Membangun kemenangan melalui politik identitas berbalut ujaran kebencian hanya akan melahirkan polarisasi politik yang dampaknya akan tetap berlangsung jauh setelah pemilu berakhir.
Oleh
WIJAYANTO
·5 menit baca
AFP/ANDREW CABALLERO-REYNOLDS
Pengunjuk rasa memanjat tugu Monumen Perdamaian di depan Gedung Capitol, Washington, Amerika Serikat, saat bersamaan digelar sidang Kongres AS. Sidang mengesahkan kemenangan Joe Biden dalam pemilihan presiden, yang berarti juga mengukuhkan kekalahan Trump.
Kemunduran di Amerika seharusnya tidak mengejutkan kita.” Demikian tulis Pippa Noris, dosen perbandingan politik dari Universitas Harvard, pada Foreign Affairs,7 Januari 2021. Melalui tulisan itu, dia sekaligus mengomentari kerusuhan yang terjadi di Capitoll Hill sehari sebelumnya, di mana para pendukung Trump mengepung gedung itu dan mencoba menghentikan prosesi sertifikasi kemenangan Joe Biden sebagai presiden terpilih.
Bagi Noris, pada masyarakat dengan polarisasi yang telah begitu tajam karena pemilu yang berbalut politik identitas dan ujaran kebencian, aksi massa itu mudah diduga akan terjadi. Inilah salah satu masalah krusial yang menyebabkan kemunduran demokrasi di negeri kampiun demokrasi itu.
Tidak hanya politik identitas berbalut kebencian, Trump juga melakukan serangkaian tindakan yang berujung pada kebangkrutan demokrasi di Amerika Serikat (AS). Dalam hal ini, dua ilmuwan politik Universitas Harvard lainnya, Daniel Ziblatt dan Steven Levitksy (2018), dengan jernih memaparkan analisisi tentang tindakan-tindakan Trump itu, antara lain: (1) Mengabaikan aturan main demokratis; (2) Melakukan serangan atau pelemahan terhadap oposisi; (3) Toleran atau mendukung kekerasan; dan (4) Melakukan pelemahan masyarakat sipil, termasuk media.
Krisis demokrasi di AS menjadi cermin bagi bangsa kita untuk waspada terhadap dinamika praktik demokrasi di Tanah Air. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ada sejumlah catatan yang penting menjadi perhatian kita bersama, mengacu pada pemikiran Ziblatt dan Levitksy.
Yang pertama, perihal pengabaian aturan main demokratis. Gagasan untuk mengubah konstitusi yang kemudian melahirkan dan memunculkan keresahan publik akan tanda-tanda menguatnya otoritarianisme sempat menjadi wacana hangat dalam ruang publik. Muncul gagasan untuk melakukan amandemen terkait dengan masa jabatan presiden, dari lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali jabatan menjadi dapat dipilih kembali sebanyak tiga periode. Bahkan, ada juga yang mengusulkan presiden hanya dapat dipilih satu kali, tetapi masa jabatannya menjadi delapan tahun.
Gagasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden ini bertolak belakang dengan semangat amendemen konstitusi terakhir yang justru ingin membatasi kekuasaan presiden guna menghindarkan berlangsungnya otoritarianisme. Wacana itu pertama kali muncul setelah pemilu 2019. Presiden Joko Widodo secara eksplisit menolak ide itu. Namun, wacana itu kembali muncul ke tengah publik dan menimbulkan pro-kontra.
Pelemahan oposisi
Kedua, kehadiran kekuatan oposisi merupakan salah satu hal yang elementer dalam demokrasi. Dengan keberadaan oposisi, akan ada yang melakukan kontrol pada kekuasaan. Sayangnya, kita menyaksikan oposisi mengalami pelemahan, baik melalui mekanisme paksa maupun transaksional yang dapat kita lihat sebagai penanda kemunduran demokrasi.
Dengan jurus ”pangku” politik Jawa, semua lawan politik diajak masuk kabinet dan para tokoh kritis/oposisi diberi penghargaan. Setelah Prabowo Subiyanto, calon presiden penantang Jokowi masuk kabinet sebagai Menteri Pertahanan, Sandiaga Uno juga diangkat sebagai menteri. Ini melengkapi catatan bahwa mayoritas partai yang berkoalisi mendapat jatah menteri atau wakil menteri. PKS dan Partai Demokrat yang memilih berada ”di luar”.
Tanda ketiga kemunduran demokrasi di AS yang juga terjadi di Tanah Air adalah sikap toleran ataupun kelalaian dalam mencegah terjadi kekerasan/teror siber. Seperti toleransi atau pembiaran aparat keamanan terhadap teror siber yang menimpa para aktivis yang bersikap kritis terhadap pemerintah.
