Ancaman Krisis Pangan
Perang Rusia-Ukraina mengancam pangan dunia. Selain pemasok energi, Rusia dan Ukraina juga merupakan produsen dan eksportir serealia penting. Rusia juga eksportir bahan baku pupuk dan produk pupuk dunia.
Invasi Rusia ke Ukraina berjalan persis dua bulan pada 24 April 2022. Kekuatan militer yang tidak seimbang dalam segala aspek diyakini membuat Rusia bisa segera mengakhiri invasi. Perkiraan itu meleset. Menjadi tidak mudah memperkirakan kapan perang akan berakhir. Semakin berlarut, semua mafhum, kian besar efek domino yang terjadi.
Negara-negara yang baru ”siuman” dari pandemi Covid-19 kini menghadapi masalah berlipat. Dampak yang akan terjadi amat sulit diperkirakan. Salah satu yang krusial adalah menjawab pertanyaan: akankah dunia terseret dalam krisis pangan?
Pertanyaan ini berangkat dari deretan statistik riil: Rusia dan Ukraina merupakan pemasok 12 persen total kalori yang diperdagangkan di dunia. Kedua negara masuk jajaran lima pengekspor global untuk sejumlah serealia dan biji minyak penting.
Periode 2018-2020, keduanya memasok 72,7 persen minyak biji matahari (Rusia 23,1 persen, Ukraina 49,6 persen), 34,1 persen gandum (Rusia 24,1 persen, Ukraina 10 persen), 26,8 persen barley (Rusia 14,2 persen, Ukraina 12,6 persen), 23,9 persen biji bunga matahari (Rusia 19,6 persen, Ukraina 4,3 persen), dan 17,4 persen jagung (Rusia 2,1 persen, Ukraina 15,3 persen) dunia. Selama 30 tahun terakhir, wilayah Laut Hitam telah bertransformasi dari pengimpor biji-bijian jadi ”pemberi makan dunia” yang penting.
Baca Juga: Implikasi Ekonomi Perang Rusia-Ukraina
Ketika kedua negara berperang, ekspor dan pengiriman serealia serta biji bunga matahari berikut minyaknya ke pasar dunia terhambat. Ini sinyal pasokan menurun, yang segera direspons oleh kenaikan harga. Harga gandum di pasar dunia, misalnya, melonjak 56 persen, dari sekitar 8 dollar AS menjadi 12,4 dollar AS per gantang (bushel) sejak perang berkecamuk.
Ini menandai sinyal buruk bagi negara-negara importir pangan bersih yang selama ini bergantung pada Rusia-Ukraina. Bukan hanya negara-negara kaya di Eropa yang selama ini mengandalkan pasokan gandum dan jagung Ukraina, melainkan juga negara-negara miskin.
Bersama Rusia, Ukraina bertanggung jawab atas setidaknya 80 persen pasokan biji-bijian di Benin dan Kongo di Afrika; Mesir, Qatar, dan Lebanon di Timur Tengah; serta Kazakhstan dan Azerbaijan di Asia Tengah. Ketika pasokan gandum terganggu, negara-negara ini terancam mengalami krisis pangan.
Negara-negara tersebut selain harus menemukan sumber gandum baru dari negara lain, juga mesti membayar harga jauh lebih tinggi. Harga gandum yang sudah tinggi akan semakin tinggi. Untuk mengatasi keduanya, tentu tidak mudah. Dalam jangka pendek, warga di negara-negara ini bisa terancam kelaparan.
Produksi pangan terganggu
Perang akan membuat proses produksi pangan terganggu. Sejak perang menyalak, sejumlah wilayah produsen utama pangan di Ukraina, seperti Luhansk dan Donetsk, dilaporkan tidak bisa menanam. Jika perang berlarut-larut, produksi gandum, jagung, barley, dan biji bunga matahari dari Ukraina bakal merosot tajam.
Ancaman penurunan produksi pangan global juga datang dari sisi input: kenaikan harga gas alam dan pupuk. Rusia menyumbang 20 persen ekspor gas alam dunia. Banyak negara bergantung gas kepada Rusia, salah satunya Eropa—yang 40 persen gasnya dipasok Rusia. Selain mengancam suplai energi, harga gas yang naik membuat harga pupuk nitrogen, seperti Urea menjadi mahal.
Sanksi kepada Rusia, baik dari Amerika Serikat dan sekutunya ataupun Eropa, membuat aliran gas terganggu. Padahal, gas adalah bahan baku utama pupuk nitrogen. Eskalasi kenaikan harga pupuk di pasar dunia kian tak terbendung. Kondisi ini terkait fakta Rusia adalah pemasok pupuk nitrogen dan kalium dunia.
