Sebagian orang menganggap semua orang Arab itu keturunan Nabi Muhammad yang harus dimuliakan dan ditaati. Identitas Arab lalu dikapitalisasi atau dikomodifikasi untuk berbagai kepentingan: sosial, politik, dan ekonomi.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
SALOMO TOBING
Ahmad Najib Burhani
Bagi sebagian masyarakat Muslim Indonesia, Arab itu identik dengan Islam. Menampilkan kearaban atau menggunakan atribut Arab bukan sekadar persoalan kultural, melainkan merupakan simbol keislaman dan kesalehan. Identitas Arab bahkan dipandang sebagai simbol kedekatan dengan Tuhan karena ada keterhubungan dengan tanah suci Mekkah-Madinah, kota yang menjadi asal Islam dan tempat Ka’bah yang merupakan kiblat umat Islam berada. Karena itu, proses tercepat ”menjadi Arab” bisa dilakukan dengan melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Sebagian masyarakat kita secara salah juga menganggap semua orang Arab itu merupakan keturunan Nabi Muhammad yang harus dimuliakan dan ditaati. Dengan hidup dan berkembangnya pandangan seperti itu, mereka yang dari Arab atau berwajah dan berpenampilan Arab lantas bisa dengan mudah diterima dan mendapat tempat terhormat di masyarakat. Tak jarang, mereka langsung dianggap memiliki otoritas keagamaan dan intelektual meski tak pernah menempuh pendidikan agama atau latar belakang kehidupannya tak pernah dekat dengan kesalehan sekalipun.
Identitas Arab, karenanya, bisa dikapitalisasi atau dikomodifikasi untuk berbagai kepentingan, termasuk memperkuat posisi sosial dan politik seseorang serta memperoleh manfaat ekonomi tertentu. Inilah yang menyebabkan munculnya fenomena habib-habiban, born-again habib, imitasi penampilan Arab di medan dakwah dan berbagai media massa. Terkait ekonomi, seperti disebut Haidar Bagir dalam pengantar buku Identitas Arab itu Ilusi: Saya Habib, Saya Indonesia (2022), itu menjadi penting ketika ”ada gejala kecenderungan penurunan pencapaian sosial-ekonomi di kalangan keturunan Yaman di negeri ini” (h. 21).
Contoh nyata bagaimana kearaban itu bisa merebut hati massa adalah di Madura. Dalam artikel ”Beyond Islam Nusantara and ’Arabization’—Capitalizing ’Arabness’ in Madura, East Java” (2016), Mirjam Lucking menggambarkan bagaimana sebagian masyarakat Madura itu begitu terobsesi dengan kearaban (Arabness). Mereka kerap meniru atau berusaha menjadi Arab dalam mode berpakaian, mengikuti gestur (gerak-gerik) orang Arab, mendengarkan musik padang pasir, memakai nama-nama Arab, mengikuti selera kuliner Arab, dan bahkan menggunakan kosmetik Arab. Peristiwa budaya seperti ini mudah dijumpai pada saat ritual keagamaan, seperti acara haul (peringatan kematian). Juga bisa dilihat pada upacara keberangkatan dan kepulangan ibadah haji.
Identifikasi Arab ini pula yang menjadi salah satu landasan dalam berpolitik dan berorganisasi sosial di Madura. Karena identifikasi Arabnya lebih banyak, misalnya, dulu orang Madura lebih tertarik bergabung ke Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin Rizieq Syihab daripada menjadi Banser NU. Fenomena ini dicoba direspons oleh Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan mengatakan: ”Di NU itu untuk boleh pakai serban, jubah kalau level kiai kabupaten, kalau [level kiai] kecamatan sungkan. Nah, ini kemudian bersurban dan berjubah agak terhambat NU. Sementara masuk FPI langsung pakai jubah” (CNN Indonesia, 2018).
Pemahaman orang Madura tentang makna Arab dan identitas Arab ini tentu berbeda dari pemahaman almarhum Buya Syafii Maarif ketika ia berbicara tentang misguided Arabism (arabisme sesat). Pemahaman mereka Juga berbeda dari makna Arab seperti yang sering dirujuk dalam wacana Islam Nusantara yang dipromosikan oleh Nahdlatul Ulama (NU).
