Kata ”bantalan”, ”jaring”, dan ”pelampung” muncul dalam situasi sosial yang terasa darurat dan, karena itu, difungsikan sebagai semacam mitigasi. Ketiganya memancarkan aspek moral-etis yang berpihak kepada orang banyak.
Oleh
Kasijanto Sastrodinomo
·3 menit baca
Wacana tentang kondisi sosial-ekonomi wong cilik di Tanah Air kembali mendayakan kosakata yang merujuk pada peralatan tergolong berat: bantalan. Sebelumnya pernah dipakai kata sejenis (tapi terkesan lebih ringan), yakni jaring dan pelampung, dalam cakapan serupa.
Ketiga kata itu muncul dalam situasi sosial yang terasa darurat dan, karena itu, difungsikan sebagai semacam mitigasi. Dibandingkan dengan umumnya istilah akademis ekonomi yang berwajah asing dan abstrak, diksi itu lebih konkret dan dekat dengan kelompok sasaran yang dituju.
Awalnya, nomina bantalan (diturunkan dari bantal ’alas kepala orang saat tidur’) merupakan istilah teknis perkeretaapian yang merujuk pada landasan rel, terbuat dari kayu balok, besi baja, atau beton. Landasan ini berfungsi menopang julur rel menapak di atas permukaan tanah agar kereta bisa melaju konstan di atasnya dan tersiah dari terguling.
Bagaimanapun, pemakaian majas bantalan (juga yang serupa) dalam kebijakan ekonomi itu memancarkan aspek moral-etis yang berpihak kepada orang ramai.
Begitu pula kira-kira makna bantalan dalam perbincangan ekonomi: penyangga bantuan bagi daya beli masyarakat lapis bawah agar tidak tergelimpang di tengah gejolak harga bahan bakar dan kebutuhan pokok lain yang membuntutinya.
Kata jaring dalam isu sosial-ekonomi dikembangkan jadi frasa jaring pengaman sosial, terjemahan dari social safety net—menandakan konsep ini berasal dari negeri lain. Metamorfosisnya bisa dilacak dari konferensi ekonomi tingkat tinggi antarnegara di Bretton Woods, New Hempshire, Amerika Serikat (1944).
Konferensi itu melahirkan badan-badan ekonomi tingkat dunia, seperti Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia. Dari situ pula lahir Bretton Woods System yang melancarkan program-program restrukturisasi ekonomi negara berkembang.
Di antara turunan program itu ialah social safety net alias jaring pengaman sosial yang menyediakan sejumlah dana dan barang tertentu bagi penduduk miskin sehingga tidak ada yang terancam kelangsungan hidupnya. Kata net dalam konteks pelindungan ekonomi itu dibayangkan layaknya jaring penahan beban yang mengimpit.
Dalam prospektus buku The State of Social Safety Nets 2018 (Washington, DC: World Bank) disebutkan bahwa eksistensi program jaring pengaman sosial itu kini telah mengglobal dan bermanfaat ”to alleviate poverty and to build shared prosperity”.
Tamsil pelampung (ekonomi) saya temukan pertama kali dalam studi Willem Segers, ”De strootjesindustrie in Nederlandsch-Indië” (skripsi sejarah di Universitas Leiden, 1982). Ia memakai kosakata Belanda reddingsboei yang tak lain ’pelampung’.
Dilukiskan, industri keretek pada masa kolonial—seperti milik Nitisemito—mampu ”mengapungkan” sebagian penduduk pribumi Jawa dari kemungkinan kelelep akibat krisis ekonomi dunia kurun 1920-an.
Agak berbeda dengan istilah bantalan dan jaring yang memantulkan spirit filantropi, pelampung meniupkan optimisme kekuatan usaha (ekonomi) rakyat yang bisa membantu rakyat itu sendiri di tengah situasi darurat.
Bagaimanapun, pemakaian majas bantalan (juga yang serupa) dalam kebijakan ekonomi itu memancarkan aspek moral-etis yang berpihak kepada orang ramai. Tinggal memantau agar penyaluran bantalan-sosial-senyatanya tidak salah sasaran seperti diingatkan Tajuk Kompas (31/8/2022).
Ingat pula, ”salah bantal”—keluhan populer yang kadang muncul saat bangun tidur—adalah kondisi tubuh yang tak nyaman: leher kaku, kepala cekot-cekot. Itu tèngèngen namanya, kata simbah saya di kampung.