Imaji tentang komodo yang ada di benak wisatawan sangat mungkin tidak hanya sebatas kadal besar atau biawak raksasa. Perlu disiapkan narasi tentang itu jika ingin menata kelola Taman Nasional Komodo.
Oleh
FITRA SUJAWOTO
·5 menit baca
”Komodonya sama, wajahnya juga sama,” ujar Presiden Joko Widodo dalam siaran pers saat mengunjungi Taman Nasional Komodo. Hal itu dalam rangka merespons penolakan publik atas wacana kenaikan tarif wisata di Taman Nasional Komodo per 1 Agustus 2022.
Pada praktiknya di Indonesia, kenaikan tarif wisata tidak pernah menjadi hal yang mudah. Pada 2014, pernah juga terjadi unjuk rasa besar-besaran menolak kenaikan tarif wisata Bromo. Belum lama berselang di Borobudur pun terjadi penolakan serupa. Isu penolakannya pun sama, ketakutan para pelaku wisata atas turunnya minat berwisata.
Selama ini, setiap wacana kenaikan tarif wisata selalu dibarengi dengan narasi seputar konservasi destinasi wisata tersebut, baik itu tentang tata kelola lingkungan maupun budaya. Banyak destinasi wisata memang akan bersentuhan langsung dengan isu konservasi sehingga dibutuhkan strategi dan tata kelola yang mampu menciptakan kesetimbangannya.
Betul bahwa konservasi itu perlu, benar juga bahwa upaya kenaikan tarif harus dibarengi dengan mekanisme pengelolaan destinasi yang lebih transparan. Bahkan, skema pembangunan pariwisata berkualitas sebenarnya juga telah hadir dengan banyak nama, sebut saja pariwisata berkelanjutan, pariwisata berbasis masyarakat, ekowisata, dan beberapa tipologi lainnya.
Namun, apakah tiap-tiap strategi itu sudah dibarengi dengan narasi yang mumpuni? Sudahkah tiap-tiap strategi itu mampu menciptakan narasi yang tidak serta-merta menurunkan minat wisatawan meski tarifnya naik?
Penataan ulang wisata Taman Nasional Komodo (TNK) yang salah satunya dengan kenaikan tarif dari semula Rp 150.000 per kunjungan menjadi Rp 3,75 juta itu diharapkan mampu menjawab berbagai catatan buruk tentang tata kelola wisata komodo, dari mulai soal pencemaran lingkungan akibat sampah dari wisatawan, perusakan terumbu karang, hingga terdesaknya habitat komodo akibat hadirnya praktik pariwisata massal.
Strategi tata kelolanya pun jelas, pemerintah akan menyisihkan biaya untuk mengganti nilai jasa ekosistem lingkungan sekaligus menutup biaya kompensasi atas ekosistem yang hilang. Lebih dari itu, tawaran aktivitas wisata baru pun telah disiapkan, dengan penyiapan Pulau Rinca sebagai atraksi alternatif jika ingin berkunjung ke sana dengan tarif yang lebih murah yang bahkan juga ada komodonya.
Namun, kenapa keseluruhan strategi konservasi itu tidak mendapat sambutan baik dari wisatawan maupun pelaku wisatanya? Apa betul minat wisatawan yang berkunjung ke sana sebatas untuk melihat komodo? Atau perlu diidentifikasi ulang apa sesungguhnya minat wisatawan saat berwisata ke sana? Apabila hanya tentang komodo, maka tidak perlu jauh-jauh ke Pulau Rinca karena di banyak kebun binatang juga ada komodo dengan wajah yang sama.
Apa betul minat wisatawan yang berkunjung ke sana sebatas untuk melihat komodo?
Minat berwisata
Lalu, bagaimana membaca minat atau motivasi seseorang untuk berwisata? Setidak-tidaknya ada tawaran kerangka berpikir dari McIntos (1977) dan Murphy (1985) bahwa motivasi berwisata dapat bersifat fisik, budaya, sosial, dan fantasi atau prestise. Minat wisatawan memang bisa lahir karena rancangan strategi, tetapi strategi juga butuh narasi.
Sekali lagi, apabila skema baru ini telah memiliki narasi yang berkesesuaian dengan minat atau motivasi berwisata, tentu tidak akan terjadi gelombang pembatalan kunjungan wisatawan yang memunculkan unjuk rasa dari para pelaku wisata di Labuan Bajo, bukan? Sebab, membicarakan komodo tidak bisa sebatas kadal besar atau biawak raksasa, imaji tentang komodo yang ada di benak wisatawan sangatlah mungkin lebih dari itu.
Dari segi narasi yang dapat menumbuhkan minat wisatawan, komodo dan Pulau Komodo bahkan telah menjadi catatan tersendiri sejak Peter Ouwens, Direktur Museum Zoologi Bogor, pada 1912 memublikasikan jurnal ilmiah tentang keberadaan kadal raksasa dari zaman purbakala itu. Setelah itu, pada 1980, Pulau Komodo dan beberapa pulau di sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan taman nasional hingga akhirnya UNESCO memutuskan bahwa kawasan Taman Nasional Komodo menjadi bagian dari warisan budaya dunia yang di dalamnya terkandung nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV) pada 1991.
Saat ini, Labuan Bajo dengan TN Komodo di dalamnya masuk sebagai salah satu dari lima destinasi superpriotas. Ini juga menunjukkan bahwa Bajo dan komodo memiliki nilai yang sama dengan Bali di masa awal pengembangan, baik secara kualitas destinasi maupun dari segi minat wisatawannya.
Narasi Pulau Ora
Dahulu sekali pernah ada anekdot ”jangan mati sebelum ke Bali”, maka hari ini berkunjung ke Labuan Bajo dan melihat komodo juga telah memiliki prestise tersendiri. Jadi, tak dapat dimungkiri, meski komodo juga ada di kawasan pulau lainnya, selama produksi narasi seputar komodo hanya melekat pada Pulau Komodo, maka selamanya akan tidak berkesesuaian dengan minat wisatawan. Maka, selain perihal konservasi, perlu juga dibuat strategi naratif, seputar pulau-pulau lainnya yang juga menjadi habitat bagi komodo.
Berikutnya, jika mungkin keberadaan komodo yang ada di berbagai kebun binatang di Indonesia juga perlu dikembalikan ke habitat aslinya. Kenapa demikian? Selain agar komodo kembali membangun ekosistem aslinya, dapat juga terbangun pengalaman eksklusif atau premium bagi wisatawan saat mengunjungi Labuan Bajo.
Dan, terakhir, apabila mungkin yang perlu dilakukan adalah mengembalikan nama Pulau Komodo menjadi Pulau Ora. Apabila tidak, wisatawan akan beranggapan bahwa yang otentik hanyalah ada di Pulau Komodo.
Pada akhirnya, kesiapan narasi bukan hanya akan mempromosikan destinasi, tetapi juga menyelaraskan persepsi para pelaku wisatanya. Penolakan yang berlangsung di Labuan Bajo menjadi gambaran mendesak tentang hadirnya narasi yang menjejak, bukan hanya di sisi regulator, melainkan juga para operator. Bagaimanapun kebutuhan berwisata tidak dapat dipenuhi hanya dengan strategi dan tata kelola, tetapi juga kemampuan bernarasi agar wisatawan dapat pulang dan tetap membawa cerita.
Fitra Sujawoto, Pengajar Politeknik Pariwisata NHI Bandung