Albert Hasibuan, Pejuang Hukum HAM Sepenuh Jiwa
Kiprah Albert Hasibuan dalam peristiwa-peristiwa hukum yang besar tertoreh dalam sejarah penegakan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia di Indonesia. Dia berintegaritas moral tinggi dan selalu berpihak kepada korban.
Siapa tak kenal Albert Hasibuan? Selain rekam jejak panjang membela hukum dan hak asasi manusia, kerendahan hati dan integritas moral yang tinggi juga melekat dalam sosok pengacara veteran ini.
Ia bukan hanya sosok veteran dari segi usia, melainkan berbagai kiprah Albert dalam peristiwa demi peristiwa hukum yang besar tertoreh dalam sejarah penegakan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia di Indonesia. Pengacara, aktivis, jurnalis, dan politisi yang berkiprah sejak masa Orde Baru hingga era Reformasi menaruh hormat.
Sebut saja kiprah kepengacaraannya dalam membebaskan Sengkon dan Karta yang semula divonis bersalah. Juga menyuarakan pengusutan kasus Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin, jurnalis Bernas yang dibunuh karena menulis berita kritis korupsi yang melibatkan pejabat sipil dan militer.
Baca juga: Mengenang Albert Hasibuan, Paket Komplet Advokat, Politisi, dan Pembela HAM
Albert tetap memperjuangkan keadilan bagi korban dengan konsisten. Ketika menjadi anggota Wantimpres era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Albert tetap mendesak kasus pembunuhan jurnalis Udin dan pelanggaran HAM masa lalu dibuka.
Berpihak kepada korban
Saya beruntung pernah bekerja dengan almarhum, yaitu saat Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan II (KPP HAM TSS), awal Juli 2001. Banyak anggota Komnas HAM menolak pembentukan tim ad hoc ini, tetapi Albert tidak.
Albert mendukung penuh penyelidikan projustisia atas rangkaian penembakan para mahasiswa pada tahun 1998-1999. Baginya, bangsa ini berutang besar kepada para mahasiswa yang gugur dalam membebaskan Indonesia dari belenggu otoritarianisme.
Tak ingin menunda waktu, Albert mengundang awak media dan mengumumkan kepada publik bahwa KPP HAM TSS telah terbentuk.
Rapat pleno Komnas HAM diwarnai perdebatan keras. Meski menunjuk Albert sebagai Ketua KPP HAM, tak ada kelanjutan bentuk dukungan pascapleno Komnas HAM. Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto pun tak kunjung menerbitkan keputusan. Seperti setengah hati.
Tak ingin menunda waktu, Albert mengundang awak media dan mengumumkan kepada publik bahwa KPP HAM TSS telah terbentuk. Bersama Asmara Nababan, Albert yang bertindak sebagai ketua kemudian menunjuk saya sebagai sekretaris.
Anggotanya antara lain Saparinah Sadli, Zumrotin K Soesilo, Ita Fatia Nadya, Hendardi, Todung Mulya Lubis, dan Dadan Umar Daihani. Saat ditanya mengapa tak menunggu (surat keputusan), Albert menjawab, ”Man, kita harus mulai berjalan. Demi korban.” Hanya hitungan hari, keputusan resmi Komnas HAM pun terbit.
Mengorbankan harta
Saat KPP dimulai, penyelidikan terkendala dana. Mungkin karena keputusan pleno setengah hati itu. Albert menyerahkan uangnya untuk keperluan KPP: biaya gaji anggota dan tim asistensi penyelidikan, hingga biaya-biaya rapat dan perjalanan. Penyelidikan pun berjalan.
Di tengah jalan, surat-surat panggilan KPP HAM terkendala penolakan TNI dan Polri. Hanya satu perwira menengah Polri dan satu perwira tinggi TNI yang menghormati panggilan. Selebihnya, mantan panglima TNI beserta perwira tinggi yang dipanggil tak muncul di hari-H.
Tak kehabisan akal, Albert menjelaskan jika KPP memiliki wewenang sub-poena, yaitu panggilan paksa melalui pengadilan negeri. Ia pun menandatangani surat permohonan KPP kepada Ketua PN Jakarta Pusat agar melakukan panggilan paksa kepada mereka.
Baca juga: Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu
Tiba-tiba, beragam kelompok massa dengan atribut-atribut Islam menggelar aksi-aksi protes di depan kantor Komnas HAM. Sentimen politik identitas kerap dipakai untuk menyerang upaya menegakkan HAM, termasuk menyudutkan orang-orang seperti Albert yang beragama Nasrani.
