Polri dan Kejahatan yang Diperlukan
Polisi diberi wewenang memonopoli kekerasan untuk melindungi masyarakat. Namun, kasus Sambo menunjukkan, tanpa pengendalian yang ketat, Polri dapat menjelma menjadi kejahatan yang mengancam masyarakat.
Thomas Paine, penganjur revolusi kemerdekaan Amerika Serikat, menulis dalam Common Sense (1776), bahwa ”Society in every state is a blessing, but government even in its best state is but a necessary evil.” Paine kurang lebih mengatakan, masyarakat di setiap negara adalah suatu berkah, tetapi pemerintah bahkan dalam kondisi terbaiknya hanyalah kejahatan yang diperlukan.
Mengapa pemerintah merupakan kejahatan yang terburuk? Jawabannya karena pemerintah pada dasarnya telah mengambil sebagian dari kebebasan masyarakat, dan masyarakat membiayai sarana bagi pemerintah untuk membatasi kebebasan masyarakat tersebut.
Paine mengatakan, jika dorongan hati nurani itu jelas, seragam, dan dipatuhi dengan baik, manusia tidak membutuhkan pemberi hukum lain. Tetapi, kenyataan masyarakat tidak demikian.
Masyarakat membutuhkan otoritas untuk melindungi sebagian kebebasan yang dapat terancam oleh sebagian masyarakat. Pada titik inilah pemerintah dibutuhkan, terutama dalam bentuk perlindungan ketertiban dan keamanan yang biayanya harus dibayar oleh masyarakat sendiri.
Baca juga: Kebijakan Tanpa Kebajikan
Monopoli kekerasan
Dalam konteks itu, benar adanya manakala Max Weber dalam tulisannya Politics as a Vocation (1921) menyebutkan bahwa negara pada dasarnya berwenang untuk ”monopoly of the legitimate use of physical force” dalam suatu wilayah. Sejalan dengan Paine, monopoli atas kekerasan oleh negara merupakan kejahatan yang dibutuhkan demi menciptakan ketertiban dan keamanan serta mencegah anarki. Negara memonopoli seluruh sarana kekerasan secara sah yang digunakan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan.
Dalam konteks negara modern, monopoli kekerasan oleh negara itu diserahkan kepada polisi dan militer dengan tujuan yang berbeda. Polisi diberikan wewenang memonopoli kekerasan untuk melindungi masyarakat dari gangguan keamanan dalam negeri, sedangkan militer memperoleh wewenang menggunakan kekerasan untuk menangkal ancaman dari luar terhadap kedaulatan negara. Warga sipil selain polisi dan militer tidak diberikan hak untuk menggunakan kekerasan dalam bentuk apa pun.
Monopoli atas kekerasan oleh negara merupakan kejahatan yang dibutuhkan demi menciptakan ketertiban dan keamanan serta mencegah anarki.
Namun, seluruh monopoli kekerasan oleh negara itu dibiayai oleh masyarakat sehingga tidak dapat digunakan secara otonom dan sewenang-wenang oleh negara tanpa kendali masyarakat yang telah memberikan wewenang penggunaan kekerasan tersebut. Untuk itulah diperlukan pengaturan yang sangat ketat atas polisi dan militer agar penggunaan kekerasan oleh kedua aparatus negara itu tidak menimbulkan ancaman bagi masyarakat sendiri karena–seperti disebutkan oleh Paine–bahkan dalam bentuk pemerintahan terbaik pun penggunaan kekerasan tetap merupakan sebuah kejahatan, sekalipun dibutuhkan.
Kejahatan Sambo
Pandangan Thomas Paine di atas relevan sekali untuk direfleksikan kepada situasi Polri saat ini yang dihantam beban berat kasus kejahatan yang dilakukan salah satu pimpinan Polri, yakni Irjen Ferdy Sambo. Apa yang terjadi pada kasus Sambo menunjukkan bahwa tanpa pengendalian yang ketat, Polri dapat menjelma menjadi kejahatan yang mengancam masyarakat.
Sebagai bagian dari institusi negara, Polri diberikan wewenang untuk memonopoli kekerasan. Namun, dalam suatu negara modern, monopoli kekerasan tersebut dibatasi secara ketat agar tidak menjelma menjadi kejahatan oleh negara. Terlebih setelah reformasi yang telah memisahkan secara kelembagaan antara Polri dari TNI dengan harapan agar Polri tidak memiliki karakter militer yang lebih mengutamakan penggunaan kekuatan.
