”Rethinking” Pariwisata Bali
Strategi pengembangan pariwisata Bali bukan lagi mendatangkan lebih banyak wisatawan. Memikirkan kembali pariwisata Bali adalah soal mendatangkan kemakmuran bagi masyarakatnya.
Kita akan segera menyambut Hari Pariwisata Dunia pada 27 September. Bertema ”Rethinking Tourism”, Organisasi Pariwisata Dunia atau UNWTO memilih Bali untuk acara tahun ini.
Setelah dua tahun didera pandemi, pariwisata kini siap bangkit dengan pemikiran baru. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengatakan, Indonesia akan fokus pada pariwisata berkualitas yang berkelanjutan dan berdampak positif terhadap lapangan kerja.
Tentu membanggakan Bali menjadi tuan rumah hajatan dunia di tahun kebangkitan pariwisata. Bali memang memenuhi kriteria sebagai ”merek” yang kuat dan mudah menancap dalam benak siapa pun. Lazimnya, merek yang kuat mendatangkan kemakmuran bagi pemiliknya. Apakah benar demikian untuk Bali: baik bagi Indonesia maupun bagi penduduk Bali? Banyak pihak yang meragukan.
Kebocoran ekonomi
Telah sering diungkap kebocoran ekonomi atau kebocoran pariwisata (economic/tourism leakage), fenomena jamak dalam pariwisata di negara berkembang akibat usaha-usaha pariwisata dimiliki badan asing. Walaupun penduduk memperoleh pekerjaan (dengan upah minimum) dan negara menerima pajak, keuntungan kembali ke negara pemodal dan tidak direinvestasi ke destinasi.
Baca Juga: Pariwisata Masih Menjadi Napas Hidup Bali
Studi menunjukkan kebocoran pariwisata Bali untuk sektor akomodasi bintang 4-5 berada di atas 50 persen. Sebuah majalah Australia menuliskan: ”Di Bali, kita membayar hotel 200 dollar semalam dan itulah gaji pegawainya sebulan.”
Modal asing ini juga membuat tak banyak warga Bali mampu berkompetisi memiliki usaha wisata yang ”serius”, seperti restoran dan hotel. Untuk mengais sisa kue yang tersedia, salah satu cara cepat adalah dengan menjadi pengemudi mobil sewa melayani wisatawan. Di tataran strategi destinasi, ini membuat transportasi publik sulit berkembang.
Padahal, mayoritas turis asing yang menjadi subyek penelitian doktoral penulis mendambakan transportasi publik sebagai satu syarat sebuah ”Bali yang ideal”. Efek negatif lain adalah gesekan karena persaingan. Misalnya, di Bali cukup banyak desa atau obyek wisata yang melarang masuknya ojek atau taksi online.
Bahkan, ternyata friksi itu tak melulu soal berebut pasar jasa transportasi. Hal lain yang menarik adalah komisi dari restoran-restoran kepada pengemudi karena membawa turis ke sana, yang sering lebih besar daripada harga makanan/minuman sendiri. Jika turis datang dengan ojek atau taksi online, komisi itu tidak mereka dapatkan. Sebagian turis asing menyebutnya ”drivers mafia”.
Kondisi tersebut membuat makin tak menarik bagi warga Bali untuk punya restoran. Cukup dengan mengemudi mobil sewa, sudah bisa memperoleh komisi lebih besar daripada penghasilan bruto restoran. Pemerintah daerah bisa saja memblokir dengan mewajibkan harga makanan terpampang transparan di papan (untuk mencegah adanya dua menu dengan harga berbeda), tetapi dampak sosialnya perlu dikaji cermat.
Jika turis datang dengan ojek atau taksi online, komisi itu tidak mereka dapatkan. Sebagian turis asing menyebutnya drivers mafia.
Pariwisata massal
Tantangan berikutnya adalah pariwisata massal. Tersirat dari padatnya lalu lintas di Canggu-Berawa (yang sebetulnya bisa saja diatasi dengan rekayasa lalu lintas ala pinggiran Jakarta). Jika destinasi butuh sangat banyak wisatawan untuk mendapat penghasilan yang agak layak, artinya sedang terjadi pariwisata massal.
Sering dibahas dampaknya terhadap lingkungan, baik polusi maupun ketersediaan sumber daya. Namun, teramati selama penelitian, dampak lanjutan yang ditimbulkan terhadap kehidupan sosial di Bali sejatinya lebih dahsyat walaupun tersembunyi. Layaknya bara dalam sekam.
Baca Juga: Alarm Peringatan Dini ”Overtourism”
Efeknya banyak. Pariwisata massal tentu membutuhkan pekerja massal juga. Sementara pekerja asli Bali terkendala produktivitas karena ikatan adat yang mewajibkan mereka terkadang meninggalkan pekerjaan untuk ngayah (mengabdi untuk kepentingan adat).
