Salah satu masalah besar pemerintah dan rakyat Indonesia yang tak kunjung menemukan titik terang penyelesaiannya adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di masa lalu, terutama pada masa Orde Baru.
Oleh
Suparman Marzuki
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aktivis dan sukarelawan bergabung dalam aksi diam Kamisan ke-612 yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Aksi Kamisan secara rutin menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Energi bangsa ini tergerus oleh pro kontra antara pilihan tidak melupakan dan tidak memaafkan/mengadili dan menghukum (never to forget, never to forgive); tidak melupakan tetapi memaafkan/mengadili lalu mengampuni (never to forget but to forgive); melupakan tetapi tidak pernah memaafkan/tidak ada pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya (to forget but never to forgive), atau melupakan dan memaafkan/tidak ada pengadilan dan melupakan begitu saja (to forget and to forgive).
Dalam diskursus lain terjadi antara pihak yang setuju dan tidak setuju diungkap serta pihak yang pro dan kontra dengan penyelesaian yudisial atau non yudisial. Apakah kita akan terus terperangkap dalam ketidakpastian dan membiarkannya menjadi utang yang selalu akan ditagihkan kepada pemerintahan yang akan datang?
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam) Mahfud MD dalam sambutan pembukaan Group Focus Discussion (FGD) 3 Desember 2019 lalu di Bandung memberi pesan sangat jelas bahwa bangsa ini tidak boleh lagi terus-menerus berkubang dalam pro-kontra penyelesaian masalah kemanusiaan yang sangat serius itu. Pemerintah dan semua elemen bangsa harus segera menemukan jalan penyelesaian. Apakah melalui mekanisme yudisial, non yudisial atau menggunakan keduanya. Tetapi apapun jalannya, menurut Mahfud MD, yang pasti harus ada penyelesaian.
Pemerintah dan semua elemen bangsa harus segera menemukan jalan penyelesaian. Apakah melalui mekanisme yudisial, non yudisial atau menggunakan keduanya.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Suasana rapat kerja penyusunan prolegnas antara Badan Legislasi DPR, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (4/12/2019).
Jalan yang mungkin
Pernyataan pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD itu tentu harus diapresiasi, karena inilah sikap paling jelas dari pemerintah selama ini dan mudah-mudahan tidak berhenti sampai di situ tetapi benar-benar mewujud menjadi kenyataan.
Menyelesaikan pelanggaran HAM pada dasarnya memang tidak mudah dibandingkan dengan menyelesaikan kejahatan biasa (conventional crime, corporate crime atau organized crime) karena pelaku, korban, motif, konteks peristiwa dan mekanisme/prosedur pengungkapan perkaranya spesifik. Lebih-lebih pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Problem
ideologis, politis, sentimen emosional, dan kesulitan-kesulitan teknis (hukum) menjadi adangan utama untuk menyelesaikannya.
Kita sudah mengalaminya dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Timor Timur, Tanjungpriok melalui pengadilan HAM ad hoc dan p engadilan permanen Abepura. Ketiga peristiwa itu berakhir tanpa penghukuman pada pelaku oleh pengadilan; baik karena dakwaan yang lemah maupun karena kelemahan dalam pembuktian.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aktivis, sukarelawan dan korban pelanggaran HAM mengikuti aksi diam Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Sementara, jalan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang disediakan melalui Undang-Undang (UU) No 27 Tahun 2004 gagal dilakukan menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan UU tersebut. Oleh sebab itu, cara pandang kita dalam memutuskan pilihan model atau cara penyelesaian tidak lagi tentang cara atau model terbaik, yang tepat atau yang ideal, tetapi yang paling mungkin dilakukan.
Di titik ini harus ada kesadaran penuh untuk menerima kekurangan cara yang akan diambil, sebab kalau tidak maka kita akan kembali terjerembab dalam pro-kontra yang tidak berkesudahan, meskipun cara tidak bisa dipisahkan dengan substansi. Oleh karena itu, untuk memutuskan kemungkinan tersebut patut ditakar dari pelbagai aspek, yaitu: mungkin secara politik, mungkin secara hukum, mungkin secara finansial, mungkin secara emosional, dan mungkin secara kultural.
Kompas/Wawan H Prabowo
Suasana pameran "Antologi: Pameran Cerita, Memoribilia, dan Foto 21 Tahun Tragedi Semanggi I" di Matalokal, Kawasan Blok M Jakarta, Rabu (13/11/2019). Pameran yang menampilkan potret aksi protes Semanggi I (11-13 November 1998) serta berbagai peninggalan korban Tragedi Semanggi I tersebut diharapkan bisa menjadi pembelajaran pada generasi saat ini serta mengingatkan kembali negara untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa itu.
