Penetapan UMP selalu menjadi ”ladang pertarungan” setiap tahun. Kenaikan BBM dan harga kebutuhan pokok yang kini terjadi akan makin meruncingkan sentimen ini.
Oleh
NABIYLA RISFA IZZATI
·4 menit baca
Awal September lalu, pemerintah resmi mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan kenaikan harga BBM jenis pertalite, solar, dan pertamax. Selain memberikan efek langsung kepada pengeluaran transportasi masyarakat, kenaikan BBM tentu akan berimbas pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kementerian Keuangan menghitung bahwa inflasi sepanjang 2022 akan mencapai 6,7 persen, proyeksi yang lebih tinggi dari target semula.
Bagi pekerja, laju inflasi yang melejit akan menyebabkan biaya hidup yang makin mengimpit, terutama jika tidak diimbangi oleh kenaikan upah. Negara perlu lebih tanggap merumuskan kebijakan pengupahan yang lebih berkeadilan, khususnya terkait dengan penetapan upah minimum yang menjadi ranah pemerintah.
Problem formulasi UMP
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah telah menyatakan bahwa penetapan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2023 akan tetap menggunakan formula perhitungan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP No 36/2021). Padahal, formula ini sudah terbukti menghasilkan UMP dengan kenaikan terendah (rata-rata 1,09 persen) pada tahun 2022.
Sebagai perbandingan, kenaikan upah minimum 5 tahun sebelumnya yang menggunakan formula PP No 78/2015 selalu berada di atas 8 persen. UMP 2022 juga adalah untuk pertama kali kenaikan upah minimum berada di bawah tingkat inflasi tahun berjalan.
Rendahnya kenaikan UMP berdasarkan formula PP No 36/2021 bahkan berujung polemik yang tak kunjung tuntas di daerah, seperti Provinsi DKI Jakarta. Hingga kini, nilai UMP DKI Jakarta tahun 2022 belum selesai disengketakan di PTUN. Selain menyebabkan ketidakpastian hukum, nilai UMP 2022 ini penting karena akan menjadi penentu dalam perhitungan UMP tahun berikutnya.
Hal yang paling krusial, formula UMP yang berlaku saat ini dirasa tidak merepresentasikan kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja. Akar permasalahan ini adalah karena survei KHL tidak lagi menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan UMP. Perhitungan UMP dalam PP No 36/2021 hanya mengacu pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang sering kali tidak representatif dengan kenaikan kebutuhan hidup di lapangan.
Survei KHL sebagai alternatif
Dewan Pengupahan Nasional sempat mewacanakan untuk mengadakan kembali survei KHL dalam menyongsong penetapan UMP 2023. KHL merupakan standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja lajang untuk bisa hidup layak secara fisik, nonfisik, dan sosial untuk satu bulan. Komponen yang dihitung dalam KHL, antara lain, adalah makanan dan minuman, sandang, perumahan, kesehatan, dan transportasi.
Rencana melangsungkan survei KHL merupakan alternatif sangat baik yang perlu diapresiasi. Hasil survei KHL ini baiknya benar-benar menjadi bahan pertimbangan dalam sidang penetapan UMP 2023. Jika memang angka UMP berdasarkan formulasi PP No 36/2021 berada di bawah nilai KHL di daerah tersebut, perlu ada ketegasan dan keberanian Dewan Pengupahan untuk memberikan rekomendasi UMP dengan nilai yang lebih tinggi.
Dewan Pengupahan Nasional sempat mewacanakan untuk mengadakan kembali survei KHL dalam menyongsong penetapan UMP 2023.
Berkaca dari Putusan PTUN Nomor 11/G/2022/PTUN JKT tentang UMP DKI Jakarta, meski pengadilan mengabulkan gugatan Apindo terhadap Gubernur DKI Jakarta, Majelis Hakim memerintahkan Gubernur untuk menetapkan ulang UMP DKI Jakarta dengan nilai yang didasarkan pada rekomendasi Dewan Pengupahan Unsur Pekerja. Padahal, nilai yang direkomendasikan oleh Dewan Pengupahan Unsur Pekerja tidak mengacu pada formulasi PP No 36/2021.
Dari sini dapat diartikan bahwa diskresi Dewan Pengupahan untuk memberikan rekomendasi di luar formulasi PP No 36/2021 dapat dibenarkan jika dilakukan dengan pertimbangan pemenuhan keadilan bagi masyarakat luas. Gubernur yang memiliki kewenangan untuk menetapkan UMP juga perlu menangkap peluang diskresi ini, untuk memastikan UMP yang ditetapkan di daerahnya dapat memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja.
Potensi konflik
Pemerintah pusat melalui Kementerian Ketenagakerjaan boleh saja selalu berdalih bahwa UMP bukan satu-satunya kebijakan pengupahan yang dapat menjamin kesejahteraan pekerja. Seharusnya UMP memang jaring pengaman yang hanya diberikan bagi pekerja dengan masa kerja nol (0) tahun.
Bagi pekerja yang telah bekerja lebih lama, ada kewajiban perusahaan untuk memiliki struktur dan skala upah yang menjamin kenaikan gaji di atas UMP. Namun, harus diakui bahwa ketentuan ini jauh panggang dari api.
Banyak perusahaan yang tidak memiliki struktur skala upah karena pengawasan dari pemerintah pun minim.
Banyak perusahaan yang tidak memiliki struktur skala upah karena pengawasan dari pemerintah pun minim. Banyak pula pekerja yang sudah bekerja menahun, tetapi tetap bergaji upah minimum, bahkan di bawahnya.
Mau tidak mau UMP menjadi satu-satunya kebijakan pengupahan yang dapat dirasakan dan terlihat langsung efeknya oleh pekerja. Karena itulah, penetapan UMP selalu menjadi ”ladang pertarungan” setiap tahun. Kenaikan BBM dan harga kebutuhan pokok yang kini terjadi akan makin meruncingkan sentimen ini.
Pekerja pasti berharap UMP 2023 naik dengan nilai signifikan, hal yang tentu akan dirasa memberatkan dari sisi pengusaha. Potensi gesekan dan konflik dalam proses penetapan UMP 2023 pun menjadi sangat besar.
Pada akhirnya, penting untuk diingat bahwa landasan filosofis kebijakan pengupahan adalah memastikan setiap pekerja mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Jika nilai UMP 2023 tidak dapat mengimbangi kenaikan kebutuhan hidup pekerja, tujuan utama dari kebijakan pengupahan telah tertanggalkan.
Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Dewan Pengupahan perlu memikirkan terobosan untuk mencari formulasi UMP yang ideal dan dapat diterima oleh para pihak serta memberikan rasa keadilan bagi masyarakat luas.
Nabiyla Risfa Izzati, Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum UGM; Mahasiswa Doktoral Queen Mary University of London