Suka atau tidak, ngayah inilah fondasi yang membuat Bali teguh memegang adat leluhur sehingga menjadi pulau dengan budaya yang menakjubkan seluruh dunia. Akibat kendala itu, kekurangannya diisi oleh pekerja pendatang dari luar Bali, yang notabene tidak wajib ngayah.
Hal tersebut memicu situasi pasar tenaga kerja yang kurang fair dan berbuntut SARA. Istilah ”Dauh Tukad” yang harfiah berarti ”Barat Sungai”, digunakan sebagai julukan pekerja yang datang dari barat Selat Bali.
Bahkan, sudah banyak orang asing yang menyadari tensi sosial berbau SARA ini. Terparah, isu SARA ini dimanfaatkan sebagian politisi untuk mendapat simpati dari warga asli Bali. Misalnya soal kejahatan kronis yang berlangsung tahunan di Kuta: penjambretan telepon genggam dengan korban puluhan turis asing.
Ketika lima pelaku yang tertangkap di Kuta ternyata asli Bali, para politisi itu senyap. Namun, ketika ada satu pelaku jambret asal Banyuwangi tertangkap di Sanur, politisi segera hadir membesarkan berita. Misinya membentuk opini bahwa problem di Bali disebabkan warga pendatang.
Eskalasi masalah sosial demi kepentingan politik seperti ini sungguh anti Sila Ketiga, harus segera diakhiri dengan kebijakan yang cerdas dan adil. Ini bukan hanya tugas Pemerintah Provinsi Bali, melainkan juga pemerintah pusat.
Dalam memasarkan pariwisata Bali, tugas pemerintah bukan mendatangkan lebih banyak wisatawan karena tanpa ditawarkan pun sudah banyak yang ingin datang.
Karena itu, pemerintah pusat wajib paham keistimewaan Bali karena apa yang di provinsi lain sudah biasa di Bali bisa menjadi isu sensitif. Tak seperti Daerah Istimewa Yogyakarta atau Nanggroe Aceh Darussalam, Bali tidak menikmati status daerah istimewa. Padahal, Bali jelas berbeda.
Contoh mendasar adalah sistem ganda pemerintahan di tingkat desa, dengan adanya desa adat dan ”desa dinas”. Fenomena-fenomena dampak berantai ini perlu menjadi prioritas penelitian para sosiolog untuk dirujuk oleh pemerintah pusat guna merumuskan kebijakan khusus bagi Bali.
Adapun dalam memasarkan pariwisata Bali, tugas pemerintah bukan mendatangkan lebih banyak wisatawan karena tanpa ditawarkan pun sudah banyak yang ingin datang. Tugas pemerintah adalah menerapkan strategi keberlanjutan. Ketika memerangi pariwisata massal, kuncinya kembali ke memilih segmen yang tepat.
Sulit untuk menyaring wisatawan berdasar kemampuan ekonomi, misalnya ”hanya turis bintang 5”. Tak besar manfaatnya juga karena lebih 50 persen akomodasi bintang 4-5 dimiliki asing, ujungnya keuntungan akan mengalir keluar negeri. Karena kekuatan Bali ada di budaya, segmen yang harus ditarget demi keberlanjutan adalah wisatawan budaya. Segmen ini tertarik ke Bali oleh motivasi budaya (cultural motifs) sehingga pesan-pesan promosi tentang Bali dan atraksi yang ditawarkan perlu terfokus ke sana.
Baca Juga: Pesan Pariwisata Berkelanjutan dari Ubud
Ketimpangan selatan dan utara
Menumpuknya wisatawan di Bali Selatan pun sejak lama menjadi pekerjaan rumah yang rumit. Namun, tidak berarti ekonomi semua kabupaten di Bali harus dominan pariwisata. Yang penting adalah semua kabupaten makmur, melalui kelebihan masing-masing dalam zonasi yang strategis.
Misalnya, Karangasem dan Tabanan berpotensi menjadi pusat pertanian dan pariwisata berbasis agro. Walaupun akibatnya pelabuhan BBM di Ulakan dan lalu-lalang truk penambang pasir dari Kubu akan menjadi ”suara sumbang” di Karangasem. Buleleng bisa menjadi pusat industri, logistik, dan penyedia energi; sedangkan Jembrana untuk industri agro-mina dan manufaktur.
Semua fenomena di atas perlu masuk pertimbangan dalam strategi pembangunan Bali sehingga walaupun ajeg bertahan dalam harmoni, Bali tetap maju. Bali sebagai merek yang kuat selayaknya mendatangkan kemakmuran berkelanjutan sambil menjaga lestarinya tradisi leluhur.
Prihartomo Andi, Konsultan Manajemen, Penulis Buku ”How to Build a Lasting Authentic Perception in Tourism Business”, Doktor Manajemen Lulusan Université de Haute-Alsace, Perancis