Drama Kenaikan Harga BBM dan Tragedi Angkutan Publik
Drama kenaikan harga BBM akan terus terjadi selama belum tersedia transportasi massal yang memadai untuk mobilitas masyarakat dan masyarakat masih mengandalkan kendaraan pribadi.
Oleh
YAHYA WIJAYA
·4 menit baca
Drama kenaikan harga BBM selalu terulang sejak zaman Orde Baru hingga sekarang. Masalahnya tetap sama dan sudah diketahui umum, yaitu kebergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. Penyebabnya juga sama, yaitu kegagalan pemerintah menyediakan angkutan publik yang memadai, khususnya angkutan publik dalam kota.
Selama pemerintahan Jokowi, banyak jalan tol dibangun di seluruh negeri, tetapi jalan tol lebih memfasilitasi kendaraan pribadi. Nyatanya jalan tol memperlancar koneksi antar-kota, tetapi menambah kemacetan di dalam kota-kota yang terhubung.
Sampai saat ini pembangunan angkutan publik di dalam kota-kota di Indonesia terkesan tidak serius, kecuali barangkali di Jakarta yang telah memiliki MRT, LRT, dan Transjkarta. Memang ada proyek bus kota yang disebut ”Teman Bus” yang diterapkan di beberapa kota besar, seperti Yogyakarta dan Makassar. Namun, baik jangkauannya maupun fasilitasnya, masih jauh dari memadai.
Akibatnya, sambutan masyarakat pun terkesan minimalis. Bahkan, banyak orang sama sekali tidak tahu adanya layanan tersebut. Di beberapa ruas jalan di Yogyakarta, armada Teman Bus tampak berlalu lalang, tetapi lebih sering terlihat kosong daripada berpenumpang, bahkan di jam-jam sibuk.
Kebanyakan orang bahkan tidak tahu di mana bus-bus itu berhenti karena tidak ada tempat pemberhentian yang berpeneduh kecuali di kawasan pusat kota, seperti Malioboro. Jarak satu tempat pemberhentian ke tempat pemberhentian berikutnya juga terlalu jauh, bahkan di wilayah yang padat penduduk. Hanya mereka yang kebetulan tinggal di sekitar tempat pemberhentian (yang ditandai hanya dengan rambu lalu lintas yang kecil) yang terjangkau layanan.
Lebih aneh lagi, di tempat-tempat ramai, seperti pasar dan pusat pertokoan (selain Malioboro), justru tidak ada tempat pemberhentian, barangkali karena ruangnya sudah dikuasai tukang parkir. Belum lagi penataan jalur yang tidak jelas polanya, apakah dimaksudkan sebagai angkutan penduduk atau angkutan wisatawan.
Angkutan publik
Sejarah angkutan publik di negeri ini memang tidak selalu cemerlang. Sebelum membanjirnya produk sepeda motor yang relatif murah, kota-kota di Indonesia dilayani oleh angkutan publik berupa bus mini yang akrab disebut angkot. Kota seperti Yogyakata menggunakan bus makro yang merupakan pengembangan dari angkutan mahasiswa Universitas Gadjah Mada karena semua bermuara di kampus Bulak Sumur.
Reputasi dari angkutan publik masa lalu itu cukup traumatik. Selain mengabaikan faktor kenyamanan, angkot juga penyumbang besar kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas karena jumlahnya yang tak terkendali dan kebiasaan berhenti di sembarang tempat. Selain itu, keamanan penumpang juga tidak terjamin dengan banyaknya kasus pencopetan dan penodongan yang dialami pengguna angkot.
Alih-alih mendapat dukungan berupa kebijakan insentif, angkot justru dijadikan sumber pendapatan pemerintah daerah melalui pungutan retribusi dan perizinan.
Pemerintah daerah pada waktu itu juga terkesan tidak menyadari pentingnya angkutan publik. Alih-alih mendapat dukungan berupa kebijakan insentif, angkot justru dijadikan sumber pendapatan pemerintah daerah melalui pungutan retribusi dan perizinan. Pengalaman buruk yang dialami banyak orang dengan angkot dan sejenisnya membuat masyarakat tidak mudah tertarik pada proyek angkutan publik masa kini, apalagi jika direncanakan dan dijalankan dengan setengah hati.
Mengharapkan adanya angkutan publik yang memadai tampaknya sia-sia karena pemerintah terkesan tidak tahu cara merencanakan, apalagi menyediakannya. Maka, beberapa orang mengemukakan gagasan ”Kembali Bersepeda”. Memang saat ini sepeda sudah kembali diminati masyarakat, tetapi lebih sebagai alat olahraga dan bersantai di hari libur.
Pemanfaatan sepeda untuk kegiatan sehari-hari akan mengurangi kebutuhan atas BBM dan, dengan demikian, menghemat anggaran pribadi dan polusi udara. Namun, sekali lagi, dibutuhkan fasilitas yang terencana dan memadai. Bersepeda di kota-kota Indonesia di jam-jam sibuk saat ini cukup berbahaya. Risiko tersenggol kendaraan bermotor sangat besar akibat tidak adanya jalur khusus yang aman.
Jika mau menyambut antusiasme masyarakat dalam bersepeda dan memanfaatkannya untuk transportasi sehari-hari dibutuhkan kebijakan pemberian insentif kepada pengguna sepeda. Insentif itu harus menghasilkan kenyamanan dan kemudahan, termasuk, misalnya, tempat parkir bebas biaya di tempat-tempat strategis, seperti pasar, kampus, dan stasiun kereta api. Anggaran untuk membangun fasilitas semacam itu pasti jauh di bawah anggaran untuk subsidi BBM yang, sekarang diakui, sukar untuk tidak salah sasaran.
Selama masyarakat tidak punya pilihan selain menggunakan kendaraan pribadi bermotor, kenaikan harga BBM, yang sering kali tak terelakkan karena terkait dengan situasi makro, akan terus menjadi drama yang sarat konsekuensi, bukan hanya ekonomik, melainkan juga politis.
Yahya Wijaya, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta