Alarm Peringatan Dini ”Overtourism”
Meski ”overtourism” belum dipandang berpotensi menurunkan sektor pariwisata terhadap pendapatan negara, tetap perlu langkah strategis menghadapinya. Ke depan pariwisata Indonesia sebaiknya mengedepankan kualitas wisata.
Setelah dua tahun tertekan akibat pandemi Covid-19, sektor pariwisata Indonesia mulai menunjukkan sinyal pemulihan. Kembalinya pariwisata ke jalur normal ditunjukkan oleh kunjungan wisatawan yang meroket tajam.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, selama periode Mei 2022 Indonesia mendapat 212.332 kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) melalui pintu masuk utama. Jumlah ini melonjak signifikan hingga 1.382 persen jika dibandingkan dengan Mei 2021 yang hanya sebanyak 14.323 kunjungan.
Melebihi daya dukung
Secara kumulatif sejak Januari hingga Mei 2022, jumlah kunjungan wisman melalui pintu utama mencapai 397.770 atau naik 616 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Bahkan, jumlah kunjungan wisatawan asing ke kawasan wisata utama, seperti Bali, naik hingga 500 persen daripada tahun sebelumnya.
Jumlah ini yang tertinggi sejak kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan pada Maret 2020. Peningkatan itu sejalan dengan pelonggaran pembatasan mobilitas masyarakat dan pintu masuk bagi wisatawan mancanegara.
Namun, dalam siklus hidup kawasan wisata, pertumbuhan kunjungan wisatawan secara besar-besaran akan diikuti dengan membeludaknya kunjungan hingga mencapai puncak. Fase ini merupakan sinyal periode stagnasi dan indikasi fenomena overtourism akan segera dimulai. Overtourism merupakan situasi dampak pariwisata pada waktu tertentu dan di lokasi tertentu telah melebihi ambang batas kapasitas fisik, ekologis, sosial, ekonomi, psikologis, dan politik.
Masalah utama terletak pada ketidakseimbangan antara jumlah wisatawan dan kapasitas destinasi yang tersedia.
Masalah utama terletak pada ketidakseimbangan antara jumlah wisatawan dan kapasitas destinasi yang tersedia. Semua masalah terkait overtourism bermuara pada terbatasnya daya dukung wisata sehingga penentuan daya dukung wisata menjadi concern utama, baik dalam tindakan maupun strategi untuk mengatasinya.
Terdapat tiga faktor yang menentukan daya dukung wisata, yaitu daya dukung fisik atau physical carrying capacity (PCC), daya dukung riil atau real carrying capacity (RCC), dan daya dukung efektif atau effective carrying capacity (ECC), yang dapat diuji menggunakan metode yang dikembangkan Cifuentes dan telah direkomendasikan oleh The International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Daerah yang telah mengalami overtourism akan mengalami berbagai masalah, seperti makin banyaknya warga setempat yang terganggu akibat terlalu ramainya pengunjung, terjadinya penurunan kualitas pengalaman wisatawan, terbebaninya infrastruktur, meningkatnya kerusakan alam, dan terancamnya warisan budaya.
Upaya mitigasi
Overtourism tidak hanya membebani permintaan penyedia akomodasi, tetapi juga mengakibatkan dampak sosial dan lingkungan, seperti kemacetan lalu lintas, fasilitas pembuangan limbah yang tidak memadai, dan membuang sampah sembarangan.
Ditambah kurangnya kesadaran lingkungan di kalangan wisatawan domestik mengenai kebersihan lokasi wisata, hal itu membuat masalah pembuangan sampah dan limbah menjadi sulit untuk diselesaikan. Terlebih demografi pengunjung didominasi kegiatan sebatas rekreasi, seperti piknik, hiburan, berpesta, dan olahraga, bukan berbasis kesadaran ekosentris.
Maka, untuk menjaga keberlanjutan pariwisata pascapandemi, dampak negatif overtourism harus ditekan sebagai bentuk langkah mitigasi.
