Menolak Politik Identitas
Politik identitas adalah ilusi yang berbahaya apabila digunakan karena bisa merusak gugus makna yang menopang kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara. Karena itu, hukum harus tegak sebagai panglima.
Baru-baru ini terbit sebuah buku berjudul Identitas Arab Itu Ilusi karya Musa Kazhim Al Habsyi. Isinya cukup mencengangkan dan melahirkan sejumlah konklusi yang subversif, khususnya terhadap kemapanan identitas Arab itu sendiri.
Layaknya semua identitas, hal ini penting untuk mengidentifikasi rangkapan yang menyusun jati diri, yang dengan itu dia menemukan keunikan dan kekhususan dalam kehidupan bermasyarakat. Penemuan identitas juga akan membawa manusia mengenal asal-usulnya, kedudukannya, dan tujuannya. Itu sebabnya tak jarang, bagi sebagian orang, yang mengalami dinamika pencarian identitas, akan mengalami perasaan minder, kehilangan tujuan (disorientasi), dan frustasi.
Dalam kasus identitas Arab, sang penulis buku Identitas Arab Itu Ilusi—yang adalah seorang Habib—menemukan bahwa identitas arab yang disandangnya sejak kecil telah melahirkan satu konsep yang ambigu dan paradoksal dalam dirinya. Dengan demikian, pemahaman penulis buku tersebut atas kedudukannya di dalam konstruksi sosial masyarakat menjadi tidak stabil.
Dia lalu terpacu untuk memecahkan ilusi tentang identitas arab, dan membuktikan secara ilmiah, berdasarkan literatur yang kredibel bahwa ternyata ”Arab” adalah sebuah identitas yang labil dan tidak memenuhi standar kaidah sebuah identitas yang baku.
Baca juga: Identitas Arab
Dalam kaidah logika, identitas adalah suatu rangkapan yang dengannya sesuatu itu bisa dikenali. Mirip sebuah definisi, tetapi ini disematkan pada obyek secara spesifik. Hasil penelusuran Musa Kazhim dalam karyanya menunjukkan bahwa Arab tidak menunjukkan ciri-ciri kultural, lokasi geografi, apalagi geneologi. Acuan konseptualnya adalah Al Quran itu sendiri.
Dalam konsep Al Quran, ada dua istilah yang mungkin menunjuk pada akar atau maksud kata Arab yang diharapkan para pemuja didentitas arab, yaitu ’arabi dan a’rabi. Kedua istilah ini bisa bertransformasi secara bebas dalam medan makna ”Arab”.
Tetapi di dalam Al Quran, kedua istilah tersebut ternyata memiliki makna yang jauh berbeda. ’Arabi adalah istilah yang Al Quran gunakan untuk menjelaskan kedudukan bahasa Al Quran, yang berarti jelas, terang, dan kokoh. Sementara a’rabi mengacu kepada sekelompok orang Badui yang menghuni padang pasir. Mereka lebih dikonotasikan buruk oleh Al Quran.
Tesis utama buku Kazhim adalah seperti ini: jika Anda ingin mengidentifikasi sebagai Arab, belajar dan pahami serta selami bahasa Arab Al Quran sehingga Anda layak disebut ’arabi.
Jadi, tesis utama buku Kazhim adalah seperti ini: jika Anda ingin mengidentifikasi sebagai Arab, belajar dan pahami serta selami bahasa Arab Alquran, sehingga Anda layak disebut ’arabi. Tanpa unsur dasar pembentuk identitas Arab itu, maka penyandang identitas Arab terjebak dalam ilusi.
Sayangnya, ilusi ini tak jarang digunakan oleh pihak-pihak sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Ahmad Najib Burhani dalam rubrik Analisis Budaya di Kompas 13 Agustus 2022, ketika mengupas mengenai buku Ilusi Identitas Arab ini menyatakan bahwa sebagian orang menganggap semua orang Arab itu keturunan Nabi Muhammad SAW yang harus dimuliakan dan ditaati. Identitas Arab lalu dikapitalisasi atau dikomodifikasi untuk berbagai kepentingan: sosial, politik, dan ekonomi.
Politik identitas
Bagi saya, yang bukan keturunan Arab, tesis yang dimukakan Musa Kazhim sebenarnya memberikan cakrawala baru, tentang bagaimana seharusnya semua subyek identitas mengenali secara benar dan obyektif identitas yang merangkapi dirinya. Terlebih untuk kasus Indonesia yang setiap orang menyandang rangkapan identitas yang kompleks, baik dalam hal suku, agama, ras, dan golongan (SARA).
Harapannya, apabila setiap orang memahami bahwa konstruksi material yang merangkapi dirinya tidak otentik dan tidak definitif, maka ia adalah identitas yang semu, dan tidak relevan dijadikan alasan untuk menentukan kualitas seseorang ataupun kelompok.
Persoalannya, ketika salah satu identitas yang semu tersebut dikapitalisasi atau dikomodifikasi untuk berbagai kepentingan: sosial, politik, dan ekonomi yang secara substansial bersifat kualitatif, maka yang terjadi adalah kekacauan gugus makna dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Baca juga: Mengelola Politik Identitas
Masalah lainnya, di alam demokrasi sulit sekali memisahkan identitas dengan politik. Karena pada praktiknya demokrasi mensyaratkan logika kuantitatif dalam sistem kontestasinya, bukan kualitatif. Makna kualitatif apa pun harus bisa dikonversi ke dalam perhitungan kuantitatif dalam pemilu. Fakta ini yang kerap menjebak publik ke dalam perangkap populisme politik dan menegasikan merit-system.
