Uji coba rudal/senjata nuklir dan latihan perang merupakan bagian dari keputusan politik. Ada tujuan politik yang hendak dicapai. Ada ”pesan” yang ingin disampaikan kepada pihak luar.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Suasana panas terus terjadi di Semenanjung Korea. Amerika Serikat bersama sekutu menggelar latihan perang, sedangkan Korea Utara meluncurkan rudal.
Seperti ditulis Kompas edisi Rabu (5/10/2022), Pyongyang kurang dari dua minggu terakhir menembakkan tujuh rudal ke arah Korea Selatan ataupun Jepang. Hal ini dilakukan setelah beberapa bulan belakangan Amerika Serikat (AS) mengadakan latihan perang bersama sekutunya.
Uji tembak rudal antara lain dilakukan oleh Korut pada Selasa (4/10/2022) dengan diarahkan ke Jepang. Rudal ini melintas di antara Pulau Hokkaido dan Pulau Honshu, tempat kota besar Tokyo dan Osaka berada.
Peluncuran rudal yang dilakukan Pyongyang seolah memberi sinyal bahwa Korut tidak gentar terhadap AS dan dua sekutunya di Asia Timur: Korsel dan Jepang. Negara yang dipimpin Kim Jong Un itu hendak menunjukkan kekuatan militer mereka menggentarkan sekaligus mematikan.
Korut sejak lama mengembangkan senjata nuklir dan kemampuan rudalnya. Hal ini direspons keras oleh negara-negara tetangga dan dunia internasional. Sanksi keras ekonomi pun diterapkan atas Korut sehingga nyaris mustahil bagi rezim di negara itu untuk melakukan ekspor impor. Tekanan sanksi ternyata tetap tak mampu menghalangi Korut untuk terus mengembangkan rudal dan senjata nuklir.
Beberapa tahun lalu, Kim Jong Un bertemu Presiden AS Donald Trump guna membahas pencabutan sanksi. AS ingin Korut langsung menghentikan total program senjata nuklirnya. Penghentian pun bersifat permanen (fasilitas senjata nuklir sepenuhnya dihancurkan). Di sisi lain, Korut ingin proses dilakukan bertahap. Kedua pemimpin akhirnya tidak mencapai kata sepakat.
Rezim di Korut menggunakan percobaan rudal ataupun nuklir untuk memberikan ”pesan” sekaligus tekanan terhadap AS, Korsel, serta Jepang. Uji coba semacam itu tampaknya kembali rutin dilakukan Kim Jong Un setelah Korsel dipimpin Presiden Yoon Suk Yeol yang berasal dari kubu konservatif.
Kekuatan progresif dan konservatif di Korsel menempuh pendekatan berbeda terhadap Korut. Kubu konservatif bersikap keras, antara lain menggunakan sanksi untuk membuat Pyongyang berhenti menguji coba rudal ataupun senjata nuklir.
Sebaliknya, kubu progresif, sebagaimana diperlihatkan Presiden Moon Jae-in saat berkuasa sebelum Presiden Yoon, cenderung menempuh langkah yang mengutamakan dialog.
Uji coba rudal/senjata nuklir dan latihan perang merupakan bagian dari keputusan politik. Ada tujuan politik yang hendak dicapai. Ada ”pesan” yang ingin disampaikan kepada pihak luar.
Maka, dalam situasi ini, hal paling realistis ialah berupaya keras mempertahankan komunikasi di antara kedua kubu yang berseberangan di Semenanjung Korea. Hanya dengan cara ini, kesalahan perhitungan atau perkiraan dapat dicegah.
Jangan sampai kegiatan militer yang bertujuan ”sekadar” menyampaikan pesan berujung pada konflik senjata dan perang berlarut-larut.