Gelombang pertama dan paling besar dari teror siber dialami para aktivis yang menolak revisi UU KPK pada September 2019. Mereka yang merupakan anggota aliansi akademisi antikorupsi mengorganisasi diri melalui Whatsapp Group. Satu per satu anggota Whatsapp Group tersebut kemudian mendapat teror dalam bentuk panggilan telepon terus-menerus dari nomor asing dari luar Indonesia.
Koordinator kelompok bernama Rimawan Pradiptyo, akademisi dari Universitas Gadjah Mada, bahkan menerima teror peretasan nomor Whatsapp-nya. Nomor tersebut diambil alih oleh orang tak dikenal yang kemudian menyebar pesan pribadi kepada setiap anggota kelompok untuk mendukung revisi UU KPK. Ada puluhan anggota Whatsapp Group yang mengalami teror siber ini sehingga merusak koordinasi dan melemahkan gerakan itu.
Kisah pilu para aktivis antikorupsi ini melengkapi kisah teror siber yang juga dialami aktivis Ravio Patra pada April 2020, para mahasiswa di Universitas Gajah Mada (UGM) yang merencanakan diskusi terkait dengan tata kelola hukum di Indonesia pada Mei 2020, Pemimpin Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso pada bulan yang sama, dan epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Rinono pada Agustus 2020.
Dari semua kasus peretasan tersebut, belum ada satu pun yang telah diusut sampai tuntas siapa pelakunya. Lambatnya polisi dalam menindaklanjuti kasus ini mencerminkan toleransi negara terhadap teror.
Pembatasan kebebasan sipil, termasuk media, juga kita saksikan terjadi di Indonesia yang menjadi indikator kemunduran demokrasi lainnya. Melalui Menko Polhukam Wiranto, pemerintah secara resmi mengakui adanya pembatasan akses penggunaan media sosial pada 2019 silam selama tiga hari dari tanggal 22 Mei 2019.
Meski sempat berargumen bahwa ini untuk kepentingan masyarakat luas, Wiranto dengan tegas menyatakan bahwa kebijakan ini diambil untuk menekan penyebaran berita hoaks. Namun, belakangan pemerintah kalah dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), di mana blokir internet itu dinyatakan melawan hukum. Blokir internet tanpa proses hukum sebelumnya merupakan pelanggaran atas hak digital yang kini dilihat sebagai bagian dari hak asasi.
Tanda-tanda kemunduran demokrasi di Indonesia tersebut secara komprehensif juga terpublikasi dalam Indonesian Journal of Political Research (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2020).
Kompas/Hendra A Setyawan
Mural bertema toleransi beragama tergambar di dinding sebuah rumah di kawasan Meruyung, Depok, Jawa Barat, Sabtu (12/9/2020). Survei kerukunan umat beragama dari Litbang Kementerian Agama menunjukkan, indeks kerukunan beragama di Indonesia mencapai 72,20 pada 2017, sebesar 70,9 pada 2018, dan 73,93 pada 2019. Namun, tingginya indeks kerukunan beragama itu bukan berarti tidak ada persoalan intoleransi di Tanah Air. Intoleransi, baik ekonomi, kebudayaan, maupun keagamaan, masih terjadi di Indonesia.
Politik identitas
Dari sejumlah hal yang perlu dibenahi, faktor pengaruh politik identitas memang layak mendapat perhatian dari semua pihak. Kerusuhan yang terjadi di AS dan beberapa kasus konflik di Tanah Air memberikan pelajaran berharga potensi destruktif politik identitas terhadap praktik demokrasi yang sehat.
Membangun kemenangan melalui politik identitas berbalut ujaran kebencian hanya akan melahirkan polarisasi politik yang dampaknya akan tetap berlangsung jauh setelah pemilu berakhir. Untuk kasus di Indonesia, kita menyaksikan betapa polarisasi tetap terjadi, bahkan setelah para elite telah berdamai dan berkoalisi.
”Catatan kelam” yang terjadi di AS memberi pesan kuat agar para aktor/agensi politik, baik yang sedang berkuasa maupun yang mengambil posisi sebagai oposan kritis, mencegah proses kemunduran demokrasi menjadi lebih buruk. Negeri ini membutuhkan para politisi negarawan sekaligus berjiwa demokrat.
(Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, dan Pengajar di FISIP Universitas Diponegoro, Semarang. Meraih Gelar Doktor dari Universitas Leiden)