Eskalasi kenaikan harga pupuk di pasar dunia kian tak terbendung. Kondisi ini terkait fakta Rusia adalah pemasok pupuk nitrogen dan kalium dunia.
Rusia menyumbang 15 persen perdagangan pupuk nitrogen dan 17 persen ekspor pupuk kalium dunia. Ketergantungan sejumlah negara pada pupuk Rusia, seperti Mongolia, Afrika, Chad, Mali dan Kazakhstan amat tinggi: di atas 80 persen. Pasokan pupuk yang seret dan harga yang tinggi mengancam produksi pangan. Produksi bisa turun dan pasokan terjun bebas, termasuk tahun depan.
Bagi negara-negara importir pangan bersih, aneka fenomena di atas adalah sinyal krisis pangan segera berdentang. Alarm krisis pangan segera menyala. Ini ditandai oleh, pertama, tingginya indeks harga pangan FAO yang mencapai 159,3 pada Maret 2022, tertinggi sejak 1990. Indeks ini jauh melampaui dari indeks serupa saat krisis pangan 2008 (117,5) dan 2011 (131,9). Indeks melompat tinggi didorong oleh kenaikan harga minyak nabati dan serealia.
Kedua, seiring invasi Rusia sejumlah negara memberlakukan pembatasan ekspor pangan. Dimulai tiga negara (termasuk Ukraina dan Rusia), awal April 2022 jumlah yang membatasi ekspor pangan melonjak jadi 16 negara (Glauber, 2022).
Baca Juga: Meredam Gejolak Harga akibat Perang Ukraina Rusia
Jumlah total ekspor yang terkena pembatasan mewakili 17 persen dari total kalori yang diperdagangkan di dunia. Ini terbagi dalam rupa-rupa larangan ekspor oleh 16 negara dan beleid persyaratan izin ekspor oleh tujuh negara. Lima pangan dominan yang menyumbang hampir 90 persen dari kalori yang terpengaruh pembatasan ekspor: gandum (31 persen dari total kalori), minyak sawit (28,5 persen), jagung (12,2 persen), minyak bunga matahari (10,6 persen), dan minyak kedelai (5,6 persen).
Data tersebut sudah lebih dari memadai untuk membuat negara-negara importir pangan bersih cemas. Sebab, volume ekspor (setara kalori) yang terkena pembatasan akibat invasi Rusia saat ini sudah melampaui saat krisis pangan 2008: 16 persen.
Pertanyaannya, kapan krisis pangan terjadi? Tak mudah memastikannya. Namun, jika mengacu pada kejadian 2008 dan 2011, penyebab krisis pangan bisa diidentifikasi. Saat itu krisis pangan disulut oleh produksi pangan yang turun dan daya beli warga yang rendah, yang kemudian diikuti ekspektasi penurunan suplai. Ketika pintu ekspor pangan oleh negara-negara eksportir ditutup, pasar panik dan harga pangan meroket. Berkelindan dengan krisis energi dan spekulasi di pasar komoditas, krisis pangan semakin dalam.
Saat ini, situasinya mirip meski tidak sama: ada pembatasan ekspor, krisis energi, dan kenaikan harga pangan yang tinggi. Pembatasan ekspor masih baru awal. Namun, pembatasan ekspor produsen pangan itu seperti penyakit menular: mudah diikuti negara lain.
Jika pembatasan ekspor berlangsung lama, lalu ini diikuti oleh penurunan produksi pangan, bisa dipastikan pasar akan panik. Spekulasi pun merebak. Langkah proteksionis untuk kepentingan domestik akan jadi pilihan banyak negara. Kala itu terjadi, krisis pangan tinggal menunggu waktu. Jika pengendali pemerintahan tidak bisa mengelolanya, krisis pangan dengan mudah menular jadi krisis politik yang bisa menjatuhkan penguasa.
Baca Juga: Dampak Krisis Ukraina bagi ASEAN dan Indonesia
Meski tak sebesar negara lain, efek domino perang Rusia-Ukraina bagi Indonesia tak bisa dipandang sepele. Rusia-Ukraina memasok gandum ke Indonesia hingga 30 persen. Rusia dan Belarus—yang jadi pintu masuk invasi ke Ukraina—adalah pemasok 42,1 persen pupuk kalium. Rusia juga pemasok pupuk fosfat ke Indonesia.
Kala harga pupuk impor naik yang diikuti kenaikan harga gas, harga aneka pupuk akan melonjak tinggi. Meski ruang fiskal sempit, pemerintah harus memastikan agar subsidi pupuk ke petani tidak dipangkas. Ketika harga-harga naik, termasuk harga pangan, fokus utama negara harus memastikan kelompok miskin-rentan terlayani dan dijamin aksesnya pada pangan. Agar daya belinya terjaga. Selebihnya, memastikan pasokan pangan dan harga terkendali.
Khudori,Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)