Semasa hidup, Syekh Siti Jenar atau Lemah Abang mengampanyekan model beragama yang tidak terjebak pada konservatisme moral dan sikap-sikap tekstual yang hanya berhenti sebatas kemeriahan upacara ritual.
Oleh
ASEP SALAHUDIN
·5 menit baca
Lemah Abang adalah nama lain Syekh Siti Jenar, seorang wali dari Persia yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Nama kecilnya Abdul Hasan bin Abdul Ibrahim bin Ismail. Kelak setelah dewasa bernama Sayyid Abdul Jalil, dikenal juga sebagai Sunan Jepara, Syekh Sitibrit, dan Hasan Ali.
Sosok Siti Jenar ini bukan hanya kematiannya yang masih diselimuti kabut misteri, namun juga ajarannya yang kerap kontroversi. Di banyak daerah ditemukan jejak para pengikut dan faham yang diajarkannya sekaligus juga makamnya. Sebut saja di Cirebon, Demak, Jepara, termasuk di Kota Pagaralam di Sumatera Selatan.
Semasa hidupnya dikenal sebagai orang yang tak henti bergerilya dari satu tempat ke tempat lain mempromosikan kebaikan. Mengampanyekan model beragama yang tidak terjebak pada konservatisme moral dan sikap-sikap tekstual yang hanya berhenti sebatas kemeriahan upacara ritual namun lupa pada substansi.
Siti Jenar menawarkan cara beragama yang tidak terlampau kaku dan melulu mengelola urusan fikih, tetapi lebih kepada karakter positif yang bersifat universal. Untuk kepentingan bersama. Agama digeser pada olah batin agar memiliki kepekaan rasa sehingga lebih terang dalam melihat kenyataan kehidupan dan kematian, lebih awas dalam mencarikan jalan keluar dari masalah yang menghimpit kemanusiaan, tidak tergesa-gesa apalagi keliru dalam mencarikan jalan keluarnya.
Masyarakat yang terbuka
Syekh Siti Jenar membangun masyarakat progresif, egaliter, dan terbuka di berbagai pedukuhan. Masyarakat yang terus tumbuh menuju kedewasaan. Dalam istilahnya serupa pohon Sidratul Muntaha. Menjulang menuju langit transendensi ketuhanan namun nilai-nilainya menghunjam secara imanen ke bumi kemanusiaan.
Ajaran Syekh Siti Jenar berporos pada spirit pembebasan kultural yang diacukan pada semangat “manunggaling kawula gusti”. Menjadi insun sejati artinya menjadi pribadi yang tidak terkerangkeng topeng formalisme agama, tidak tersendera struktur politik yang dominatif dan praktik ekonomi manipulatif.
Manunggaling kawula gusti menjadi semacam platform yang bukan saja mengandaikan hubungan laten dengan Sang Kuasa, namun diharapkan dari hubungan itu etik imperatifnya hadir dalam bentuk pikiran terbuka, hubungan sosial yang setara, tata kelola ekonomi yang tidak timpang serta sistem politik berkeadaban. Kalau menurut saya platform seperti ini jauh lebih menjebol ketimbang “Islam Nusantara” atau “Islam Berkemajuan”.
Ajaran Syekh Siti Jenar berporos pada spirit pembebasan kultural yang diacukan pada semangat “ manunggaling kawula gusti”.
Syekh Siti Jenar memandang kehidupan manusia di alam dunia sebagai panggung kematian. Sebaliknya, apa yang disebut kalangan umum sebagai kematian, justru dikatakannya sebagai awal dari kehidupan hakiki.
Pandangan seperti ini membawa turunan berupa sikap untuk tidak terlampaui “serius” dalam melakoni kehidupan. Bahwa harta dan kuasa hanyalah sarana, bukan tujuan. Kekuasaan yang direngkuh siapapun sebagai alat untuk menghadirkan kemaslahatan publik.
Siti Jenar menuliskan seluruh ajarannya dalam kitab Balal Mubarak, Tal-misan, dan Musakhaf. Tiga kitab penting ini “dihilangkan” karena dianggap bisa merontokkan kemapanan iman. Ajarannya kemudian hidup dalam bentuk suluk dan menjadi subyek kajian para sastrawan keraton terutama pada abad ke-16, ke-17, dan ke-18.
