama daging dan susu, mahal dan langka dikonsumsi. Sebagai penggantinya, protein nabati seperti tempe menjadi primadona untuk dikonsumsi bukan hanya oleh masyarakat pribumi, tetapi juga Eropa.
Masa perang hingga kemerdekaan
Prinsip dari konsumsi pangan pada masa malaise yang dianjurkan para ahli gizi adalah ”tepat dan berimbang” dengan memanfaatkan potensi ragam pangan lokal. Ini menjadi modal penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pribumi, terutama ketika masa pendudukan Jepang (1942-1945) hingga perang kemerdekaan (1945-1949). Masa-masa sulit yang diakibatkan oleh peperangan ini menjadi sekuel dari nestapa pangan yang sebelumnya terjadi pada masa malaise.
Dalam penelitian Pierre van der Eng, ”Food Supply in Java during War and Decolonisation”, 1940-1950 (2008), kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang tidak kondusif akibat situasi perang menyebabkan penurunan drastis produksi pangan. Kondisi ini dipengaruhi oleh terbengkalainya lahan-lahan pangan dan juga gagal panen akibat faktor perang dan juga alam (seperti kekeringan).
Meski perang kemerdekaan berakhir pada 1949, hingga dekade 1950-an inflasi pangan Indonesia masih menjadi momok bagi masyarakat. Bahkan, hiperinflasi terjadi yang ditandai dengan meningkatnya biaya hidup hingga mencapai 100 persen. Di tengah menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat, harga bahan-bahan makanan melonjak tinggi.
Presiden Soekarno dalam pidatonya, ”Soal Hidup dan Mati”, di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (cikal bakal Institut Pertanian Bogor) pada 27 April 1952 menyinggung tentang rumor-rumor yang diberitakan di surat kabar, seperti ”harga beras naik gila-gilaan”, ”di sana-sini ada mengantjam bahaja kelaparan”, ”di desa ini dan di desa itu ada orang makan bonggol pisang”, ”di daerah itu di daerah sana terdapat hongeroedeem (busung lapar)”, dan ”di dukuh anu ada orang bunuh diri karena tak mampu memberi makanan kepada anak-istrinja”.
Pemerintahan Soekarno menanggapi rumor-rumor itu dengan mencanangkan program diversifikasi pangan serta Operasi Gizi di tingkat pusat dan daerah. Melalui peran para agen gizi, seperti Poorwo Soedarmo, sejak 1951 sebuah program yang dinamakan Empat Sehat Lima Sempurna digelorakan untuk menekan angka gizi buruk. Meski demikian, dalam penelitian van der Eng, All Lies? Famines in Sukarno’s Indonesia, 1950s-1960s (2012), program-program yang dijalankan oleh pemerintah juga disinyalir merupakan upaya untuk menutupi bencana kelaparan di sejumlah daerah di Indonesia.
Refleksi terhadap sejarah
Masa-masa sulit di Indonesia sepanjang 1930-an hingga 1950-an juga mencerminkan upaya pemerintah untuk menanggulangi krisis pangan yang mengancam penurunan kualitas hidup masyarakat. Ini sangat relevan dengan kondisi sekarang di tengah mencuatnya isu inflasi pangan. Apa yang dituliskan Neli Triana dalam artikelnya, ”Kelaparan dan Malnutrisi di Perkotaan Itu Nyata”, di Kompas pada 1 Oktober lalu jelas menyuarakan realitas masa kini yang relevan dengan fakta masa lalu.
Pengelolaan sektor pangan terutama ketersediaan dan stabilitas harga bahan makanan perlu dibenahi sebaik-baiknya demi memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari masyarakat. Dengan kata lain, ketersediaan bahan makanan perlu disertai dengan harganya di pasaran yang terjangkau daya beli masyarakat. Hal ini tentu dapat memengaruhi kesejahteraan fisik masyarakat.
Pada masa malaise, Van Mol telah mengedukasi masyarakat melalui pesannya: ”sehat dengan makanan yang pantas”. Pesan ini tentu perlu dipikirkan betul saat ini, bagaimana membuat masyarakat tetap sehat dengan makanan yang pantas dikonsumsi di tengah ancaman inflasi pangan.
Jangan sampai karena mahalnya harga komoditas pangan, malah makin membuat masyarakat beralih ke produk-produk makanan dan minuman instan yang justru menyumbang berbagai permasalahan gizi dan kesehatan.
Fadly Rahman, Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran