Penanganan virus korupsi sistemik di Tanah Air menuntut koordinasi sinergis dan sistematis dengan memprioritaskan regulasi anti-korupsi tanpa politik sektarian. Dan ini perlu didukung pemerintahan yang bebas KKN.
Oleh
WILLIAM CHANG
·6 menit baca
Penangkapan dan pengungkapan kasus korupsi oleh KPK terus terjadi, terakhir kasus yang melibatkan seorang hakim agung. Ini bukanlah kasus terakhir korupsi sistemik di Tanah Air. Tanpa sosialisasi dan budi daya moral nexus dalam menyikapi ekosistem korupsi sistemik, bahaya penyelewengan dana bantalan sosial sebesar Rp 24,17 triliun akan kembali mengkhianati hajat hidup banyak orang yang sungguh miskin.
Dalam lingkup ASEAN, menurut The Transparency International Corruptions Perception Index (CPI) akhir tahun 2021, Indonesia menempati ranking keempat negara terbersih dengan nilai 38 atau di ranking ke-96 dari 180 negara di dunia. Posisi Indonesia di bawah Singapura yang meraih ranking pertama negara terbersih dengan nilai 85 dan menduduki ranking ke-4 dunia setara dengan Norwegia dan Swedia. Lalu, Malaysia di ranking kedua dengan nilai 48 dan bertengger pada ranking ke-62 sedunia. Kemudian Vietnam yang menempati ranking ketiga dengan nilai 39 dan mencapai ranking ke-87 dunia.
Korupsi sistemik atau endemik di Tanah Air dapat dianalogkan dengan sebatang pohon mangga yang akar, batang, dahan atau ranting, dan daunnya sedang menderita dan mengalami proses pembusukan. Pembiaran keadaan ini akan mengakhiri riwayat pohon mangga. Buah-buah yang baik sangat sulit diharapkan dari pohon mangga yang demikian.
Justru itu, langkah-langkah penyelamatan perlu segera diambil demi masa depan pohon itu. Bagian-bagian yang sakit segera diobati dan disembuhkan. Sementara bagian yang tak tertolong sebaiknya dipangkas supaya tidak menularkan virus endemik ini ke bagian lain dari pohon mangga (pars pro toto). Penjangkitan virus endemik ini sangat membahayakan pohon mangga itu.
Korupsi sistemik ini muncul dalam bentuk suap-menyuap terselubung sebagai ritus konvensional antara sektor pelayanan publik dan perusahaan-perusahaan atau individu dengan melibatkan pemerintah (Bank Dunia, 1997). Keadaan ini termasuk rahasia umum. Anggaran pemerintah direkayasa dengan pelbagai modus operandi kolusif.
Akibatnya, regulasi formal dan informal saling bertolak belakang. Struktur korupsi sistemik ini penuh dengan jebakan yang mengucurkan dana insentif untuk perusahaan, individu, dan aparat pemerintah dengan mengabaikan regulasi resmi pemerintah. Korupsi sistemik subur dalam zona yang bebas pengawasan ketat dan sistematis.
Klitgaard (2004) mengingatkan bahwa korupsi tipe ini dengan sendirinya mencemari dan merusak seluruh sistem pemerintah yang menceburkan diri ke dalam tradisi pemotongan anggaran, rekayasa audit keuangan, dan laporan fiktif. Padahal, tugas utama pemerintah adalah mencegah dan memberantas korupsi.
Indeks ”Wajar Tanpa Pengecualiaan” pada laporan keuangan lembaga pemerintah perlu lebih dicermati karena telah muncul indikasi bahwa predikat ini sudah dibisniskan oleh oknum-oknum tertentu. Akibatnya, tanggung jawab utama pemerintah untuk membersihkan sarang dan jaringan korupsi bisa terpolusi oleh stigma politis akreditasi. Manipulasi sejumlah oknum penguasa dan tekanan-tekanan politis acapkali membentengi tindak korupsi sistemik yang menghancurkan seluruh negeri (Williams-Elegbe, 2018).
Manipulasi sejumlah oknum penguasa dan tekanan-tekanan politis acapkali membentengi tindak korupsi sistemik yang menghancurkan seluruh negeri.
Perkuat ”moral nexus”
Sebuah interpretasi relasional atas moralitas (moral nexus atau Bilateralitaet in der Moral) dalam kasus korupsi sistemik di Tanah Air tak terelakkan. Dalam dunia modern, moralitas umumnya dipahami sebagai ”pembatasan normatif atas sikap dan tindakan” manusia yang berdimensi relasional. Setiap tindak korupsi tetap memengaruhi, dipengaruhi oleh, dan terkait dengan pihak-pihak lain. Dengan alur nalar ini, setiap aparat pemerintah seharusnya menjunjung kewajiban moral terhadap segenap masyarakat.
Moralitas modern dan sekuler tetap melekat dengan tuntutan-tuntutan dasar relasional. Dalam bingkai moral nexus, koruptor semestinya menyadari tanggung jawab dan kewajibannya terhadap semua anak bangsa. Moralitas ini tidak bisa lagi dipahami hanya dari sudut tinjau etis tentang hak dalam artian sempit, tetapi moralitas ini perlu ditafsirkan dalam bingkai relasional dengan rentetan hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam hidup bersama.
Ekstrak inti relasional dari diskursus tentang hak dan kewajiban yang terpadu bisa diperluas dengan sistem pencerahan publik. Pertimbangan dan perlakuan yang tidak peduli dengan pihak lain dan ekosistem sosial akan menimbulkan cacat-cacat moral dan mempersulit proses pemberantasan korupsi sistemik. Justru itu, kesadaran akan moral nexus akan mereduksi kecenderungan dan kebiasaan untuk melakukan korupsi sistemik atau endemik (Wallace, 2019).
Korupsi sistemik ini tak terlepas dari pengaruh sistem oligarkisasi kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang. Harus diakui, penegakan hukum yang adil belum atau tidak dengan serius diterapkan dalam pengelolaan sistem pemerintahan. Korupsi ini merujuk pada mismanagement fungsi internal sistem kekuasaan dalam lembaga pemerintahan.
The Economist Intelligence Unit menilai demokrasi Indonesia masih cacat ( flawed democracy).
Dalam sebuah negara demokrasi sejati penguasa akan sangat segan melukai hidup masyarakat dengan korupsi yang tak terkontrol. The Economist Intelligence Unit menilai demokrasi Indonesia masih cacat (flawed democracy) (Kompas, 29/8/2022). Penumpukan kekayaan dalam tangan sejumlah penguasa (menteri-menteri, anggota DPR/D, tentara, polisi, jaksa, hakim, tentara, polisi, PNS, guru, advokat, dan pihak swasta) mencerminkan sistem pemerintahan yang menggemburkan korupsi sistemik dalam sebuah negara (Vergara, 2020).
Perilaku seorang koruptor umumnya terkait dengan tuntutan (perorangan dan keluarga) untuk hidup mewah, shopping ke seantero dunia, menumpuk harta benda, dan menyembunyikan duit di negara-negara yang aman. Pola hidup sederhana/ugahari diabaikan. Kecenderungan untuk memperkaya diri sangat menonjol. Jabatan pelayanan publik diprovitasi. Godaan dan desakan hidup luksus mendorong seorang koruptor untuk melakukan penyelewengan dana yang pada hakikatnya merugikan hak orang banyak.
Serius berantas korupsi
Sebagai negara yang berhasil dalam memberantas korupsi sistemik, pemerintah Singapura memiliki tekad politik yang sangat serius dalam menghadapi jejaring korupsi sistemik. Dana khusus disediakan hanya untuk memerangi korupsi. Lalu, toleransi kultural dalam memberantas korupsi sistemik dikawal dengan penegakan hukum yang adil.
Keseriusan ini tidak mengenal sistem ”tebang pilih” dalam menghadapi koruptor. Siapa pun yang terlibat dan terbukti melakukan korupsi harus disanksi secara proporsional. Strategi pemberantasan korupsi sistemik yang efektif akan sangat menentukan keberhasilan penanganan korupsi sistemik di masa depan (Quah, 2017).
Sebagai negara yang berhasil dalam memberantas korupsi sistemik, pemerintah Singapura memiliki tekad politik yang sangat serius dalam menghadapi jejaring korupsi sistemik.
Seperti Singapura, peran kebudayaan sangat dominan dalam menyikapi regulasi antikorupsi di New Zealand. Yang sangat menonjol di Negeri Kiwi ini adalah warisan budaya egaliter di hadapan hukum. Sistem penerapan hukum yang ketat berlaku dalam penanganan kasus korupsi. Ketertiban dan kesiapan mental dalam menaati hukum sangat memengaruhi proses pemberantasan korupsi. Standar etika yang tinggi, etos kejujuran, dan fairness membuat masyarakat siap mengatasi kasus korupsi. Budaya mencopet, merampas, dan merampok dikikis dalam proses hidup sosial.
Sekurang-kurangnya ada tiga unsur hakiki dalam menanggulangi korupsi sistemik. Pertama, jalur pelayanan umum harus menegakkan prinsip kejujuran dan transparansi. Tidak ada lagi yang berani bermain-main di luar jalur resmi.
Kedua, semua jenis sistem pembayaran di bawah meja dan tak terpantau sudah waktunya dihentikan (pungli, suap-menyuap, jatah premanisme, dan uang pelicin). Administrasi pengurusan keuangan dan surat-menyurat yang serba amburadul dan tidak transparan segera diperbaiki. Struktur hukum yang tegas dan adil berlaku untuk semua segmen pelayanan publik. Ketiga, sebuah azas moral nexus dan kultur reformatif sesuai dengan tuntutan sosial akan mempermudah pemberantasan korupsi dalam sebuah negara (Zirker, 2017).
Penanganan virus korupsi sistemik di Tanah Air menuntut koordinasi sinergik dan sistematik dengan memprioritaskan regulasi anti-korupsi tanpa politik sektarian. Namun, sebuah sistem, regulasi, dan manajemen pelayanan sebaik apa pun tidak akan efektif kalau tidak didukung oleh aparat pemerintah yang bebas KKN (bdk. Kasus mantan Mensos JP Batubara).
Keterkaitan antara mekanisme penyaluran bansos dan aparat pemerintah yang sungguh menjunjung moral nexus akan mempersempit ruang penyelewengan. Jika tidak, bukanlah mustahil kalau ada almarhum/ah masih menerima bantalan sosial, orang tertentu akan mendapat beberapa kali bantalan ini, dan yang sungguh-sungguh miskin luput dari sentuhan bantalan ini.
William Chang, Profesor Etika Sosial Universitas Widya Dharma Pontianak