Pesan Pariwisata Berkelanjutan dari Ubud
Selama pandemi, Ubud di Gianyar, Bali, sepi dari kunjungan. Kondisi itu disyukuri juga disesali oleh warga setempat. Saat turis datang lagi, ini momentum Ubud juga Bali untuk berbenah menjadi lebih berkelanjutan.
Sepinya pengunjung akibat pandemi turut dirasakan di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Kawasan wisata favorit yang sebelum pandemi ramai diserbu wisatawan itu kini sunyi. Kesunyian tersebut membawa keuntungan sekaligus kemalangan bagi warga Ubud.
Selasa (22/3/2022) pagi, Ubud senyap. Kicauan beberapa burung riuh memecah keheningan sekaligus memaksa mata-mata lengket orang-orang di sekitarnya untuk terbuka. Sejak pandemi, warga Ubud yang tinggal di sekitar Sentral Ubud lebih sering dibangunkan oleh kicauan burung.
Sebelumnya, deru mesin dan klakson kendaraan selalu mengusik ketenangan mereka. Lalu lintas wisatawan di wilayah itu kerap kali menimbulkan kemacetan yang bikin pening kepala. Untuk perjalanan sejauh satu kilometer saja, perlu 15-20 menit jika ditempuh dengan kendaraan, terutama kendaraan roda empat atau lebih.
”Saking ramainya Ubud kala itu, saya yakin, siapa pun yang tinggal di Ubud pasti pernah, setidaknya sekali saja, berharap supaya keramaian di Ubud itu tidak ada. Setelah dikabulkan, baru saya kebingungan. Ternyata, ramainya Ubud itu sebenarnya juga membawa berkah,” kata Putu Diarthi (28), warga Desa Ubud, Kecamatan Ubud.
Putu mengelola sebuah penginapan yang memiliki empat kamar. Sejak awal pandemi, kamar-kamar itu lebih sering tak diisi tamu. Padahal, sebelumnya kamar-kamar itu selalu penuh dipesan, apalagi saat akhir pekan.
Menjalankan bisnis itu ibarat mengayuh sepeda, kita tidak boleh kehilangan momentum kayuhan. Sekali saja kita berhenti mengayuh, akan susah lagi memulai kayuhannya.
Sepinya Ubud juga di satu sisi disyukuri Erma, warga asli sekaligus pemilik Littletalks, sebuah kafe dan perpustakaan di Ubud. Hilangnya kemacetan membuatnya memikirkan kembali kejenuhan yang terjadi akibat aktivitas pariwisata massal yang merenggut ketenangan Ubud.
Di sisi lain, hampir tidak adanya pembeli membuat ia dan pendiri kafe itu memutar otak untuk tetap berlanjut. Mereka mempertimbangkan tetap membuka kafe kala sepi wisatawan. Selama pandemi, ada saja orang-orang yang bosan bekerja dari rumah untuk dilayani, walau jumlahnya tidak seberapa.
”Menjalankan bisnis itu ibarat mengayuh sepeda, kita tidak boleh kehilangan momentum kayuhan. Sekali saja kita berhenti mengayuh, akan susah lagi memulai kayuhannya,” ucap Erma.
Konsekuensi yang harus ditanggung Littletalks akibat nekat buka adalah merugi, karena biayai operasional kafe tetap sama besar meskipun jumlah tamu menurun. Untuk menekan kerugian, mereka melakukan sejumlah penyesuaian, seperti mengurangi jam kerja staf, menyesuaikan menu, dan harga.
Baca juga: Wow... Asyiknya Kembali ke Bali...
Di tengah kesulitan yang mendera mereka, Putu dan Erma juga sedih memikirkan nasib orang-orang di sekitarnya yang menggantungkan hidup pada pariwisata.
”Memang tidak mudah untuk beralih dari yang awalnya bergantung pada pariwisata ke bidang lain. Namun, saudara-saudara dan orang di sekitar saya, terutama yang masih memiliki lahan pertanian, kebanyakan beralih ke pertanian,” katanya.
Dengan bertani, orang-orang Ubud memang tidak bisa meraup pendapatan sebesar saat mereka masih bergantung pada pariwisata. Namun, setidaknya mereka bisa menghasilkan beras dan sayur dari aktivitas pertanian itu. Bahan-bahan makanan itu yang kemudian mereka olah dan dijadikan makanan sehari-hari.
Sepinya Ubud juga berdampak pada pariwisata di sekitarnya. Wisata sawah terasering di Kecamatan Tegallalang yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Ubud, misalnya, ikut sepi setelah Ubud sepi. Kondisi itu membuat lapak-lapak penjualan makanan dan minuman di sekitarnya tak berpengunjung.