Oleh sebab itu, cara pandang kita dalam memutuskan pilihan model atau cara penyelesaian tidak lagi tentang cara atau model terbaik, yang tepat atau yang ideal, tetapi yang paling mungkin dilakukan.
Untuk meyakinkan pilihan kemungkinan cara tersebut diukur pula dengan kasusnya. Kasus mana yang mungkin diselesaikan melalui jalan pengadilan dan mana yang tidak. Apabila pilihannya diselesaikan melalui jalan hukum, maka kasus-kasus yang sudah selesai penyelidikannya oleh Komnas HAM tinggal dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung, dengan bila perlu dilakukan identifikasi/verifikasi/validasi bersama tentang dugaan masih adanya pelaku, korban dan alat-alat bukti.
Hal kedua, pahamkan rakyat, khususnya korban atau keluarga korban, tentang kelemahan serius UU No 26 Tahun 2000 sebagai dasar hukum proses penyelesaian hukum, agar kelak mereka menerima proses dan hasil dari jalan hukum itu, terutama kemungkinan berulangnya proses dan hasil pengadilan HAM ad hoc Timor Timur, Tanjungpriok dan pengadilan HAM permanen Abepura yang berakhir tanpa satupun menghukum pelaku.
Yang penting adalah pembentukan dan proses jalan hukum itu berjalan obyektif, terbuka, dan akuntabel.
Tetapi apabila jalan hukum menunggu revisi UU No 26 Tahun 2000, maka komitmen dan kemauan politik (political will) pemerintah dan DPR harus satu irama yaitu untuk merevisinya dengan cepat dalam rangka mengatasi soal kemanusiaan yang sudah puluhan tahun mendera bangsa ini.
Kalau itu tidak ada, lebih baik melangkah dengan UU yang ada; dan menyerahkan pada komitmen dan dedikasi Kejaksaan serta hakim untuk menemukan kebenaran keadilan.
Kompas/Wawan H Prabowo
Mural bergambar sosok pejuang hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib menghiasi tiang penyangga jalan layang transjakarta di Jalan Ciledug Raya, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (4/11/2019). Keberadaan mural Munir di tempat tersebut menjadi salah satu upaya untuk mengajak masyarakat tidak melupakan peristiwa terbunuhnya pahlawan kemanusiaan, Munir Said Thalib dan ketidakjelasan penanganan kasusnya. Pendiri Imparsial dan aktivis Kontras itu tewas diracun di dalam pesawat terbang ketika bertolak ke Amsterdam, Belanda untuk melanjutkan studi.
Jalan non-yudisial
Apabila pilihannya melalui jalan non-yudisial, maka hal-hal berikut mesti diperhitungkan. Pertama, mekanisme ini menuntut kesediaan dan kerelaan dari korban (terutama). Kedua, mekanisme non-yudisial sebaiknya dibuat untuk kasus per kasus, tidak secara umum (general); bahkan dikaji kemungkinan untuk mendayagunakan kekuatan kultural setempat karena setiap kasus memiliki kompleksitas masalah tersendiri.
Ketiga, cara-cara non-yudisial yang pernah ditempuh pemerintah semenjak era pemerintahan sebelumnya dievalusi terlebih dahulu karena sebagian dari cara itu kontraproduktif dan dicurigai ditunggangi petualang politik dan pemburu fulus. Akibatnya sebagian korban atau keluarga korban menghindar.
Keempat, dasar hukum. Apakah akan menghidupkan kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, melalui peraturan daerah (perda) seperti Aceh dan Papua atau instrumen hukum lain, termasuk mekanisme hukum lokal.
Kelima, sebaiknya pemerintah tidak menjadi aktor langsung dalam menyusun rancang bangun mekanisme non-yudisal itu, tetapi membentuk semacam kelompok kerja yang diisi oleh tokoh-tokoh yang kredibel, yang memiliki integritas, dipercaya publik dan benar-benar berjiwa kuat untuk menyelesaikan masalah bukan untuk meributkan masalah.
Tim kerja inilah yang merumuskan pelbagai kemungkinan jalan penyelesaian yang akan ditempuh untuk kemudian disampaikan kepada Presiden.
Suparman Marzuki,Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia 2000-2010.