Jenis mata uang yang pernah beredar di Nusantara amat variatif, bisa dikatakan terbanyak di dunia, terbuat dari batu, tulang hewan, kertas, dan logam. Jika ada museum uang di tiap daerah, akan jadi daya tarik wisata.
Oleh
DJULIANTO SUSANTIO
·6 menit baca
Pada 18 Agustus 2022, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan meluncurkan tujuh pecahan uang rupiah desain baru. Ketujuh pecahan tersebut terdiri atas nominal Rp 1.000, Rp 2.000, Rp 5.000, Rp 10.000, Rp 20.000, Rp 50.000, dan Rp 100.000. Uang kertas ini resmi berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai alat pembayaran yang sah.
Setiap pecahan itu memiliki warna dasar berbeda, yakni hijau, abu-abu, coklat, ungu, hijau, biru, dan merah, berurutan dari nominal terkecil hingga terbesar. Setiap pecahan bergambar tokoh pahlawan di satu sisi dan kebudayaan di sisi yang lain. Meskipun sudah beredar pecahan baru, ketujuh pecahan lama yang dikeluarkan pada 2016, masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Beredarnya tujuh pecahan baru tentu saja memperkaya dunia numismatik Indonesia. Sejauh ini jumlah kolektor uang semakin banyak. Para numismatis tidak hanya mengoleksi uang lama (kuno), tetapi uang baru pun mereka kumpulkan. Apalagi jika uang itu dalam kondisi bagus atau prima yang menurut istilah numismatik Uncirculated (Unc).
Nilai tambah akan semakin besar apabila uang kertas itu memiliki nomor seri menarik seperti 000001, 100000, 123456, 654321, atau 777777. Pada pokoknya yang banyak memiliki 0, berurutan, dan angka kembar. Demikian juga uang kertas yang ditandai ”Specimen” dan error (salah cetak atau salah potong) akan berharga di atas nilai nominal.
Terbanyak di dunia
Negara kita baru terbentuk pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, Nusantara berupa sekumpulan kerajaan atau kesultanan. Tidak dimungkiri, kalau jenis mata uang yang pernah beredar di Nusantara amat variatif, bisa dikatakan terbanyak di dunia.
Perjalanan sejarah kita terbentang amat sangat panjang, dimulai dari masa prasejarah, ribuan hingga jutaan tahun yang lalu. Pada masa ini masyarakat belum mengenal tulisan. Namun, nenek moyang kita memiliki sejumlah uang primitif terbuat dari batu, manik-manik, biji-bijian, cangkang kerang, dan tulang hewan.
Masa prasejarah di Nusantara berakhir sekitar abad ke-4 ketika ditemukan prasasti atau batu bertulis di Kalimantan Timur. Beralihlah kita ke masa Klasik atau Hindu-Buddha. Ketika itu kita memiliki sejumlah kerajaan besar, seperti Sriwijaya, Mataram, dan Majapahit. Setiap kerajaan memiliki mata uang emas dan perak, tetapi bentuknya masih belum beraturan. Contohnya uang jagung karena berbentuk seperti butiran jagung.
Nenek moyang kita memiliki sejumlah uang primitif terbuat dari batu, manik-manik, biji-bijian, cangkang kerang, dan tulang hewan.
Setelah masa Hindu-Buddha, kita memiliki masa Islam. Kerajaan Samudera Pasai di Aceh memiliki mata uang dirham dan dinar. Begitu juga kerajaan/kesultanan besar lain, umumnya mengeluarkan mata uang emas dan perak. Kerajaan/kesultanan yang lebih kecil hanya memiliki mata uang dari tembaga dan timah. Yang unik, Kesultanan Buton memiliki uang kampua, terbuat dari kain yang ditenun dan dipotong seukuran telapak tangan Menteri Besar.
Dalam pembabakan, menurut arkeologi, masa terakhir disebut masa kolonial. Pada masa ini berlaku, antara lain, uang VOC (kongsi dagang Belanda), EIC (kongsi dagang Inggris), Nederlandsch-Indie, Javasche Bank, dan pendudukan Jepang.
Perlu dicatat, di Nusantara pernah pula beredar mata uang asing yang berlaku sebagai alat pembayaran, misalnya koin kepeng Tiongkok dan koin asing yang diberi tanda khusus. Lalu ada lagi token atau uang perkebunan dari logam dan bambu.
Dari masa prasejarah, Hindu-Buddha, Islam, dan kolonial kita memiliki banyak sekali uang kertas dan uang logam (koin). Yang terbanyak tentu saja koin karena uang kertas tidak mampu bertahan lama. Koin banyak ditemukan dalam ekskavasi arkeologi.
