Jejak Samar Kampua, Uang Tenun Tertua di Nusantara
Jejak peradaban Kerajaan Buton pada abad ke-14 hingga ke-15 terlihat dari mata uang yang terbuat dari kain tenun. Sayangnya, belum banyak literatur dan riset yang mengkaji kampua sehingga jejaknya terasa samar.
Tidak banyak mata uang kerajaan yang memiliki bentuk ”hologram” hingga pengaturan yang ketat di masa lalu. Terlebih lagi, mata uang tersebut terbuat dari kain, saat daerah lain mengandalkan logam atau hasil alam. Di Tanah Buton, mata uang kampua menjadi penanda kemajuan zaman yang mulai samar seiring waktu.
Suatu waktu, medio 1995, La Ode Abdul Munafi berkunjung ke Benteng Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagai penggemar sejarah, ia menuju museum untuk melihat peninggalan kekayaan budaya masa lalu. Berbagai peninggalan ia saksikan, termasuk beberapa dari Buton, tanah kelahirannya.
Seorang penjaga menyapanya. ”Anda dari Buton? Di sini ada mata uang dari daerah Anda,” kata Munafi menirukan.
Ia terkejut. Selama ini, ia hanya sering mendengar kampua, tanpa pernah melihat fisiknya. Mata uang kampua merupakan mata uang yang pernah digunakan di Kesultanan Buton selama berabad-abad lamanya.
”Di situ saya lihat kampua untuk pertama kali. Bentuknya seperti kain seukuran telapak tangan. Teksturnya lentur, dengan motif khusus yang menjadi penanda mata uang ini,” ucap budayawan Buton ini, awal Juni lalu.
Sejak saat itu, ia mulai tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang kampua. Di kemudian hari, beberapa mata uang ini ikut dikoleksi, yang diperoleh dari relasi atau keluarga. Ia menjaga mata uang ini tetap terjaga dan bisa disaksikan anak cucu.
”Sejauh yang saya tahu, mata uang ini merupakan yang pertama dari kain tenun di seantero kerajaan Nusantara saat itu. Mata uang ini dipakai oleh masyarakat di wilayah kerajaan Buton, hingga berakhirnya masa kesultanan,” tuturnya.
Kampua memiliki sejumlah keunikan dari bentuk, motif, dan warna. Motif mata uang ini berupa garis-garis lurus horizontal dan diagonal (lungsin dan pakan). Beberapa pihak meyakini warna dan motif ini adalah pembeda nilai, sementara yang lain menganggap perbedaan ini untuk mencegah pemalsuan. Warna kampua juga terdiri dari hitam, biru, dan merah.
Di Museum Sulawesi Tenggara, di Kendari, sedikitnya terdapat sepuluh lembar koleksi kampua. Tiga di antaranya dipamerkan di gedung pameran. Kampua ini terlihat telah menguning, dengan bagian tepi yang sebagian telah koyak dimakan usia.
Baca juga: Lirih ”Kabanti” Digerus Deru Waktu
Ukuran dan warna motif kampua ini tidak sama persis. Ada yang berwarna biru, merah muda, dan merah tua. Motif dari kampua ini pun berbeda, ada yang dua pasang garis berdampingan, sementara yang lain adalah tiga pasang garis sejajar.
Kurator Museum Sultra, Agung Kurniawan, menyampaikan, berdasarkan literatur yang ada, kampua tidak memiliki perbedaan nilai antara satu dan lainnya. Perbedaan warna, motif, dan ukuran disebabkan beberapa hal.
Ukuran kampua diambil dari ukuran telapak tangan Bonto Ogena (Menteri Besar). Lebar kampua seukuran empat ruas jari, sementara panjangnya lima ruas jari sang menteri besar. Bonto Ogena jugalah yang mengatur pembuatan hingga peredaran mata uang ini. Ia serupa Menteri Keuangan sekaligus Gubernur Bank Indonesia saat ini.
Motif dan warna garis juga diatur oleh sang Bonto Ogena. Pembedaan warna dilakukan untuk mencegah pemalsuan dari tahun ke tahun. Motif ini serupa hologram pada uang modern saat ini. Saat pemalsuan terjadi, pembuatan kampua dengan motif baru dilakukan. Tidak heran, dalam satu masa kesultanan bisa terdapat beberapa motif kampua.
”Untuk nilai tukar, satu lembar bida' kampua setara satu butir telur ayam, lalu berkembang menjadi boka', yang umum digunakan dalam suatu upacara adat,” jelasnya. ”Sementara satu sen Belanda awalnya setara empat lembar kampua. Semakin tahun nilainya semakin berkembang, yang menjadi taktik Belanda untuk menggantikan kampua,” imbuhnya.
Wawan Erwiyansyah, pegiat wisata yang juga kolektor kampau, mengatakan, mata uang ini beredar di masyarakat hingga pertengahan tahun 1990-an. Beberapa warga masyarakat menyimpan kampua yang biasanya warisan turun-temurun.
