Jumlah Mahasiswa dengan HIV Bisa Lebih Besar
Jumlah mahasiswa terpapar HIV bisa lebih besar dari data yang terungkap. Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual serta pemberdayaan anak muda untuk mengelola dorongan seksualnya bisa mencegah mereka terpapar HIV.
Adanya mahasiswa yang terpapar human immunodeficiency virus (HIV) adalah konsekuensi dari kondisi mereka yang sudah aktif secara seksual. Fenomena gunung es membuat jumlah mahasiswa yang positif HIV bisa lebih besar dari jumlah yang terungkap. Untuk mencegah itu, anak muda perlu dibekali pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang benar.
Sejak pekan lalu, munculnya data 414 mahasiswa di Kota Bandung, Jawa Barat, positif HIV menggegerkan banyak orang karena dianggap sangat besar. Padahal, jumlah itu adalah akumulasi data tahun 1991-2021 atau selama 30 tahun. Artinya, rata-rata ada 14 mahasiswa warga Kota Bandung yang positif HIV per tahunnya.
Namun, sebagai fenomena gunung es, jumlah mahasiswa yang terpapar HIV itu sejatinya bisa lebih besar lagi. Banyak orang yang memiliki virus HIV diyakini tidak terdeteksi dan berisiko menularkan kepada orang lain. Ketakutan berlebih dengan HIV, stigma, dan diskriminasi masyarakat membuat banyak orang enggan melakukan tes HIV meski mereka berisiko.
Berbagai upaya dilakukan Komisi Penanggulangan AIDS (acquired immunodeficiency syndrome)—KPA—dan organisasi masyarakat sipil di Kota Bandung untuk mencairkan gunung es tersebut, seperti melalui edukasi dan mengajak kelompok berisiko berani melakukan tes. Semakin awal diketahui, makin baik kualitas hidup yang bisa diraih orang dengan HIV.
Baca juga: Tetap Berdaya dengan HIV
”Orang dengan HIV yang minum obat antiretroviral (ARV) setiap hari selama enam bulan bisa menekan jumlah virus HIV di tubuhnya hingga virus tidak terdeteksi (undetectable). Jika virus HIV tidak terdeteksi minimal enam bulan berikutnya, orang tersebut tidak bisa menularkan (untransmittable) virus ke orang lain,” kata Kepala Sekretariat KPA Kota Bandung Sis Silvia Dewi, Jumat (2/9/2022).
Upaya itu telah menunjukkan hasil. Dari sejumlah kasus ibu hamil positif HIV yang didampingi di Kota Bandung, mereka bisa melahirkan anak dengan status negatif HIV.
Namun, mendorong masyarakat mau melakukan tes HIV tidaklah mudah. Koordinator Program Penjangkauan Populasi Kunci Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kota Bandung, Ganjar Sutisna, mengatakan, ajakan tes HIV kepada kelompok kunci atau berisiko tinggi relatif lebih mudah karena ada penjangkauan yang dilakukan sejumlah organisasi masyarakat sipil.
”Untuk masyarakat umum atau masyarakat bawah lebih sulit karena terbatasnya informasi tentang HIV yang mereka miliki,” katanya.
Koordinator Mitra Citra Remaja yang juga Manajer Program Anak dan Remaja PKBI Jawa Barat, D Anisa Sunija, menambahkan, halangan yang membuat anak muda enggan tes HIV secara sukarela meski sudah aktif secara seksual adalah ketakutan dengan HIV jika dinyatakan positif. Mereka juga khawatir atas stigma dan diskriminasi masyarakat yang harus dihadapi.
Baca juga: HIV dan Beban Ganda Pandemi
”Padahal, HIV sama dengan Covid-19, harus dicek darahnya untuk memastikan ada tidaknya virus di dalam tubuh, tidak bisa hanya didasarkan pada gejala fisik yang muncul,” ujarnya.
Di sisi lain, kelompok populasi terbanyak terpapar HIV di Kota Bandung bukanlah mahasiswa. Antara 1991 dan 2021, ada 5.843 warga Bandung terpapar HIV. Dari jumlah itu, latar belakang pekerjaan mereka adalah pekerja swasta sebanyak 31,01 persen, wiraswasta 15,32 persen, tidak bekerja 12,44 persen, ibu rumah tangga 11,18 persen, dan lain-lain 9,45 persen. Setelah itu, baru ada mahasiswa 6,97 persen, pekerja seks 2,53 persen, dan pegawai negeri sipil 1,99 persen.
HIV sama dengan Covid-19, harus dicek darahnya untuk memastikan ada tidaknya virus di dalam tubuh, tidak bisa hanya didasarkan pada gejala fisik yang muncul.