Baca juga: Meniti Jati Diri Polri
Pasal 30 UUD 1945 dengan sangat jelas membedakan antara tugas TNI dan Polri. Tugas TNI adalah mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sementara tugas Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Ditegaskan pula dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa tugas polisi terkait dengan keamanan dalam negeri yang mencakup: (1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum; dan (3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat yang seluruhnya dilakukan dengan memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum, dan keadilan.
Dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut jelas sekali bahwa sekalipun Polri sebagai institusi negara modern diberi wewenang untuk memonopoli kekerasan, monopoli kekerasan tersebut bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Polri bukan lagi ‘kejahatan yang dibutuhkan’ guna melindungi dan mengayomi masyarakat, melainkan menjelma menjadi institusi yang memproduksi kejahatan yang mengancam masyarakat.
Namun, terungkapnya kasus Sambo justru menunjukkan bahwa monopoli kekerasan oleh Polri tersebut telah disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan tugas pokok Polri. Kejahatan Sambo yang melibatkan 83 anggota Polri, termasuk dari kalangan perwira menengah dan tinggi, seperti membuka selubung kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok anggota Polri yang memiliki kekuatan besar di dalam tubuh Polri.
Polri telah menjadi sarang bagi “segerombolan mafia” yang melakukan kejahatan secara teroganisasi dan berlindung di balik institusi negara. Polri bukan lagi ‘kejahatan yang dibutuhkan’ guna melindungi dan mengayomi masyarakat, melainkan menjelma menjadi institusi yang memproduksi kejahatan yang mengancam masyarakat.
Menyegarkan reformasi
Menghadapi situasi yang memburuk selepas kasus Sambo tentu saja diperlukan pembenahan yang signifikan. Bukan sekadar menegakkan disiplin atau kode etik, melainkan harus membersihkan internal Polri dari tindak kejahatan yang dilakukan para anggota Polri sendiri.
Mengacu pada Pasal 30 UUD 1945, pemisahan secara kelembagaan antara Polri dan TNI harus dilanjutkan lebih signifikan dengan pemisahan pola rekrutmen, pendidikan, asesmen, dan pembinaan dari pola-pola yang berlaku dalam militer. Jajaran Polri tentu menyadari hal ini.
Tetapi, perkembangan selama 20 tahun sejak reformasi justru memperlihatkan betapa massif penggunaan kekerasan oleh Polri yang menunjukkan terdapat pola yang salah dalam rekrutmen, pendidikan, asesmen, dan pembinaan di tubuh Polri sehingga menjauhkan Polri dari tujuan penegakan HAM, hukum, dan keadilan.
Baca juga: Pasca-”Drama Sambo”, Polisi Wajib Berbenah
Secara kelembagaan pun patut dipertimbangkan untuk menempatkan Polri di bawah satu kementerian. Jika mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2002 yang menyebutkan nomenklatur ”keamanan dalam negeri” sebagai tujuan dari Polri (vide Pasal 4), sebaiknya Polri berada di bawah satu Kementerian Keamanan Dalam Negeri dan tidak berada langsung di bawah Presiden (vide Pasal 8). Hal ini pun paralel dengan kedudukan TNI yang juga berada di bawah Kementerian Pertahanan sehingga amanat Pasal 30 UUD 1945 dapat dilaksanakan secara sama dan sederajat antara TNI dan Polri sebagaimana diharapkan pada awal reformasi.
Lebih dari itu, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UU Nomor 2 Tahun 2002, diperlukan ”komitmen para pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelaksanaan tugasnya dan juga komitmen masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mandiri, profesional, dan memenuhi harapan masyarakat”.
Terungkapnya kejahatan Sambo tidak lepas dari komitmen masyarakat yang secara aktif berpartisipasi melalui banyak saluran dalam mengawasi Polri. Kini saatnya diperlukan komitmen para pejabat Polri untuk secara sungguh-sungguh membenahi internal Polri agar sekalipun Polri pada dasarnya merupakan kejahatan yang dibutuhkan, tidak menjelma menjadi institusi yang memproduksi kejahatan yang mengancam masyarakat.
Aidul Fitriciada Azhari, Guru Besar Ilmu Hukum UMS Solo; Ketua Komisi Yudisial RI 2016-2018; Ketua Umum HIPIIS dan Mahutama