Sebagian besar koleksi Erwin terlihat masih sangat baik, bersih, dan tanpa noda. Ia memperolehnya dari sejumlah kenalan yang memercayakan uangnya untuk disimpan. ”Sengaja cari untuk suatu saat bisa dipamerkan di galeri. Sekarang sudah sangat sedikit yang tahu atau pernah melihat mata uang bersejarah ini,” katanya.
Terancam
Berdasarkan laporan Triangga dalam ”Kajian Uang Kampua dari Kerajaan Buton” di laman Museum Nasional Indonesia, kampua merupakan mata uang yang memiliki panjang sekitar 170 mm dan lebar 140 mm. Di dalam lingkup Kerajaan Wolio (Buton), kampua berfungsi sebagai alat tukar atau pembayaran yang dijamin sah oleh kerajaan untuk digunakan rakyat.
Kampua adalah alat tukar resmi yang dibuat dari secarik kain, sebagai pengganti sistem barter yang dianggap tidak praktis dan merepotkan. Ratu Wa Kaa Kaa, penguasa pertama Kerajaan Wolio dengan arif bijaksana memanfaatkan kainnya untuk dijadikan alat tukar atau pembayaran.
Setiap orang menyisihkan sebagian hasil dari mata pencariannya dan sebagai imbalan dianugerahi secarik potongan kain Ratu Wa Kaa Kaa. Jadi, pada awalnya kampua adalah lembaran kain besar milik ratu yang dipotong-potong selebar telapak tangan yang diperlakukan sebagai alat tukar.
Pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya, kampua dibuat oleh para petenun dari dalam dan luar Benteng Keraton Wolio di bawah pengawasan Menteri Besar (Bonto Ogena). Setiap tahun istana menentukan corak dan warna benangnya.
Peredaran kampua tidak sebatas di Pulau Buton saja, melainkan sudah mencapai Kepulauan Maluku, bahkan Papua. Sebagai uang yang berpengaruh karena banyak digunakan dalam transaksi perdagangan, Pemerintah Hindia-Belanda melihat ini sebagai ancaman. Dengan menukar atau membeli dari warga menggunakan uang Belanda, lambat laun peredaran kampua berkurang hingga tidak diproduksi lagi.
Baca juga : Lakon Pomanduno Terakhir di Tanah Buton
Sementara itu, studi Agus Slamet dari Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Buton menyampaikan, kampua dipastikan penggunaannya pada masa Sultan Dayanu Ikhsanudin (1597-1631). Pada medio 1851, saat pemerintah kolonial Belanda menjelajah Pulau Sulawesi, termasuk Buton, Gubernur Jenderal VOC Pieter Both sempat salah mengerti karena beranggapan orang Buton membayar barang dagangannya dengan kain kecil yang disebutnya lap.
VOC selanjutnya mengganti kampua dengan mata uang gulden milik Belanda, tetapi hanya di daerah tertentu. Di daerah pelosok Buton, kampua masih digunakan untuk bertransaksi, hingga akhirnya pada tahun 1851 mata uang kampua diberhentikan peredarannya (Darmawan, 2008).
Pengajar Sejarah Universitas Dayanu, Ikhsanuddin Buton Hasaruddin, menjelaskan, kampua diperkirakan beredar mulai akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15. Mata uang ini lahir sebagai pengganti sistem barter yang sering kali merepotkan di beberapa tempat.
”Saat itu, tenun dipilih karena memang mulai berkembang, dan di wilayah ini tidak begitu karib dengan logam. Di wilayah Nusantara saat ini, hanya Kerajaan Buton yang memakai mata uang dari kain tenun. Saya belum pernah mendapatkan literatur adanya mata uang lain dari kain di wilayah Indonesia masa itu,” tuturnya.
Tidak hanya itu, sanksi bagi mereka yang melakukan pemalsuan juga telah diatur. ”Menurut tradisi lisan, mereka yang melanggar akan diberi sanksi, ada yang bilang sampai dipancung. Hanya, hal ini belum saya dapatkan dalam aturan tertulis,” ucap Hasaruddin yang rutin meneliti naskah tua.
Kelahiran kampua tidak menjadi alat tukar semata. Munculnya mata uang ini turut menjadi penanda peradaban modern di Tanah Buton saat itu. Kelahiran kampua berjalan beriringan dengan tradisi tenun, semakin berkembangnya tradisi tulis, dan turut meluaskan pengaruh Buton di Nusantara.
Akan tetapi, kampua, yang dilarang peredarannya sejak VOC berkuasa, turut luntur seiring zaman. Setelah perannya hilang, kampua turut tersingkir dari pengetahuan masyarakat. Saat ini, hanya sebagian kecil generasi yang paham akan kampua atau pernah melihat langsung seperti apa wujud dan bentuknya. Riset mendalam dan lengkap terkait kampua juga sulit untuk ditemukan saat ini.
Hal ini yang dikhawatirkan Hasaruddin dan sejumlah pegiat budaya lain di wilayah ini. ”Orang nanti bukan lagi tidak tahu bentuk kampua, tapi jangan-jangan tidak pernah tahu kita pernah punya mata uang dengan aturan yang begitu maju pada zamannya dahulu.”