Tidak hanya diminta memberikan komitmen anggaran untuk transportasi publik, pemda juga diminta untuk memberikan prioritas kepada angkutan umum di ruang jalanan metropolitan.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Cakupan layanan angkutan umum di Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya, terbatas. Pemerintah daerah di empat kota metropolitan Pulau Jawa tersebut tidak memprioritaskan transportasi publik sebagai bagian dari layanan terhadap warganya. Belum ada komitmen membuat layanan angkutan umum yang memadai, baik dari sisi anggaran maupun kesiapan memprioritaskan angkutan umum di ruang jalan.
Hasil olah data terhadap layanan angkutan umum massal di Semarang, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan kawasan penyangganya menunjukkan, masih banyak warga di empat kota itu yang belum terlayani angkutan umum dengan baik. Dari empat kota tersebut, cakupan terbaik ditemukan di area Bandung Raya. Sebanyak 3,8 juta jiwa atau 79,3 persen dari total penduduk padat di area itu sudah tercakup angkutan umum. Kemudian disusul Yogyakarta sebesar 1 juta jiwa atau 74,4 persen, Semarang Raya 1,7 juta jiwa atau 62,1 persen, dan Surabaya Raya 2,7 juta jiwa atau 58,6 persen.
Temuan data ini diperoleh dari analisis tumpang susun sejumlah peta. Di antaranya peta sarana transportasi umum berupa titik-titik halte bus rapid transit (BRT), Teman Bus, stasiun kereta lokal, serta rute angkutan kota. Data tersebut diambil dari aplikasi transportasi umum Moovit dan dinas perhubungan di masing-masing pemda.
Titik halte dan stasiun dibuat radius 1 km dan rute angkutan kota 500 meter sebagai jangkauan terdekat warga setempat mengakses transportasi umum. Data tersebut kemudian ditumpang susun dengan peta area penduduk berkepadatan tinggi dari Global Human Sattlement Layer (GHSL) tahun 2015. Area di radius halte bus/stasiun kereta/rute angkot masuk ke dalam kategori tercakup layanan transportasi umum.
Meski Bandung memiliki cakupan angkutan umum paling luas, tapi 94,3 persen layanannya masih menggunakan angkot konvensional. Angkutan umum massal seperti Trans Metro Bandung baru melayani 60,9 persen warga.
Begitu juga dengan 2,3 juta penduduk Surabaya Raya yang sudah tercakup angkutan umum. Sebanyak 89,9 persen di antaranya masih dilayani angkot konvensional. Baru 49,2 persen penduduk dilayani oleh angkutan massal bus dan kereta komuter.
Kondisi lebih baik ditemukan di Yogyakarta dan Semarang. Warga di kedua kota tersebut masing-masing sudah terlayani angkutan umum massal 93,8 persen dan 89,2 persen.
Komitmen
Menilik rasio anggaran operasional BRT dengan pendapatan asli daerah (PAD) bisa menjadi gambaran seberapa besar komitmen Pemkot Surabaya, Bandung, Semarang, dan Pemprov DIY dalam menyediakan layanan angkutan umum massal. PAD dijadikan patokan karena menjadi gambaran kemampuan fiskal asli daerah tersebut.
Dua kota dengan cakupan layanan BRT tersempit, Bandung dan Surabaya, juga menjadi dua kota dengan kucuran anggaran operasional BRT terendah. Trans Metro Bandung, mendapat kucuran Rp 5,8 miliar atau hanya 0,6 persen dari PAD 2020. Di Surabaya, Suroboyo Bus mendapat pasokan Rp 59,7 miliar (1,1 persen dari PAD).
Sementara itu, Pemprov DIY mengucurkan Rp 87,1 miliar atau sekitar 4,6 persen dari PAD-nya untuk operasi Trans Jogja. Di Semarang, anggaran operasi Trans Semarang pada 2020 mencapai Rp 164,2 miliar, atau 6,5 persen dari PAD.
Selain jumlah penduduk yang tercakup, luas layanan juga tercermin pada jumlah koridor BRT yang dioperasikan. Trans Metro Bandung memiliki tiga koridor yang beroperasi, Suroboyo Bus memiliki empat koridor termasuk satu rute bis tingkat; Trans Jogja memiliki 17 trayek; Trans Semarang memiliki 9 koridor utama dan 3 koridor pengumpan.
Cakupan layanan, kualitas layanan, jumlah armada, hingga prasarana yang masih terbatas ini diyakini pakar transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Hera Widyastuti, cerminan dari komitmen anggaran yang masih rendah. “Di Surabaya, misalnya, memang sudah ada koridor lintas utara-selatan, dan barat-timur. Tetapi ini masih kurang, belum mencapai pusat-pusat kegiatan lainnya,” kata Hera.
