Islamofobia Vs Radikalisme dan Spiritualitas
Hanyalah omong kosong dan bertentangan dengan fakta jika dikatakan di Indonesia ada kebijakan pemerintah yang fobia terhadap Islam. Di mana di Indonesia ini ada kebijakan yang benci dan takut kepada Islam?
Adanya kajian ”ba’da dzuhur” secara rutin di Bank Indonesia selama ini menjadi salah satu bukti bahwa di Indonesia tidak ada Islamofobia oleh negara.
Itulah, antara lain, yang saya tegaskan ketika mengisi pengajian ”ba’da dzuhur” secara hibrida pada Senin, 8 Agustus 2022, di Bank Indonesia (BI). Kajian Islam ”ba’da dzuhur” itu diadakan secara rutin, selalu dihadiri langsung oleh gubernur BI dan dewan gubernur serta pegawai BI di daerah serta cabang-cabangnya di sejumlah negara.
Sengaja saya singgung tentang tidak adanya Islamofobia negara karena setelah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mengeluarkan resolusi ”Tanggal 15 Maret sebagai Hari Anti-Islamofobia Internasional”, di sebagian masyarakat kita timbul reaksi yang tidak proporsional.
Resolusi PBB sebenarnya semula lebih terkait dengan fenomena sikap rasis di dunia olahraga yang ditunjukkan oleh orang-orang non-Muslim kepada pemain sepak bola Muslim yang hebat, seperti Mohamed Salah (Mesir) dan Zinedine Zidane (Perancis). Mereka kerap kali disikapi secara rasis dan dirundung (bully) karena identitas Islam-nya.
Saya tegaskan, hanyalah omong kosong dan bertentangan dengan fakta jika dikatakan di Indonesia ada kebijakan pemerintah yang fobia terhadap Islam.
Akan tetapi, di Indonesia ada yang langsung menyebarkan opini dan mengaitkan resolusi PBB itu dengan banyaknya Islamofobia di Indonesia. Ada yang menuding banyak kebijakan pemerintah yang anti-Islam dan diskriminatif terhadap umat Islam. Dicontohkan bahwa banyak ulama dan ustaz yang dikriminalisasi, dakwah dibatasi, berjenggot dan bercelana cingkrang, dan Muslimah berhijab dituding radikal.
Anak-anak muda yang bergabung ke dalam gerakan hijrah dibilang ”kadal gurun” (kadrun) yang radikal.
Tidak ada kebijakan Islamofobia
Saya tegaskan, hanyalah omong kosong dan bertentangan dengan fakta jika dikatakan di Indonesia ada kebijakan pemerintah yang fobia terhadap Islam. Islamofobia adalah sikap benci dan takut kepada Islam sehingga orang Islam takut atau malu mengaku sebagai Muslim. Di mana di Indonesia ini ada kebijakan yang benci dan takut kepada Islam? Di mana pula ada orang takut dan malu mengaku Islam?
Nyatanya, keluarga besar BI dan dan kantor-kantor pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah rajin menyelenggarakan pengajian Islam. Banyak markas kodam, markas korem, dan markas kodim di lingkungan TNI menjadi tempat kegiatan majelis taklim.
Begitu pun banyak markas polda dan markas polres di lingkungan Polri yang sering menjadi tempat Sema’an Qur’an dan tablig akbar.
Saya pernah mengisi tablig akbar di Markas Polres Gunungkidul bersama Komisaris Jenderal Ahmad Dofiri ketika kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri itu masih menjadi kepala polda di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lihat pula perkembangan fasilitasi negara terhadap institusi-institusi Islam. Eksekusi vonis pengadilan agama (Islam), yang semula harus mendapat fiat executie (disahkan dulu) oleh pengadilan umum, sekarang langsung berlaku tanpa fiat executie.
Perguruan tinggi agama Islam, yang dulu dianggap perguruan tinggi kelas dua atau kelas tiga, sekarang disejajarkan dan diberi civil effect yang sama dengan perguruan tinggi umum yang maju.
