Pasca-”Drama Sambo”, Polisi Wajib Berbenah
”Drama Sambo” merupakan bagian dari percikan bau busuk yang ada dalam tubuh Polri dan sudah seharusnya wajib dilakukan upaya perbaikan sistemis. Fenomena memprihatinkan ini tidak boleh dibiarkan terus berlangsung.
Bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia Irjen Ferdy Sambo sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dengan tuduhan sebagai pelaku pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat.
Sambo juga diberhentikan secara tidak hormat sebagai anggota Korps Bhayangkara. Sikap tegas dari Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo patut diapresiasi.
Apalagi tim penyelidik dan penyidik yang bertugas bergerak lumayan cepat dalam menyingkap tabir rekayasa kebohongan yang relatif terstruktur, di mana beberapa jenderal polisi dan juga sejumlah aparat bawahan turut terindikasi kuat terlibat dan kini sebagian sudah menjadi tersangka.
Perbuatan tercela dari Sambo dan barisannya itu memang sangat mempermalukan sekaligus menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Kepala Polri juga niscaya merasa tertampar dengan peristiwa itu karena Sambo dan sejumlah oknum yang terlibat dalam rekayasanya itu niscaya dikader, berteman, dan kemudian ditempatkan pada jabatan mereka oleh Kepala Polri (termasuk beberapa kepala Polri sebelumnya).
Baca juga: Kasus Ferdy Sambo dan Merawat Watak yang Bajik
Mencoreng citra
Watak dan kelakuan mereka begitu buruk dan sangat mengerikan serta memiliki daya rusak yang dahsyat. Sungguh-sungguh menjadi contoh dan peristiwa terburuk dalam sejarah keberadaan institusi kepolisian di Indonesia.
Spekulasi tendensius yang berpotensi jadi label buruk Polri pun bermunculan dan liar, antara lain adanya kecurigaan dari sejumlah pihak yang menganggap ”perilaku Sambo dan barisannya” itu tak pantas lagi dikategorikan sebagai oknum (-oknum), tetapi sudah jadi bagian dari ”kultur buruk” yang pada tingkat tertentu selama ini diproteksi oleh sistem dan jajaran pemimpin Polri sendiri.
Setidaknya, bukan mustahil tidak sedikit oknum di intern kepolisian yang sudah terjebak dan atau bahkan menikmati kebiasaan rekayasa kebohongan dalam menangani kasus-kasus yang terjadi dan ditangani polisi, yang secara langsung ataupun tidak langsung masyarakatlah yang menjadi korbannya.
Didie SW
Pada kasus ”drama Sambo”, kini korbannya sudah tampak secara terang- benderang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertama, pihak Brigadir Yoshua. Selain nyawanya hilang melalui sebuah proses yang jika direkonstruksikan akan mengerikan untuk ditonton, juga keluarganya mengalami kesedihan mendalam dan panjang.
Mereka niscaya tak pernah bermimpi akan kehilangan ”darah daging” yang lahir dan dibesarkan hingga masuk lembaga pendidikan kepolisian, yang mereka harapkan akan menjadi bagian dari elite polisi sekaligus kebanggaan keluarga. Dambaan keluarga itu sirna seketika.
Kedua, rekan-rekan sejawat di kepolisian, baik sesama polisi berbintang maupun bawahan yang masuk jebakan rekayasa kebohongan itu, juga sudah pasti bersama istri berikut anak-anak mereka walau mereka tak tahu-menahu dengan apa yang sesungguhnya terjadi.
Fenomena kondisional seperti itu tentu sangat memprihatinkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung.
Jika saja proses penyidikan kemudian juga turut menjerat puluhan nama anggota Korps Bhayangkara—yang masuk dalam daftar yang terlibat atau turut membantu—bukan mustahil mereka juga akan terkena sanksi pidana dan atau juga ”sanksi etik” yang buntutnya kemudian bisa dipecat dari statusnya sebagai polisi. Setidaknya, mereka memiliki rekor buruk dalam perjalanan kariernya, dan yang pasti, secara sosial para polisi yang terlibat itu akan memperoleh label sebagai ”oknum polisi yang buruk atau jahat”—sesuatu yang akan berdampak secara psikologis terhadap keluarga mereka.
Ketiga, citra institusi polisi menjadi buruk atau tidak akan mudah untuk membangun kembali kepercayaan publik. Keberadaan institusi kepolisian berikut pimpinan dan aparat di dalamnya akan dianggap sebagai penegak hukum yang dipaksakan untuk dipatuhi masyarakat, sementara warga bangsa yang sudah ”melek hukum” tahu bahwa perilaku polisi itu jauh dari tipe penegak hukum yang ideal. Tepatnya, kecurigaan adanya praktik buruk dalam menjalankan tugasnya akan terus terjadi, sementara tidak ada lembaga lain yang bisa menggantikan kewenangan yang berada di tangan kepolisian atau polisi saat ini.