Dampaknya, sebagaimana kita saksikan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Di mana politik identitas secara dramatis telah membelah setiap isu politik, momen politik, dan agenda politik ke dalam dua kubu yang konfrontatif. Segregasi politik ini mencapai titik ledaknya dalam perhelatan Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 yang mempertunjukkan betapa hal tersebut akhirnya mengguncang kesadaran kebangsaan kita. Maka sangat wajar, apabila sebagian pihak khawatir bahwa artefak konflik yang sama akan terus di bawa hingga ke tahun 2024.
Apabila tidak segera direduksi, pada titik tertentu, situasi di atas akan mengakibatkan menurunnya wibawa negara, serta meningkatnya dominasi politik identitas dan komunalisme. Unjuk kekuatan menjadi tren baru dalam budaya politik kita.
Bahkan, logika kuantitatif (baca: mayoritas versus minoritas) akan memanipulasi logika kualitatif sehingga menjadi pijakan nalar untuk menentukan nilai benar-salah, atau baik-buruknya suatu tindakan. Klaim benar salah dan baik buruk inilah yang akan memberi legitimasi kepada seseorang atau kelompok untuk merendahkan, mengintimidasi, bahkan menegasikan orang lain.
Demokrasi Pancasila
Apabila kita telaah lebih jauh, sebenarnya hanya dalam praktik saja demokrasi bersifat kuantitatif. Secara substansi, demokrasi berdiri di atas nilai-nilai mulia yang bersifat kualitatif. Itu sebabnya demokrasi dan Pancasila bisa seiring sejalan karena keduanya bergandengan di atas asas yang sama, yaitu ”logika persamaan”.
Menurut Robert Dahl, salah satu syarat utama bagi sebuah negara untuk sampai pada demokrasi substansial harus terbangun terlebih dahulu logika persamaan di masyarakat. Hal ini akan membawa suatu mekanisme perundingan yang adil karena setiap individu merasakan dirinya bebas dari keterikatan atas individu, kelompok ataupun masyarakat lain (Robert Dahl: 2001).
Pada puncaknya, logika persamaan ini harus menjadi kebudayan warga negara (civic culture). Hukum berdiri sebagai panglima dan masyarakat serta komunitas apa pun harus memahami derajatnya di hadapan hukum adalah sama.
Salah satu syarat utama bagi sebuah negara untuk sampai pada demokrasi substansial harus terbangun terlebih dahulu logika persamaan di masyarakat.
Besar kecilnya sebuah komunitas, identitas, ataupun kuantitas kekayaan tidak membuat hak dan kewajibannya menjadi berbeda di mata negara. Tidak ada lagi logika mayoritas dan minoritas, yang membuat mayoritas merasa memiliki privilege lebih atas komunitas lainnya.
Menariknya, logika persamaan ini sebenarnya sudah jauh hari dirumuskan oleh para founding father kita. Dalam Pancasila dan UUD 1945, tidak tersebut—baik secara ekspilisit maupun implisit—tentang perbedaan hak mayoritas dengan minoritas, ataupun hak satu kelas atas kelas lainnya.
Baca juga: Politik Identitas dan Kemunduran Demokrasi
Dengan demikian, sistem politik Pancasila adalah demokrasi kualitatif, bukan demokrasi kuantitatif. Tetapi berbeda dengan meritokrasi, Pancasila menekankan pada peningkatan kualitas bersama, bukan individu. Masyarakat yang bergotong royong, bukan berkompetisi.
Dalam hemat penulis, sila keempat, yang menjadi landasan dipilihnya demokrasi, juga tidak sedikit pun mengandung unsur logika kuantitatif. Bahkan, sila keempat Pancasila mensyaratkan hikmah dan kebijaksanaan sebagai kualitas yang harus dimiliki oleh setiap wakil rakyat dalam memusyawarahkan nasib kehidupan rakyat seluruhnya.
Baca juga: Memecah Kebekuan Politik Identitas
Demikian juga dipilihnya bentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan negara agama, atau negara dengan ideologi kelas tertentu, adalah upaya untuk membangun logika persamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, dihapusnya tujuh kata pada sila pertama Pancasila, tidak lain sebagai upaya untuk menghindari tafsir adanya privilege mayoritas atas kelompok minoritas di kemudian hari.
Dalam alur perjalanan bangsa ini, pondasi dan rangka bangun NKRI tersebut kerap mengalami gangguan, ditunggangi, bahkan dibelokkan oleh salah satu kelompok maupun individu. Namun, bangsa ini masih diselamatkan karena kita masih menyepakati NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara yang harus dijaga sebagai harga mati. Inilah sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia.
Oleh sebab itu, kita semua berharap, para pemangku kepentingan bangsa ini bisa menginsafi bahwa politik identitas adalah ilusi yang berbahaya apabila digunakan karena bisa merusak gugus makna yang menopang kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara. Untuk mengembalikan isu identitas ke dalam proporsinya yang tepat dalam kontestasi demokrasi kita, maka hukum harus tegak sebagai panglima dan marwah penegak hukumnya harus terjaga pada posisi optimal. Apabila tidak, maka gugus makna kebangsaan kita akan kacau dan identitas yang kompleks yang ada di Indonesia bisa serampangan dijadikan komoditas politik yang destruktif.
Wim Tohari Daniealdi, Dosen di Jurusan Hubungan Internasional, Unikom, Bandung