Arab dalam pemahaman Buya Syafii dan Islam Nusantara lebih banyak mengacu kepada wahabisme yang dianggap menjadi penyebab tumbuhnya intoleransi, radikalisme, dan bahkan terorisme. Konfrontasi NU dengan Arab-Wahabi ini sudah berlangsung sejak pendiriannya pada 1926. Jika di Madura makna Arab itu sering diidentikkan dengan Islam, dalam wacana Islam Nusantara yang terjadi justru sebaliknya, Arab itu digambarkan sebagai antitesis dari Islam.
Kerancuan terjadi ketika gelombang habib-habiban belakangan ini memanfaatkan penghormatan masyarakat terhadap kearaban untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka. Seperti halnya dengan FPI di Madura, politisasi dan komersialisasi identitas Arab itu juga berhasil dalam beberapa kasus. Contoh yang paling menonjol tentu saja dalam bidang dakwah dengan popularitas dai atau penceramah yang berpenampilan dengan mode Arab atau mengidentifikasi dirinya sebagai habib.
Kerancuan berikutnya terjadi dengan istilah ”polisi Taliban” dan ”kadal gurun” (kadrun) yang kadang disematkan kepada semua etnis Arab yang ada di Indonesia. Kadang ada persepsi bahwa komunitas Arab itu homogen dan berada satu bendera organisasi tertentu yang dilarang di Indonesia. Kita kadang juga mengadopsi secara penuh konstruksi dari dunia luar bahwa Arab itu sepenuhnya ”berbahaya” dan ”ancaman”. Bahwa segala hal yang datang dari Arab itu negatif. Ini yang kemudian melahirkan gerakan anti-Arab di Indonesia.
Untuk menghindari upaya politisasi dan menjual identitas untuk kepentingan ekonomi dan keagamaan tertentu, sebagian keturunan Arab di Indonesia berusaha menghilangkan identitas Arab dari dirinya. Ini di antaranya dilakukan oleh Haidar Bagir yang dengan penuh kesadaran tidak memakai marga Alhabsyi dalam namanya ”karena tak ingin diidentifikasi sebagai ’Arab’ dan lebih senang dianggap sebagai bangsa Indonesia” (h. 17).
Hal serupa juga dilakukan ayahnya yang menolak memakai pakaian Arab dalam berceramah dan lebih memilih memakai pakaian khas Indonesia dengan sarung dan songkok hitamnya, bukan jubah dan kopiah putih ala habaib. Ia juga mengubah nama sekolah yang didirikan keluarganya yang semula bernama Rabithah al-Alawiyah menjadi Sekolah Diponegoro. Langkah ini mengikuti apa yang pernah dilakukan sebagian besar walisongoyang melepaskan identitas Arab dalam proses akulturasi dan menyatu dengan masyarakat.
Seperti halnya etnis Tionghoa, menjadi Arab di Indonesia itu juga memiliki dilema tertentu. Musa Kazhim, penulis buku Identitas Arab Itu Ilusi, misalnya, menggambarkan dilema yang dihadapinya sebagai keturunan Arab di negeri ini. Ia bercerita tentang bagaimana ketika kecil ia dengan sinis dipanggil ”hai Arab” di kota kelahirannya, Jember. Beranjak dewasa ia menghadapi stigma sebagai ”agen Ajam” (agen non-Arab) oleh mereka yang menyebut diri sebagai Arab. ”Kini lantaran perbedaan pandangan politik dan pemikiran agama, tatapan cemberut justru harus penulis [Kazhim] hadapi dari kelompok yang menyebut dirinya Alawiyyin” (h. 22).
Kazhim juga menggambarkan sebagian keturunan Arab terus dirundung pertanyaan tentang status dan identitas mereka: ”Apakah kami sama dengan yang lain?... Jika kami sama, mengapa kami masih dianggap asing, dilihat sebagai yang-lain?... bagaimana sepantasnya kami membaur?”. Kazhim bermimpi agar anak-anaknya ”bisa mencintai bangsa sebagaimana debar dalam dada Bung Karno, Bung Hatta, dan seluruh pejuang Indonesia lain… menjadi Indonesia asli… menggelorakan dengan bangga: Saya Habib, Saya Indonesia”. (h. 202-3)
Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)