Kaum terpelajar Muslim bangga karena selain mempunyai institut agama Islam negeri (IAIN), juga mempunyai 17 universitas Islam negeri yang kampus ataupun akademisinya bagus-bagus. Pemerintah juga membentuk Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) yang diproyeksikan menjadi pusat studi-studi keislaman dan laboratorium moderasi beragama di dunia internasional.
Di berbagai level pendidikan, ada pendidikan agama dan pemberian civil effect terhadap sekolah-sekolah agama Islam seperti berbagai madrasah. Bahkan pemerintah juga membuat UU Pesantren dengan penyediaan dananya yang besar. Di mana Islamofobianya?
Baca juga UIII dan Ikhtiar Indonesia Membangun Pelangi Islam di Dunia
Mobilitas sosial kaum Muslimin
Para pejabat, tokoh, dan masyarakat Muslim sekarang ini tidak rikuh untuk menunjukkan jatidirinya sebagai Muslim. Malah bersilam sudah menjadi gaya hidup. Kalau waktunya shalat, ya, shalat, kalau bulan Ramadhan berpuasa, pada hari-hari besar Islam kegiatan kantor diliburkan. Tak ada yang mengusik.
Kaum Muslimin di Indonesia sudah mengalami mobilitas sosial vertikal naik yang luar biasa sejak Indonesia merdeka. Mereka bisa dengan bebas melanjutkan pendidikan, meraih pendidikan tertinggi, dan menempati jabatan-jabatan politik dan pemerintahan, serta profesional di berbagai sektor. Banyak intelektual Muslim yang menduduki jabatan-jabatan penting di perguruan tinggi umum.
Berbagai lembaga negara dipimpin tokoh-tokoh Islam. Kontestasi politik pun selalu memperhitungkan dukungan kaum Muslimin. Di mana Islamofobianya?
Yang terjadi justru melambungnya mobilitas sosial vertikal naik kaum Muslimin dari yang dulunya hanya pelengkap dan obyek sekarang menjadi subyek yang ikut menentukan secara signifikan dalam mengawal NKRI dengan kosmopolitanisme dan wasathiyyah Islam.
Bahwa di dalam masyarakat sering ada tudingan radikal atau julukan ”kadrun” dan lain-lain terhadap kelompok Islam dengan perilaku tertentu, hal itu tak bisa diartikan ada Islamofobia dari negara. Yang sering melancarkan tudingan seperti itu hanyalah segelintir orang tertentu di masyarakat, bukan kebijakan negara dan pemerintahan.
Dan kalau hanya karena ada ujaran kebencian dengan narasi ”kadrun, cingkrang, jenggot, cadar makhluk gurun”, oleh oknum lalu disimpulkan ada Islamofobia, maka di negara kita ada juga Kristenfobia, Hindufobia, Buddhafobia, dan fobia-fobia lain. Buktinya, jika ada orang Kristen melakukan bakti sosial, ada yang menuding sebagai Kristenisasi. Ada juga yang menuding syirik terhadap orang yang melakukan ritual keagamaan dengan memakai kemenyan.
Pernyataan-pernyataan seperti itu, kan, sama fobianya dengan tudingan ”kadrun”, ”madrenges” (madrasah), ”pakaian gurun”, dan sebagainya. Akan tetapi, sekali lagi, itu semua hanya terjadi di dalam masyarakat secara perseorangan (privat) dan dalam jumlah yang sangat kecil. Negara tak membuat kebijakan fobia kepada kelompok mana pun.
Tuduhan adanya kriminalisasi terhadap ulama atau para ustaz juga tak berdasar.
Tuduhan adanya kriminalisasi terhadap ulama atau para ustaz juga tak berdasar. Memang ada sejumlah kecil ulama atau ustaz (bisa dihitung dengan jari) yang dipidanakan karena memang melakukan tindak pidana, tetapi ada ratusan ribu ulama dan ustaz di negara ini yang sangat bebas beraktivitas dakwah. Di mana Islamofobianya?