Massa memprotes rencana KPP untuk memanggil paksa sejumlah petinggi Polri dan TNI. Dalam salah satu aksi massa yang masuk ke kantor Komnas HAM, mereka menyandera Albert, Asmara, Dadan, dan saya ketika hendak pergi ke pengadilan negeri guna mengupayakan panggilan paksa. Albert tak gentar.
Di saat hampir bersamaan, Sumarsih, Ho Kim Ngo, beserta keluarga korban TSS yang didampingi para aktivis KontraS menggelar aksi di rumah mantan Panglima TNI. Selang satu-dua hari, massa yang sama menyerang kantor KontraS. Albert ikut menyumbang perbaikan kantor kami.
“Menyelamatkan” KontraS
Belum pulih dari serangan kekerasan, pada tahun yang sama KontraS mengalami krisis finansial. Bukan karena tidak memiliki dana, melainkan buntut dari konflik dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Konflik bermula ketika Munir dari KontraS menjadi anggota KPP HAM Tim-Tim berseteru dengan salah satu pendiri LBH, Adnan Buyung Nasution, pengacara mantan Panglima ABRI/TNI yang tersangkut pelanggaran HAM yang diselidiki KPP HAM.
Munir menyerukan agar sang pendiri keluar dari YLBHI karena konflik kepentingan. Pendiri LBH lainnya, Ali Sadikin, sempat menengahi, tetapi rupanya tak menyentuh akar masalah. Konflik kian memanas karena suksesi kepemimpinan YLBHI Bambang Widjajanto.
Saat kami kelimpungan, Albert meminjamkan uang sebesar Rp 60 juta untuk menyewa kantor baru di Jalan Cisadane, Jakarta.
Munir mundur dari YLBHI. Sebagai protes kolektif, aktivis-aktivis KontraS seperti Islah dan Gian mengembalikan seluruh perangkat komputer pemberian sang pendiri. ”Kalian tak paham demokrasi,” kata Buyung.
Buntutnya, YLBHI menolak mendanai KontraS dan meminta KontraS meninggalkan kantor ”milik” YLBHI di Jalan Mendut, Jakarta. Saat kami kelimpungan, Albert meminjamkan uang sebesar Rp 60 juta untuk menyewa kantor baru di Jalan Cisadane, Jakarta.
Turut mendirikan Amnesty
Pada 2017, usia Albert tak lagi muda. Lahir pada 25 Maret 1939, ia telah genap berusia 78 tahun. Namun, semangatnya belum padam. Ia ikut mendeklarasikan peluncuran kantor nasional Amnesty International Indonesia pada 7 Desember 2017.
Bersama Sandyawan Sumardi, Sumarsih, barisan tani Batang, dan musisi muda seperti Ananda Badudu dan Glen Fredly, Albert berdiri di bawah terik matahari membacakan deklarasi Amnesty tentang pentingnya hak asasi dan keadilan sosial. Bersama sahabat karibnya Marzuki Darusman dan HS Dillon, Albert kerap menghadiri rapat-rapat di Amnesty.
Saat teman setia almarhum, Toar Riupassa, mengabari kepergiannya pada 1 September lalu, nyaris tak ada kata yang terucap di mulut saya. Ajakan sahabat Abusaid Pelu untuk bertakziyah terdengar seperti mimpi siang bolong. Pikiran saya yang tengah dipenuhi hiruk-pikuk perkara polisi dan polemik Tim Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat secara Non-yudisial (Tim PAHAM) bentukan Presiden Joko Widodo tiba-tiba terasa kosong.
Baca juga: Mendesak, Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu
Terkenang semua kebaikan sosok almarhum. Sebelum era media sosial, ia selalu mengirimkan kartu ucapan Lebaran ke rumah. Ia menghadiri pernikahan saya dan Veronica. Ia kerap menyapa melalui telepon dan menyampaikan pemikirannya terkait hak asasi manusia.
Indonesia kehilangan. Ia seperti berusaha memilih hari kepergiannya jatuh di bulan September, bulan kelahiran Gus Dur dan kematian Munir, serta bulan yang disebut oleh para pembela HAM sebagai September Hitam.
Selamat jalan, Pak Albert. Terima kasih atas teladan hidup membela hukum, keadilan, dan hak asasi manusia dengan sepenuh jiwa.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia
Twitter: @amnestyIndo; IG: Instagram: @amnestyIndonesia