Fenomena kondisional seperti itu tentu sangat memprihatinkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. ”Drama Sambo” merupakan bagian dari percikan bau busuk yang ada dalam tubuh Polri dan sudah seharusnya wajib dilakukan upaya perbaikan sistemis. Jika tidak, korban-korban rekayasa kebohongan akan terus berjatuhan, di mana (lagi-lagi) masyarakat hanya akan ”mengelus dada” lantaran tak berdaya mengungkap dan melawannya.
Tiga agenda strategis
Dalam kaitan ini, hemat saya, setidaknya ada tiga agenda strategis sekaligus praktis yang harus dilakukan jika kita ingin menjadikan Polri atau aparat kepolisian berposisi sebagai lembaga penegak hukum yang standar.
Pertama, menghindari penempatan jabatan struktur berdasarkan perkoncoan, faksi, atau bahkan berdasarkan arahan kepentingan pejabat politik tertentu. Kalau jujur diakui, hal ini terus berlangsung selama ini.
Padahal, seharusnya, proses perekrutan pada jabatan dan atau kenaikan pangkat harus berdasarkan hasil tes psikologis yang komprehensif menyangkut integritas, kesehatan jiwa, dan lain-lain, termasuk di dalamnya rekam jejak perilakunya yang bisa dideteksi mulai dari lingkungan keluarga hingga tempat tugasnya. Pihak masyarakat juga harus dilibatkan dalam memberikan informasi tentang perilaku figur-figur polisi dalam menjalankan tugasnya sehari-hari.
’Drama Sambo’ merupakan bagian dari percikan bau busuk yang ada dalam tubuh Polri dan sudah seharusnya wajib dilakukan upaya perbaikan sistemis.
Pendekatan seperti ini seharusnya sudah menjadi standar dasar di instansi pemerintahan mana pun sehingga yang tampil sebagai pejabat adalah figur-figur yang sehat jiwanya serta berintegritas dalam menjalankan tugasnya. Juga akan sangat baik apabila psikotes seperti itu dilakukan untuk figur-figur yang sekarang ini masih menduduki jabatan di lingkungan Polri ataupun di luar Polri, yang diharapkan bisa menjadi dasar untuk dilakukan reposisi atau mutasi.
Kedua, memosisikan polisi sebagai pelayan publik yang vital, yang dalam menjalankan tugasnya harus selalu bersandar pada aturan perundangan yang berlaku. Dalam konteks ini, relasi ”atasan-bawahan” tidak semata berdasarkan struktur komando yang kaku, di mana perintah atasan diposisikan oleh bawahan sebagai kebenaran mutlak yang wajib dituruti, tetapi lebih berdasarkan aturan sebagai filter yang jadi pegangan dan sekaligus sikap bawahan terhadap atasan.
Prinsip kerja seperti itu seharusnya menjadi orientasi utama dari reformasi kultur dan sistem di intern Polri. Ini artinya bahwa doktrin Satya Haprabu tidak diartikan semata ”setia kepada pimpinan” di mana arahan pimpinan dianggap wajib ditaati kendati diketahui atau disadari sebagai ”tidak sesuai aturan”.
Sekali lagi, peraturan perundang-undangan yang berlakulah yang menjadi sandaran utama. Hal ini juga sebenarnya sudah secara tegas diatur dalam Pasal 7 Ayat (3) UU Peraturan Kapolri No 14 Tahun 2011, yakni bahwa ”setiap anggota Polri yang berkedudukan sebagai bawahan wajib: c. menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama dan kesusilaan”.
Lembaga pengawas eksternal
Ketiga, pimpinan Polri harus membuka diri untuk diawasi oleh lembaga-lembaga pengawasan eksternal. Jika jujur diakui, selama ini lembaga-lembaga pengawasan yang ada sangat mandul, atau pada saat yang sama ada resistansi dari pihak kepolisian untuk menerima masukan, baik dari lembaga-lembaga resmi maupun dari masyarakat secara langsung. DPR sebagai lembaga pengawasan politik tak boleh berkompromi dengan kelakuan buruk oknum- oknum Polri. Demikian juga Ombudsman, Komnas HAM, dan Kompolnas, seharusnya lebih berdaya.
Namun, semua itu, hemat saya, harus dimulai dari kesadaran dan keinginan kuat dari dua pihak yang saling terkait, yakni Presiden RI dan Kapolri sendiri. Kita berharap.
Laode Ida, Wakil Ketua DPD RI 2004-2014 dan Komisioner Ombudsman 2011-2016