Sebagai catatan, penghuni lembaga pemasyarakatan sekarang ini lebih dari 263.000 orang, tetapi adakah ulama yang menjadi bagian dari mereka, kecuali beberapa ustaz yang memang melakukan tindak kriminal? Di mana Islamofobianya?
Radikalisme dan spiritualitas
Harus diakui kebijakan antiradikalisme memang ada di Indonesia dan itu dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Sebab, meski jumlahnya sangat sedikit, memang ada radikalisme yang sebagian dilakukan dengan cara terorisme.
Radikalisme dalam konstitusi dan hukum adalah paham yang ingin membongkar total ideologi dan konstitusi yang sudah disepakati rakyat melalui mekanisme yang terbuka. Ekspresi radikalisme muncul dalam tiga bentuk, yakni intoleransi, pengembangan wacana anti-ideologi dan konstitusi, dan terorisme.
Pemerintah menangani radikalisme sesuai dengan bentuk pemunculannya. Jika menghadapi intoleransi dan anti-ideologi yang sifatnya wacana, maka dilakukan melalui pendidikan kesadaran ideologi dan konstitusi dengan, antara lain, mengembangkan kontranarasi, deradikalisasi, dan memperkuat pendidikan ideologi dan kewarganegaraan.
Akan tetapi, terhadap radikalisme yang muncul dalam bentuk terorisme, tindakan pemerintah juga tegas, yakni membuat kebijakan antiterorisme dengan segala mekanisme penindakan hukumnya.
Kaum Muslimin mendukung kebijakan antiradikalisme dan perang terhadap terorisme justru untuk menunjukkan bahwa dalam bernegara dan bermasyarakat, Islam bukanlah agama yang radikal, apalagi teroris.
Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang mengajarkan kedamaian dan toleransi yang umatnya memosisikan diri dalam wasathiyyah Islam.
Harus diakui pula, terkadang dalam realitas kehidupan masyarakat ada orang yang tak bisa membedakan antara radikalisme dan spiritualisme. Misal, ada tudingan radikal dan ”kadrun” terhadap orang yang sering melafalkan bismillah, subhanallah, astaghfirullah, atau tampil dengan model pakaian tertentu yang disebutnya sebagai pakaian muslim, seperti gamis, hijab, dan sorban.
Baca juga Muhammadiyah Ajak Umat Menggelorakan Pandangan Islam Berkemajuan
Ada yang menuding ”kadrun” terhadap orang yang rajin shalat ke masjid atau selalu membawa kitab suci Al Quran. Sejujurnyalah semua itu tidak selalu berarti radikal, tetapi ekspresi spiritual yang bagus. Sama saja dengan rektor atau menteri yang di ruang kerjanya tersedia tempat shalat, sajadah, dan kitab suci Al Quran. Mereka itu sebenarnya lebih mengekspresikan spiritualitas daripada radikalitas.
Dalam hubungan negara, agama, dan masyarakat, sebenarnya mereka adalah kaum kosmopolit yang Pancasilais yang menjadikan Islam yang penuh rahmah dan wasathiyyah sebagai tuntunan dan gaya hidup. Sekarang ini di kalangan anak-anak muda Islam yang intelek dan kaum profesional justru sedang tumbuh spiritualitas dan gaya hidup Islami.
Mereka adaptif terhadap tuntutan profesionalisme yang berbasis digital, tetapi sekaligus rajin melakukan ritual keagamaan dengan berbagai simbol kulturalnya, seperti berhijab, rajin memenuhi panggilan shalat, rajin ke pengajian, berpuasa Senin dan Kamis. Maaf, itu bukan ekspresi radikal, melainkan bisa merupakan ekspresi spiritual.
Moh Mahfud MD, Guru Besar Hukum Tata Negara, Menko Polhukam RI