8,8 Juta Warga Jabodetabek Sulit Akses Transportasi Publik
Cakupan layanan angkutan umum di Jakarta dan wilayah penyangga terbatas. Ada 8,8 juta warga tak terjangkau akses transportasi. Strategi mendorong warga memakai angkutan umum tidak efektif.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA PRATAMA PUTRA, MARGARETHA PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Penumpang turun dari kereta KRL di Stasiun Jakarta Kota, Jakarta Barat, Kamis (12/3/2020). Warga sebagai pengguna transportasi umum diharapkan dapat berperan aktif mencegah penyebaran Covid-19 antara lain dengan menjaga kebersihan diri, menggunakan masker terutama jika sedang sakit, tidak meludah ataupun batuk sembarangan serta memeriksakan diri di pos kesehatan yang tersedia.
JAKARTA, KOMPAS – Ada 8,8 juta warga di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang tidak terjangkau simpul angkutan umum massal. Hasil analisis Kompas menemukan, cakupan layanan angkutan umum massal di Jakarta dan wilayah penyangganya tidak merata. Cakupan layanan angkutan massal di Jakarta menjangkau 96,1 persen penduduk. Sementara di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) hanya menjangkau 26,2 persen dari total penduduk di wilayah tersebut.
Analisis dilakukan dengan menumpang susun peta data penduduk dan peta sebaran halte/stasiun. Data penduduk diperoleh dari raster Global Human Settlement Layer (GHSL) tahun 2015. Sementara peta sebaran halte dan stasiun diperoleh dari aplikasi Moovit. Angkutan umum yang dianalisis adalah bus Transjakarta, Transjabodetabek, Trans Pakuan, Trans Patriot, Trans Tangerang dan bus Jakarta Residential Conexion (JRC), mikrotrans, kereta komuter, MRT, serta LRT. Angkutan kota yang tak terintegrasi transportasi umum massal tidak diperhitungkan.
Halte dan stasiun yang digunakan tercatat masih aktif sesuai rute bus atau kereta yang dilaluinya. Untuk mengetahui cakupan layanan angkutan massal, setiap halte dan stasiun dibuat radius 1 km sebagai jarak maksimum yang dapat dijangkau penduduk. Namun untuk halte mikrotrans dibuat radius 500 meter. Selanjutnya, semua radius halte dan stasiun di Jabodetabek digabung dan ditumpangsusunkan dengan data wilayah berkepadatan penduduk tinggi atau lebih dari 12.000 jiwa perkilometer persegi.
HANS KRISTIAN
Infografik Cakupan Layanan Angkutan Umum Massal di Jabodetabek - Jurnalisme Data
Ada 20,5 juta warga Jabodetabek menghuni wilayah berkepadatan tinggi. Dari jumlah tersebut, ada 8,8 juta warga yang belum terlayani angkutan umum massal. Perinciannya, warga Kabupaten dan Kota Bogor yang belum terlayani 70,2 persen. Kabupaten dan Kota Bekasi (70,5 persen). Kabupaten dan Kota Tangerang, serta Kota Tangerang Selatan (77,1 persen). Kota Depok (78,5 persen). Sementara warga Jakarta yang belum terlayani hanya 3,9 persen.
Sejumlah wilayah berkepadatan tinggi di Bodetabek tidak dilalui jalur angkutan umum massal. misalnya di daerah Gunung Putri dan Klapanunggal di sisi timur Kabupaten Bogor. Wilayah yang selama 15 tahun terakhir ini berkembang baru akan mendapat simpul transportasi massal kelak LRT Jabodebek beroperasi di pertengahan 2022. Cikupa, Tangerang yang selama beberapa tahun terakhir berkembang juga belum memiliki simpul transportasi massal. Daerah Bekasi Utara cenderung minim akses terhadap KRL yang menjadi jalur utama transportasi massal wilayah tersebut. Untuk mencapai stasiun KRL dari wilayah ini, warga harus mengandalkan angkot lokal dengan standar pelayanan beragam.
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Kondisi mikrolet angkutan kota Bekasi yang dikendarai oleh Cui (42), seperti yang terlihat pada Jumat (14/1/2022). Angkot konvensional memiliki standar pelayanan yang beragam.
“Sudah lama sekali enggak pakai angkot. Kalau angkot kan lama, pakai nunggu juga. Apalagi kalo lagi bawa barang juga susah, sempit,” ujar Jumini, warga Pondok Ungu Bekasi. Beberapa tahun yang lalu, angkot masih memasuki kompleks perumahannya Jumini, namun kini, dia harus berjalan lebih dari satu kilometer untuk mencapai trayek angkot.