Pertama, dalam jangka pendek sebetulnya masih ada opsi selain mengenakan tiket masuk yang harganya dinilai terlalu mahal tersebut dengan cara menentukan kuota harian pengunjung. Wisatawan dapat mengatur jadwal kedatangannya dari jauh-jauh hari sebagaimana membeli tiket kereta ataupun pesawat. Kalaupun tetap dikenai harga, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan harga yang masih terjangkau oleh masyarakat.
Baca juga : Seimbangkan Wisata dan Konservasi
Pengelola kawasan wisata perlu merancang dan menerapkan beberapa strategi, seperti penyesuaian harga tiket untuk wisatawan domestik dan wisatawan asing. Selain itu, penerapan sistem visitor management dengan membatasi jumlah kunjungan wisatawan melalui sistem reservasi tiket elektronik (e-ticketing) dapat memberikan peringatan dini jika kunjungan wisatawan telah melebihi batas maksimal.
Kedua, dalam jangka panjang, sebaiknya berbagai pemangku kepentingan di setiap daerah wisata membuat early warning tools yang akan memudahkan upaya pencegahan jika terjadi overtourism.
Alat ini akan mengukur ketiga aspek, yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial, di berbagai destinasi wisata. Untuk aspek lingkungan, misalnya, kita dapat mengukur dari kepadatan infrastruktur, kepadatan wisatawan di tempat wisata, polusi yang ditimbulkan, kerusakan lingkungan, dan sebagainya.
Adapun untuk aspek ekonomi, kita dapat mengukur dari perkembangan inflasi barang dan jasa, ulasan negatif wisatawan, dan sebagainya. Untuk aspek sosial, kita dapat mengukur dari jumlah penduduk yang termarjinalkan, kenaikan tingkat kriminalitas, konflik sosial yang terjadi, perubahan budaya, serta atraksi akibat komersialisasi dan komodifikasi.
Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang akurat tentu harus didukung oleh ketersediaan data yang akurat. Dalam hal ini, peran pemda sangat diperlukan untuk penguatan basis data. Sebab, data tersebutlah yang nantinya akan membantu pemerintah dan para pemangku kepentingan lain dalam merumuskan kebijakan agar tepat sasaran.
Ketiga, upaya lain yang juga harus dilakukan pemerintah adalah mengubah orientasi bisnis dari sebelumnya yang berdasarkan kuantitas kunjungan menjadi kunjungan wisata berbasis kualitas. Hal ini dapat dilakukan dengan menentukan segmen wisatawan.
Segmentasi ini dilakukan semata-mata untuk meminimalkan dampak negatif dan meningkatkan kualitas pariwisata di suatu daerah. Strategi ini diimplementasikan dengan gagasan length of stay management dengan memprioritaskan lama menginap wisatawan.
Strategi ini terbukti mampu menghindarkan banyak desa wisata dari fenomena overtourism dengan tetap memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat, dan pada saat yang sama juga berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
Warisan budaya serta keindahan alam Indonesia yang unik merupakan aset yang perlu dijaga keberlanjutannya, baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi.
Kedepankan kualitas
Ke depan, pariwisata Indonesia sebaiknya mengedepankan kualitas wisata itu sendiri daripada sekadar kuantitas kunjungan wisatawan. Warisan budaya serta keindahan alam Indonesia yang unik merupakan aset yang perlu dijaga keberlanjutannya, baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi.
Walaupun fenomena overtourism belum dipandang berpotensi menurunkan kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan negara, tetap perlu diformulasikan langkah perhitungan ataupun langkah strategis untuk menghadapinya. Hal ini disebabkan overtourism sangat terkait dengan daya dukung wisata sehingga perlu penghitungan teknis-matematis dan diintegrasikan dengan variabel sosial yang berperan signifikan dalam memperkuat daya dukung wisata kita.
Irvan Maulana, Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)