Setelah masa kemerdekaan, kita memiliki berbagai jenis mata uang. Pada awalnya kita memiliki ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) untuk uang kertas. Khusus masa 1947-1949, kita memiliki banyak sekali ORIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah). Ketika itu, karena ingin berkuasa kembali, tentara Belanda melakukan agresi militer. Akibatnya, transportasi terputus dan terjadi kendala dalam perekonomian, terutama penyaluran uang dari pusat.
Karena dalam keadaan darurat, pemerintah pusat menginstruksikan daerah, seperti kawedanaan, kabupaten, dan provinsi membuat uang sendiri. Tentu lengkap dengan tanda tangan pejabat dan stempel. Uang seperti ini disebut ORIDA, lebih khusus ada URIPS (Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera) dan URIDAB (Uang Republik Indonesia Daerah Banten). ORIDA berlaku di Jawa dan Sumatera.
Arkeolog dan numismatis
Mata uang, terutama koin, sangat membantu arkeolog dalam memberi pertanggalan. Pada koin, baik yang satu muka maupun dua muka, ada beberapa unsur data, seperti data tekstual (tulisan) dan data piktorial (gambar dan simbol).
Dalam arkeologi, koin merupakan artefak bertanggal mutlak. Fungsinya sama seperti prasasti dan keramik, yang juga menjadi artefak bertanggal mutlak. Lewat artefak-artefak itulah berbagai temuan arkeologi lain dapat diberi pertanggalan.
Banyak informasi dapat digali dari koin, antara lain penguasa saat itu dan isi tulisan pada koin. Selain lewat ekskavasi arkeologi, koin kuno sering ditemukan oleh Komunitas Metal Detector. Dunia arkeologi mempertimbangkan konteks temuan, artinya koin tersebut dihubungkan dengan temuan lain.
Dalam arkeologi, koin merupakan artefak bertanggal mutlak. Fungsinya sama seperti prasasti dan keramik, yang juga menjadi artefak bertanggal mutlak.
Arkeologi tidak mementingkan kondisi koleksi, yang penting bisa teridentifikasi secara tekstual dan piktorial, juga bermanfaat untuk ilmu pengetahuan. Data dari koin bermanfaat untuk analisis berbagai benda temuan. Lewat analisis diperoleh narasi untuk memperkaya penulisan sejarah.
Beda halnya dengan numismatis. Sering kali numismatis mementingkan koleksi dengan tingkat kondisi atau grade bagus. Dalam numismatik dikenal beberapa grade, antara lain ”bagus sekali”, ”bagus”, ”cukup bagus”, dan ”kurang bagus”.
Museum uang
Mata uang yang pernah beredar di Nusantara amat sangat banyak. Sudah saatnya ada museum uang di berbagai daerah. Apalagi dalam museum provinsi ada bagian numismatika. Namun, sayang, koleksi numismatik di museum provinsi masih apa adanya. Kualitas koleksi masih jauh dari harapan.
Memang agak sukar memperoleh koleksi yang lengkap. Koleksi yang lengkap bisa ditemui kalau kita mengunjungi beberapa museum. Saat ini koleksi yang terbilang lengkap adalah gabungan koleksi Museum Nasional, Museum Bank Indonesia, dan Museum Uang Sumatera Utara.
Untuk memperkaya koleksi museum, tentu saja harus ada dukungan dari pemerintah. Penerbitan uang dengan desain dan gambar menarik jelas bermanfaat untuk menjadi koleksi masyarakat dan museum.
Sebagai promosi pariwisata, peran mata uang sangat besar. Ini mengingat banyak balai lelang atau aktivitas auction di sejumlah negara menjual mata uang kita, baik yang sudah ditarik dari peredaran maupun yang masih berlaku, secara terbuka.
Desain uang menjadi alat promosi ke dunia internasional apabila unik dan khas. Selama ini uang kertas kita yang sangat diminati kolektor adalah emisi 1975 yang bergambar relief Candi Borobudur dan kepala kala. Di kalangan kolektor dikenal sebagai uang Barong. Itu untuk kategori penerbitan tunggal.
Untuk penerbitan seri yang dipandang berdesain menarik adalah tujuh lembar Seri Bunga (1959) dengan pecahan Rp 5, Rp 10, Rp 25, Rp 50, Rp 100, Rp 500, dan Rp 1.000. Seri Bunga dicetak oleh Thomas de La Rue, Inggris.
Semoga pemerintah kita mampu menerbitkan uang kertas dan koin dengan desain dan bentuk menarik. Harapan lain supaya menjadi alat promosi pariwisata ke dunia internasional dan sumber ilmu pengetahuan.
Djulianto Susantio, Pemerhati Arkeologi dan Numismatik