Dia mencontohkan, Kawasan Pelabuhan Tanjung Perak, Kawasan Industri SIER, dan Kawasan Citraland yang hingga kini tercatat belum terlayani angkutan umum dengan baik.
Sebagai perbandingan, subsidi transportasi untuk Transjakarta pada 2020 mencapai 5,7 persen dari PAD DKI Jakarta, atau sekitar Rp 3,29 triliun.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi berpendapat, rasio anggaran transportasi publik terhadap PAD di Jakarta bisa disebut mendekati ideal. Ia pun menilai bahwa anggaran yang diberikan Pemkot Semarang telah mencerminkan komitmen terhadap angkutan umum yang tinggi.
Menurutnya, masih ada persepsi bahwa angkutan umum harus memberikan keuntungan bagi pemda. "Pemda dan DPRD terkadang melihat transportasi publik sebagai bisnis, bukan layanan masyarakat,” kata Budi.
Kepala UPT Trans Semarang Hendrix Setiawan mengatakan, penyediaan transportasi murah seperti Trans Semarang adalah hasil kemauan politik yang kuat. “BRT itu harus murah karena menjadi salah satu janji politik pak wali,” sebutnya.
Hera menambahkan, legislatif di daerah terkadang masih memandang bahwa angkutan umum adalah sumber retribusi untuk PAD. Padahal, seharusnya, angkutan umum adalah hajat hidup orang banyak dan pemerintah perlu memberikan pelayanan bagi masyarakat.
“Kalau pemerintah dituntut untuk memberikan retribusi atau bahkan keuntungan dari layanan transportasi ya jadinya pemerintah tidak akan berani mengeluarkan anggaran besar untuk angkutan umum,” kata Hera.
Tekanan bagi BRT untuk menghasilkan retribusi, dialami Pemkot Surabaya. Kepala Dinas Perhubungan Kota Surabaya Tunjung Iswandaru mengatakan setiap tahun ditarget pemasukan sebesar Rp 10 miliar.
Sentimen buruk terhadap anggaran angkutan umum pun dirasakan Pemprov DIY. Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DIY Ni Made Dwi Panti Indrayanti mengatakan, banyak pihak yang mengomentari anggaran untuk Trans Jogja hanya membebani keuangan daerah.
Kondisi semacam inilah, menurut Budi, yang membuat pemerintah menyediakan skema buy the service (BTS). Melalui skema BTS, pemerintah daerah mendapat layanan angkutan umum massal dari operator yang biayanya berasal dari pemerintah pusat. Biaya dihitung dengan metode rupiah per km.
Sejak diinisiasi pada 2020, kini sudah ada 11 kota yang dilayani bus BTS. Bagi kota yang sudah memiliki BRT, bus BTS dioperasikan terintegrasi dengan jaringan yang ada.
Karpet merah
Selain komitmen pada anggaran, Budi juga menilai bahwa sudah saatnya pemda menerapkan strategi push atau kebijakan yang mendorong warga meninggalkan kendaraan pribadi, khususnya bagi pemda yang sudah mendapat bantuan BTS dari pemerintah pusat.
Bahkan dalam nota kesepahaman Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub dengan pemda penerima, salah satu poin yang disepakati adalah pemda diharapkan melakukan push strategy yang berpihak ke angkutan umum. Strategi ini bisa dilakukan dengan pembatasan ruang seperti ganjil-genap maupun pembatasan waktu seperti pemberian prioritas kepada bus pada jam sibuk dan pembentukan jalur khusus semacam ‘busway’. “Beri karpet merah untuk transportasi publik kita,” kata Budi.
Namun belum semua kota dengan sistem BTS telah memberlakukan kebijakan push strategy yang komprehensif. Tundjung mengatakan, push strategy di Surabaya masih dalam proses kajian. Ini karena, menurutnya Surabaya bukan kota yang terlalu macet.
Pemkot Bandung pun mengambil sikap yang sama. Kasi Perencanaan dan Evaluasi Transportasi Dishub Kota Bandung Santi Prianti menyebutkan kebijakan push stragegy yang baru dilakukan adalah peningkatan tarif parkir tepi jalan. “Kebijakan lainnya sudah direncanakan tapi belum diimplementasikan. Kami masih konsentrasi ke pull strategy,” jelasnya.
Di Yogyakarta push strategy baru diterapkan melalui pemberlakuan zona bebas kendaraan bermotor dari pukul 18.00 hingga 21.00 WIB di Malioboro. Ketua Organda DIY Hantoro mengatakan, salah satu push strategy yang bisa dilakukan Pemprov DIY mewajibkan siswa dan pegawai negeri untuk menggunakan Trans Jogja. (PUT/XNA/SPW)