Keadaan HIV/AIDS di Indonesia
Secara garis besar terjadi penurunan kasus penularan HIV/AIDS. Namun, kondisi ini pun masih menempatkan Indonesia tertinggal dari Thailand dan Kamboja.
Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang mulai mereda, berita tentang HIV/AIDS di negeri kita cukup mengejutkan. Jumlah orang yang terinfeksi HIV ternyata amat banyak, bahkan menurut berita, mahasiswa juga banyak yang terinfeksi. Saya mengikuti pemberitaan tentang HIV/AIDS secara teratur dan kesan saya penularan HIV/AIDS di negeri kita sudah menurun.
Jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang dirawat di rumah sakit semakin sedikit, apalagi kematian juga sudah turun tajam. Mengapa tiba-tiba berita mengenai HIV/AIDS kali ini menimbulkan kesan bahwa infeksi ini mulai meningkat kembali? Apakah ada pengaruh pandemi Covid-19 terhadap penularan HIV/AIDS?
Kalau tidak salah pada tahun 2030 nanti dunia berharap tak ada lagi kasus HIV/AIDS baru. Orang yang sudah terinfeksi harus tetap diobati dengan obat antiretroviral (ARV). Pasangannya harus dijaga agar tak tertular. Begitu juga penularan melalui jarum suntik dan dari ibu hamil positif HIV ke bayinya juga harus dicegah.
Baca juga : Jumlah Mahasiswa dengan HIV Bisa Lebih Besar
Saya tak tahu apakah Indonesia juga akan berhasil seperti negeri lain menekan penularan sehingga tahun 2030 tidak ada lagi kasus baru. Jika kita berhasil, tentu amat menggembirakan kita semua. Pada tahun 2030 juga diharapkan tak ada lagi kematian yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Sekarang di negeri kita juga banyak ODHA yang dalam keadaan sehat dan produktif berkat minum obat ARV secara teratur. Penularan dari ibu hamil ke bayi juga sudah jarang. Ini juga amat menggembirakan karena bayi-bayi terhindar dari penularan HIV dari ibunya.
Apa program pemerintah untuk mencapai situasi yang diinginkan dunia pada tahun 2030 nanti? Apakah akan menggunakan obat-obat baru atau tetap mengutamakan pencegahan yang perlu diamalkan oleh masyarakat? Obat ARV baru kelihatannya lebih efektif dan efek sampingnya minimal, tetapi saya percaya lebih baik mencegah dari pada mengobati.
Bagaimana pengetahuan dan sikap generasi muda sekarang terhadap HIV/AIDS? Apakah mereka sudah memahami cara penularan dengan baik? Sudah tentu yang paling penting adalah apakah perilaku berisiko sudah menurun? Karena sebagai seorang guru, saya menyadari pemahaman dan perilaku jaraknya masih jauh. Banyak orang yang memahami penularan HIV/AIDS, tetapi tetap melakukan perilaku berisiko.
Bagaimana sikap kita terhadap pemberitaan yang mengejutkan tersebut? Apakah kita harus mengubah strategi pengendalian HIV/AIDS di negeri kita? Terima kasih atas penjelasan dokter.
M di B
Saya juga tadinya agak terkejut dengan berita mengenai HIV/AIDS di sejumlah daerah. Namun, setelah dibaca dengan teliti, angka yang disajikan bukanlah angka infeksi baru, melainkan angka yang terkumpul sejak dulu. Secara berkala Kementerian Kesehatan mengeluarkan data baru tentang situasi HIV/AIDS di negeri kita. Laporan tersebut menunjukkan bahwa kasus baru tidak meningkat, bahkan cenderung menurun.
Penularan dari ibu hamil ke bayi juga turun cukup nyata. Begitu juga penggunaan jarum suntik bersama sudah lebih sedikit sehingga penularan melalui jarum suntik dibandingkan tahun 2000 sudah amat menurun. Jadi, pada garis besarnya terjadi penurunan.
Apakah penurunan tersebut sudah seperti yang kita harapkan? Belum. Kita masih tertinggal dari Thailand bahkan Kamboja. Artinya, kita harus sungguh-sungguh melaksanakan upaya penanggulangan HIV/AIDS di negeri kita. Peran pemerintah penting dalam menyusun strategi dan melaksanakan program, tetapi pemerintah harus dibantu oleh kalangan akademisi dan masyarakat luas, termasuk komunitas HIV/AIDS.