Konflik politik
Sejarah mencatat bahwa abad ke-15 Majapahit berada pada senjakala kekuasaannya. Pergolakan dan pertentangan terjadi di berbagai wilayah. Bukan lagi otonomi daerah, tetapi berdiri kerajaan-kerajaan baru yang sepenuhnya terlepas dari Majapahit.
Di sisi lain pada era itu Islam dengan giat menyebarkan ajarannya terutama ke berbagai lapisan masyarakat yang ada di tanah Jawa. Termasuk kelak mampu mendirikan kerajaan bercorak Islam seperti Demak, Mataram, selain Giri Kedhaton dan Cirebon.
Tentu setiap serpihan kerajaan yang muncul, mereka bukan hanya terus berupaya mengokohkan pengaruhnya di tengah masyarakat namun juga mengantisipasi setiap kemungkinan yang bisa menjadi potensi ancaman kelangsungan eksistensinya. Di pusaran ini tersiarlah seorang anak muda yang dipandang berbahaya serta memiliki garis nasab dengan Majapahit, yaitu Ki Ageng Pengging yang notabene murid Lemah Abang.
Dalam ajaran Siti Jenar, tidak dibedakan antara kyai dan santri, rakyat, dan raja.
Seperti disampaikan K Ng Agus Sunyoto (2005) di lingkungan kerajaan Mataram dan Demak, keberadaan Syekh Siti Jenar banyak yang menentangnya. Dalam ajaran Siti Jenar, tidak dibedakan antara kyai dan santri, rakyat, dan raja.
Padahal, dalam pemerintahan kerajaan seorang rakyat harus mengabdi sebagai kawula kepada raja yang dianggap keturunan dewa. Kontroversi ajaran Syekh Siti Jenar inilah yang membuat sosok tokoh penyebaran Islam itu sangat diburu, dicari, dan hendak dimusnahkan apartus kerajaan dan Walisongo.
Raja dan warga yang setara
Ajaran kesetaraan raja dan warga, kyai, dan santri ini yang pada gilirannya menumbuhkan kritisisme di kalangan massa. Siti Jenar memfatwakan bahwa menghadap raja sambil nyembah itu terlarang. Raja jelmaan dewa menyebut dirinya intahulun, kulun, atau ingsun. Rakyatnya kawula.
Syeh Lemah Abang menyampaikan jangan menggunakan kawula atau kula, tetapi ingsun. Sebuah perubahan dan kesadaran baru pentingnya masyarakat setara non diskriminatif.
Dalam penelitian Agus Sunyoto, di mata Siti Jenar, pengikutnya bukan kawula tetapi orang sederajat yang kerja sama atau dalam bahasa Islam-nya musyarakah. Orangnya atau masyarakatnya sederajat dengan ulama. Sederajat dengan kyai.
Kalau Siti Jenar menerapkan gerakannya hanya di Cirebon mungkin tidak akan terlalu menuai masalah. "Tetapi Siti Jenar membuka wilayah di berbagai wilayah Desa Lemah Abang, Karawang, Banyuwangi, dan sekitarnya sehingga membikin raja dan sultan marah. Siti Jenar dianggap telah mengubah tatanan aliran keraton atau kerajaan".
Pada sebuah kesempatan amarah Syekh Siti Jenar meluap karena menemukan fakta sosial yang mengiris hatinya. Siti Jenar menjumpai masyarakat melarat. Pajak ditingkatkan, keringat mereka diisap para pejabat dan diperlakukan sangat tidak manusiawi. Dipekerjakan dengan upah di bawah standar minimum.
Siti Jenar terus menyuarakan ketimpangan. Menyerukan pentingnya politik dikelola akal sehat dan menempatkan masyarakat sebagai subyek penting dalam pembangunan. Pernyataan-pernyataan ini yang kemudian menimbulkan murka di kalangan elite Demak. Siti Jenar dianggap melakukan upaya pembangkangan, provokasi massa, dan perlawanan kepada raja dan ulama di jajaran Walisongo.
Pada titik ini kita menjumpai sejarah kelam yang tak henti berulang. Siti Jenar yang merefresentasikan blok Islam progresif dan membumi harus berhadapan dengan arus konservatisme agama yang telah bergandeng tangan dengan kelompok kepentingan untuk mengawetkan kekuasaan lalim.