Untuk mengetahui tingkat kesulitan warga di wilayah tersebut dalam bermobilitas, tim melakukan simulasi dengan menggunakan semua jenis moda angkutan umum menuju kawasan Monas, Jakarta Pusat. Ditentukan tiga titik lokasi di wilayah berkepadatan tinggi namun tidak terlayani angkutan umum massal, yakni sebuah perumahan di Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi; perumahan di Kecamatan Klapanunggal; serta perumahan di Kecamatan Cikupa.
Hasilnya, di Bekasi misalnya, sebuah trayek mikrolet sudah tidak melewati satu ruas jalan tertentu karena tidak ada minat warga. Di Bogor, penumpang angkot harus dipindahkan ke mobil lain dalam trayek yang sama. Kualitas angkot pun rendah. Durasi perjalanan dari ketiga lokasi ini menuju Monas dua kali lebih lama ketimbang menggunakan sepeda motor atau mobil pribadi.
Menurun
Di sisi lain, Survei Komuter BPS 2014 mencatat, ada 23,6 persen penduduk pengguna angkutan umum. Namun, survei komuter 2019, menurun menjadi 20,4 persen. Ini menunjukkan, peningkatan penumpang KRL Jabodetabek dan Transjakarta belum mengimbangi pertumbuhan pengguna kendaraan pribadi.
Jumlah penumpang KRL Jabodetabek menurut data BPS pada 2014-2019 menunjukkan peningkatan: dari 208,5 juta orang per tahun pada 2014 menjadi 336 juta pada 2019.
Penumpang bus transjakarta pun terus meningkat. Pada 2014 jumlah penumpang transjakarta adalah 112 juta per tahun dan meningkat 69 persen pada 2018 menjadi 190 juta penumpang.
AGUIDO ADRI
Pembatasan layanan transportasi publik menyebabkan kemacetan panjang di Jalan MH Thamrin dan Jalan Sudirman, Senin (16/3/2020).
Namun, BPS juga mencatat tahun 2020 jumlah mobil penumpang pribadi di Jakarta mencapai 3,4 juta unit atau naik 30,9 persen dibanding lima tahun lalu. Sedangkan di Bodetabek sebanyak 1,6 juta unit atau naik 42,5 persen. Begitu juga sepeda motor di Jakarta 16,1 juta unit (naik 21 persen) dan Bodetabek 8 juta unit (naik 7,1 persen).
"Push and pull"
Sejak 2016, pemerintah mengenalkan kebijakan transportasi perkotaan melalui strategi push and pull alias mendorong masyarakat meninggalkan kendaraan pribadi, sembari menarik minat mereka menggunakan angkutan umum massal. Strategi mendorong warga meninggalkan kendaraan pribadi antara lain kebijakan ganjil genap, three-in-one, tarif parkir progresif, serta jalan berbayar atau Electronic Road Pricing. Sementara strategi menarik warga menggunakan angkutan umum antara lain dengan memperbaiki layanan supaya setara atau lebih unggul dibandingkan dengan kendaraan pribadi.
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Direktur Lalu Lintas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan Sigit Irfansyah saat ditemui di kantor Kementerian Perhubungan RI, Jakarta, pada Selasa (25/1/2022) siang. Sigit mengatakan, ada ketimpangan antara layanan transportasi di Jakarta dengan daerah penyangganya.
Direktur Lalulintas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Sigit Irfansyah mengakui, saat ini cakupan layanan transportasi massal antara Jakarta dan penyangganya sangat timpang. Cakupan layanan krusial untuk menarik warga dari kendaraan pribadi. Jika transportasi umum tidak dekat dengan warga, tentu tidak akan menjadi pilihan bermobilitas.
“Implementasinya terkadang push-nya paling gampang. Kalau push kan tidak perlu uang, hanya kebijakan. Kalau pull kan harus investasi. Kadang-kadang ada yang lupa, push-nya keluar, pull-nya lambat,” katanya.
Menurut pakar transportasi Djoko Setijowarno, cakupan layanan yang rendah inilah yang membuat angkutan umum kalah praktis dibandingkan sepeda motor bagi warga di daerah penyangga Jakarta.
PANDU LAZUARDY PATRIARI
Infografik - Jumlah Pilihan Moda Transportasi Massal -Jurnalisme data