Hampir semua kegiatan pencegahan dan pelayanan terpengaruh oleh pandemi Covid-19. Perhatian terhadap HIV/AIDS juga terganggu sehingga kepedulian mungkin menurun. Masyarakat, terutama generasi muda, harus terus diberi informasi yang benar tentang penularan dan pencegahan penyakit ini. Media massa dapat dimanfaatkan, begitu juga media sosial. Namun, berita yang benar dan jernih diperlukan, bukan berita sensasional yang menghebohkan masyarakat.
Bagaimanapun lebih baik terhindar dari HIV/AIDS daripada menjalani terapi meski terapinya gratis.
Jadi, memang upaya penanggulangan HIV/AIDS harus digalakkan kembali. Upaya penyuluhan dan pencegahan harus diutamakan. Kita beruntung mempunyai obat ARV, apalagi obat ini gratis. Namun, saya setuju dengan Anda, bagaimanapun lebih baik terhindar dari HIV/AIDS daripada menjalani terapi meski terapinya gratis.
Sebagai seorang guru, Anda dapat berperan menjelaskan masalah kesehatan, termasuk HIV/AIDS, kepada murid-murid. Apalagi kepedulian Anda pada penyakit ini cukup besar. Bukan hanya guru, semua pihak perlu membantu. Tenaga kesehatan, pendidik, tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama dan komunitas HIV/AIDS, harus bekerja sama meningkatkan perubahan perilaku di negeri kita. Mengubah perilaku berisiko menjadi perilaku yang tak berisiko.
Pada berita yang tersebar memang diberitakan juga kelompok tertentu yang banyak terinfeksi. Namun, perlu kita ingat semua kelompok dapat tertular, termasuk bayi sekalipun. Sudah tentu mereka yang berumur 20-40 tahun lebih banyak terinfeksi karena perilaku berisiko.
Strategi penanggulangan HIV/AIDS di negeri kita terus disempurnakan. Para pakar kesehatan masyarakat terus mengingatkan kita tentang pentingnya penyuluhan dan pencegahan penyakit ini. Dulu secara nasional sering dilakukan survei tentang pengetahuan remaja mengenai penularan HIV/AIDS. Hasilnya menunjukkan perbaikan meski belum memuaskan. Nah, pandemi Covid-19 telah menyurutkan kegiatan penyuluhan dan pencegahan HIV/AIDS ini. Sekarang harus kita galakkan kembali.
Baca juga : HIV dan Beban Ganda Pandemi
Berbagai media yang ada, terutama yang mudah menjangkau remaja, harus dimanfaatkan. Survei tentang perilaku juga tetap harus diadakan. Saya percaya remaja sekarang banyak terpapar informasi HIV/AIDS karena informasi tersebar ada di mana-mana. Namun, remaja harus cerdas memilih informasi yang benar dan berusaha mengamalkan perilaku yang tak berisiko.
Jika kita menengok negara tetangga, penularan dari ibu hamil HIV positif ke bayi sudah hampir nol, kita juga harusnya dapat mencapai angka tersebut. Pemerintah telah mencanangkan triple elimination, yaitueliminasi HIV, hepatitis B, dan sifilis pada ibu hamil dengan cara tes dan pengobatan jika diperlukan. Program yang baik hendaknya dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia. Jangan sampai ada ibu hamil yang tak mendapat layanan triple elimination ini.
Situasi ketersediaan obat ARV sekarang ini jauh lebih baik. Dengan demikian, yang diperlukan yaitu menemukan orang yang positif HIV agar dapat segera diberi obat ARV. Untuk itu, jumlah tes di negeri kita harus ditingkatkan lagi baik tes yang gratis atau yang di layanan swasta berbayar. Jumlah tes HIV di negeri kita sekitar 6 juta setahun. Jumlah ini masih amat sedikit, belum ada 10 persen dari populasi kita.
Nah, apa yang dapat kita simpulkan? Penularan HIV di negeri kita cenderung menurun, begitu juga angka masuk rumah sakit dan kematian. Namun, penurunan tersebut belumlah curam seperti yang kita harapkan. Semua pihak harus kembali menggalakkan upaya penyuluhan dan pencegahan HIV/AIDS.
Baca juga : Tetap Berdaya dengan HIV
Berita belakangan ini dapat kita ambil hikmahnya sebagai momentum untuk memperbarui tekad kita melakukan penanggulangan yang efektif di Indonesia. Semoga Anda tetap sehat dan selalu ikut serta dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di negeri kita.