Toko-toko yang menjual alat kesenian yang berjajar di sepanjang jalan Ubud-Tegallalang juga sepi. Bahkan, beberapa di antaranya terpaksa tutup.
Baca juga: Bali Masih Tetap Andalkan Wisata
Tempat-tempat foto di sekitar sawah terasiring yang sebelum pandemi ramai didatangi pengunjung tampak tak terawat. Lumut dan rumput liar tumbuh di sana-sini. Cat-cat di sekitar tempat foto juga mulai mengelupas.
Pendapatan Wayan, pemilik warung sekaligus spot foto di kawasan sawah terasiring Tegallalang, merosot dua tahun terakhir. Sebelum pandemi, pendapatan Wayan dari penjualan makanan dan tiket foto di sawah terasiring mencapai Rp 20 juta dalam sehari. Kini, mendapatkan uang sejuta per hari terasa sulit baginya.
”Sekarang ini, saya dapat uang paling banyak Rp 500.000 per hari. Padahal, biaya sewa lapak jalan terus. Dua tahun pandemi ini saya sudah kehilangan potensi pendapatan hingga belasan miliar,” katanya.
Tata ulang
Wakil Gubernur Bali Tjokorda Gede Oka Artha Ardana Sukawati saat memaparkan buku berjudul Padma Bhuwana Bali yang ia tulis, Sabtu (19/3/2022), mengatakan, pandemi bisa menjadi momentum untuk memikirkan kembali langkah Bali ke depan.
”Zaman dulu saat pariwisata baik-baik saja, kita sempat berpikir bahwa Bali hancur karena banyaknya budaya asing yang diadopsi di sini. Namun, saat pandemi Covid-19 melanda, Bali juga hancur karena pariwisata yang tidak aktif dan mengakibatkan perekonomian mati suri. Kondisi ini memberikan kesempatan Bali untuk menata diri,” katanya dalam siaran pers Pemerintah Provinsi Bali.
Penataan itu, menurut dia, harus menyesuaikan karakter wilayah Bali. Misalnya, Bali bagian tengah yang diyakini dikuasai kekuatan Dewa Siwa sarat dengan pengembangan wisata sejarah, warisan budaya dan seni. Wilayah Bali Tengah yang berkedudukan di Kabupaten Gianyar bisa fokus menyiapkan sejumlah daerah wisata yang memiliki daya tarik alam, menawarkan kerajinan seni hasil dari kreativitas tangan masyarakat lokalnya.
Sementara itu, kemampuan masyarakat Bali melewati pandemi Covid-19 yang sudah masuk ke tahun kedua diharapkan mempercepat pengembangan pariwisata berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan ini diharapkan memberikan dampak positif bagi semua aspek, khususnya kelestarian lingkungan dan keekonomian masyarakat.
Baca juga: Tetesan Berkah di Toko Oleh-oleh Pulau Dewata
Adapun pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah menyiapkan kebijakan untuk mendukung konsep pariwisata berkelanjutan, yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Pembangunan Destinasi Wisata Berkelanjutan.
Mengadaptasi Sustainable Development Goals (SDG) atau pencapaian pembangunan berkelanjutan sampai 2030, pemerintah berniat menghadirkan ketersediaan pekerjaan yang layak, produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, dan konservasi ekosistem laut. Ini berlaku secara nasional, termasuk di Bali dan mengena juga ke kawasan Ubud.
Kembali ke Ubud, Ida Bagus Agung Partha Adnyana, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali, mengatakan, setelah pandemi, pemulihan wisata masih akan menjadi agenda utama Kecamatan Ubud, yang luasnya hanya 10 kilometer persegi lebih kecil dari Kotamadya Jakarta Pusat itu. Namun, arahnya sudah lebih kepada wisata berkelanjutan.
”Ubud akan selalu dikunjungi. Justru saran saya, perlu dibuatkan sistem transportasi bagus. Seperti di kota pantai Positano, Italia. Itu sama juga kecilnya dan turis yang datang bisa 10.000-15.000 orang per hari. Hanya mereka pintar atur infrastruktur transportasinya, dari kendaraan sampai lahan parkir yang memadai,” katanya.
Sejauh ini, lahan parkir besar sudah tersedia di sekitar destinasi Monkey Forest untuk menampung kendaraan wisata. Kendaraan umum berbentuk bus pun sudah tersedia untuk melayani penumpang dari Denpasar hingga ke Ubud. Infrastruktur itu sudah tersedia beberapa tahun terakhir.
Dengan penataan wisata dan infrastruktur yang tepat, diharapkan Ubud akan lebih layak menjadi tempat wisata berbasis alam dan warisan budaya kesepiannya. Ubud juga seharusnya tetap menjadi daerah yang layak huni warga setempat yang telah membangun peradaban tinggi di sana.