Untuk mengatasi fenomena gunung es itu, kata Silvia, Kota Bandung ditargetkan mampu menemukan 10.800 kasus HIV pada 2030. Selain itu, di tahun tenggat pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) tersebut diharapkan 95 persen kelompok berisiko tinggi dites, 95 persen mereka yang positif HIV mau berobat dengan ARV, dan 95 persen yang mendapat ARV bisa sampai pada kondisi virus di tubuhnya tidak terdeteksi.
Perilaku berisiko
Mahasiswa adalah kelompok populasi yang sudah aktif secara seksual. Artinya, mereka bisa melakukan hubungan badan, hamil dan menghamili, serta menularkan dan tertular penyakit infeksi menular seksual. Meski nilai dan budaya membuat tidak semua anak muda yang aktif secara seksual melakukan hubungan seks, mereka semua punya peluang melakukannya.
Masalahnya, kata Anisa, pengetahuan anak muda tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas masih sangat kurang. ”Banyak anak SMA dan mahasiswa yang belum memahami tentang hubungan seks yang berisiko, penyakit infeksi menular seksual (IMS), atau pencegahan HIV-AIDS,” katanya.
Di sisi lain, gempuran media sosial tentang gaya hidup bebas sangat kuat. Banyak selebgram tanpa ragu mempromosikan perilaku seksual yang tidak sesuai norma masyarakat. Isitlah yang mengarah ke seks bebas, seperti FWB (friends with benefits) dan ONS (one night stand), banyak dijumpai di media sosial. Demikian pula sebutan yang mengarah ke prostitusi, mulai dari open BO (booking out atau booking online), sugar daddy, sugar baby, hingga ayam kampus.
Di tengah paparan informasi seksualitas yang tidak bertanggung jawab, masyarakat malah makin menabukan membicarakan seks. Desakan untuk membekali anak muda dengan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) yang benar dan cukup hingga kini masih menimbulkan perdebatan. PKRS masih dianggap mengajarkan seks bebas pada anak muda.
”Sebagian informasi PKRS memang masuk pelajaran biologi. Padahal, PKRS tidak hanya mempelajari tentang organ reproduksi, tetapi juga bagaimana membangun relasi dengan orang lain, pencegahan kekerasan seksual, menghindari IMS, hingga kesetaraan jender,” kata Anisa.
Di tengah lemahnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas serta upaya pencegahan HIV yang gencar dilakukan pegiat HIV-AIDS, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, Selasa (30/8/2022), justru mengatakan, nikah mudah dan poligami sebagai salah satu solusi untuk mencegah penularan HIV.
Meski itu hanya pendapat pribadi Uu, tidak mewakili pemerintah, seperti dikutip Kompas.id, Kamis (1/9/2022), pandangan itu menimbulkan kegaduhan di masyarakat dan disayangkan para pegiat HIV/AIDS yang bertahun-tahun bergelut di lapangan guna menekan kasus HIV. Uu pun sudah meminta maaf atas pandangannya yang menimbulkan kontroversi.
Baca juga: Memetakan Permasalahan HIV dan AIDS di Indonesia
Ketua Pembina Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) yang juga Menteri Kesehatan 2012-2014 Nafsiah Mboi menilai, pernyataan Uu tidak tepat dan menyesatkan. ”Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukan poligami dan pernikahan dini dapat mencegah penularan HIV,” katanya dalam pernyataan resmi YKIS.
Direktur YKIS Inang WInarso mengatakan, cara efektif untuk mencegah infeksi menular seksual termasuk infeksi HIV pada anak muda adalah dengan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kesehatan reproduksi secara jelas dan lengkap. Upaya ini perlu dibarengi dengan penguatan mental dan pemberdayaan anak muda hingga mereka mampu mengelola dorongan seksual dengan baik.
”Pendidikan wajib 12 tahun sampai tamat SMA juga terbukti efektif mencegah perilaku berisiko tertular HIV pada remaja,” katanya.
Anisa menambahkan, upaya pencegahan penularan HIV yang dikampanyekan pegiat kesehatan reproduksi dan seksual selama ini adalah melalui program ABCDE. Program ini berisi upaya abstinence (A) alias tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah. Selanjutnya, be faithful (B) atau saling setia dengan setiap pasangan.
Berikutnya adalah penggunaan condom (C) bagi pasangan yang salah satu atau keduanya sudah terinfeksi. Sesudahnya penggunaan drugs (D) atau obat-obatan dan zat adiktif terlarang lainnya juga harus dijauhi karena penggunaan zat tersebut juga rentan memicu seks bebas. Terakhir, education (E) alias aktif mencari informasi yang benar tentang HIV/AIDS.
Di negara-negara maju, program ABCDE terbukti mampu menekan pertumbuhan HIV dan juga mendorong mereka yang sudah terpapar HIV untuk menjalani pengobatan. Meski hingga kini belum ditemukan obat untuk menyembuhkan HIV, berbagai upaya pencegahan itu dan konsumsi ARV secara rutin mampu meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV.