Pemilu sebagai Ajang Mengembalikan Marwah Partai
Atmosfer kepolitikan saat ini tak lepas dari peran oligark. Ini sebuah paradoks di mana desain kepolitikan yang demokratis justru memfasilitasi keberadaan mereka. Pemilu momen penting pengembalian marwah partai politik.
Saat ini partai-partai politik tengah melalui tahapan krusial, yakni mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum. Diprediksi jumlah peserta Pemilu 2024 yang akan mendaftar lebih banyak ketimbang pemilu sebelumnya.
Jumlah parpol yang ada saat ini menunjukkan bahwa keinginan untuk mendirikan parpol tak kunjung surut. Parpol terus bermunculan dari waktu ke waktu. Fenomena ini memperlihatkan terus terpeliharanya keinginan dari para aktivis politik untuk terjun dalam dunia politik.
Mereka memahami bahwa dengan berpartai, peluang untuk dapat terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan menjadi lebih besar. Dengan keterlibatan langsung itu, mereka dapat mewujudkan idealismenya atau kepentingan-kepentingan lain. Mengenai apakah keinginan tersebut akan terus terpelihara dalam jalur idealisme atau justru berubah drastis menjadi sekadar upaya mendapatkan kekuasaan semata, waktulah yang akan menjawab.
Selain itu, tetap maraknya kemunculan partai-partai baru ini juga mengindikasikan bahwa partai-partai yang ada selama ini belum benar-benar mewakili seluruh aspirasi publik. Keberadaan parpol hingga saat ini memang belum berhasil merangkul masyarakat dengan segenap kepentingannya.
Keberadaan parpol hingga saat ini memang belum berhasil merangkul masyarakat dengan segenap kepentingannya.
Tidak mengherankan jika party identity di Indonesia, yang menandai tingkat kedekatan antara masyarakat dan partai-partai terus dalam posisi rendah. Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 2021 memperlihatkan hanya 6,8 persen dari responden yang merasa dekat dengan partai.
Partai-partai yang ada kerap dipandang hanya mewakili kepentingan kalangan tertentu, bahkan dalam momen-momen tertentu dianggap tidak mewakili sama sekali kepentingan masyarakat.
Akar problem partai-partai
Persoalan yang ada pada partai-partai sesungguhnya lebih kompleks dari kedekatan dengan masyarakat. Masalah kedekatan itu terjadi karena eksistensi dan keberlanjutan partai lebih bergantung pada jaringan korporasi elite ketimbang jaringan akar rumput.
Partai saat ini berada dalam posisi ketergantungan timbal balik dengan para donor atau investor politik, yang tentu saja mengharapkan imbalan manakala partai-partai itu berkuasa (Crouch, 2012).
Masalah membangun kedekatan dengan khalayak ini tampaknya juga berpotensi terjadi pada partai-partai baru saat ini. Ini mengingat banyak partai yang ditopang oleh SDM yang masih dalam tahap belajar dalam membangun kedekatan dengan publik. Situasi ini diperburuk dengan problem partai-partai dalam membangun komunikasi publik.
Akar persoalannya adalah karena partai-partai cenderung memosisikan diri sebagai penjual produk dan berbicara satu arah layaknya iklan ketimbang memperlakukan publik sebagai mitra dialog yang seimbang (Dommett 2015). Pendekatan yang dilakukan itu menyebabkan komunikasi menjadi kering dan tidak menggugah apalagi memberikan pemahaman mengenai hakikat kehidupan politik secara mendalam.
Selain itu, partai-partai yang ada saat ini kerap dikritik sebagai lembaga yang makin terlihat elitis. Alih-alih menjadi lembaga yang kesehariannya menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, situasi internal di partai terasa demikian dikendalikan oleh elite-elite partai.
Pengelolaan partai saat ini adalah sumber persoalan karena pada akhirnya memosisikan tokoh-tokoh utama partai demikian berkuasa dan menentukan, yang kemudian menyebabkan demokrasi internal di beberapa partai menjadi terganggu. Dampaknya adalah watak demokrasi tidak benar-benar kokoh mewujud di dalam partai. Sikap permisif dalam berpolitik yang mereduksi esensi demokrasi pun kerap terjadi dalam kehidupan politik kita.
Sikap permisif dalam berpolitik yang mereduksi esensi demokrasi pun kerap terjadi dalam kehidupan politik kita.
Kaderisasi yang seadanya juga akar persoalan lain, terutama terkait dengan bagaimana kader-kader memaknai politik dengan segenap kompleksitas di dalamnya. Kondisi ini menyebabkan ideologisasi dan penanaman nilai-nilai idealisme menjadi seadanya, yang akhirnya berkontribusi dalam terbangunnya pemahaman kader yang melenceng dalam menjalankan perannya dalam kehidupan politik, termasuk dalam ajang pemilu.
Sayangnya, kondisi ini beriringan dengan godaan oligarki yang terus menguat dalam memfasilitasi kehidupan politik yang kian mahal dan pragmatis itu. Atmosfer kepolitikan saat ini tak terlepas dari peran oligark. Ini adalah sebuah paradoks di mana desain kepolitikan yang demokratis justru memfasilitasi keberadaan oligark.
Ini karena biaya politik yang demikian tinggi dan ketidakmandirian keuangan partai ataupun para politisi, serta pemahaman politik masyarakat yang terus tergerus oleh pragmatisme. Demokrasi kita pun menjadi mentah secara substansial karena terus berpengaruhnya oligarki dalam kehidupan kita. Tak mengherankan Indonesia menjadi salah satu contoh bagaimana demokrasi dan oligarki dapat saling menghidupi (Ford & Pepinsky 2014).
Didie SW
Kaitannya dengan pemilu
Beberapa hal di atas tentu saja pada akhirnya akan turut memengaruhi aspek-aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Secara normatif, pemilu tentu saja dapat mendorong partai untuk lebih baik.
Keinginan untuk dapat diketahui dan menarik perhatian publik tentu mendorong partai-partai untuk memiliki performa lebih baik, apakah dalam soal keorganisasian, ketokohan, atau perilakunya, termasuk kemandirian dari oligark.
Partai juga akan lebih banyak mengambil inisiatif dan melakukan kiprah di tengah-tengah masyarakat agar muncul kedekatan yang lebih solid. Apalagi dengan sistem pemilihan daftar terbuka yang diberlakukan saat ini, tentu mendorong para kader partai lebih meluaskan pengaruhnya di masyarakat.
Meski demikian, dengan berbagai kondisi yang masih dihadapi oleh kebanyakan partai itu, potensi terulangnya hal-hal yang dikeluhkan selama ini bukan tak mungkin akan terjadi.
Pemilu secara substansi akan mengalami stagnasi kualitas berkepanjangan.
Pemilu secara substansi akan mengalami stagnasi kualitas berkepanjangan. Hal ini karena kualitas pemilu pada akhirnya tidak terlepas dari perilaku para pesertanya. Seberapa keras kita membangun mekanisme pemilu yang baik, penguatan kapasitas ataupun idealisme penyelenggara hingga pendewasaan para pemilih; manakala situasi tidak kunjung banyak berubah dari sisi partai sebagai aktor utamanya; maka potensi stagnasi itu selalu terbuka.
Ini tidak berarti kita harus pesimistis, apalagi apatis, dalam melihat masa depan pemilu. Sebaliknya, ini harus mendorong kita untuk terus mengingatkan partai-partai atas problem yang mereka miliki dan kaitannya dengan jalannya pemilu.
Kita harapkan pelan tapi pasti segenap problem itu dapat dipahami dan diatasi oleh partai-partai sehingga pemilu tidak lagi menjadi ajang sekadar mencari suara untuk berkuasa dengan menghalalkan segala cara. Sebaliknya, pemilu akan menjadi ajang unjuk gigi kehebatan komitmen demokratik dalam mewujudkan sebuah idealisme. Sekaligus juga sebagai ajang pembuktian bahwa pendekatan bernuansakan idealisme, bukan semata materi, dalam meyakinkan pemilih dapat kembali berjaya.
Baca juga: Meneguhkan Peran dan Fungsi Partai Politik
Di tengah berbagai keterbatasan yang masih ada, partai politik tak punya pilihan harus melakukan hal-hal semacam itu. Hanya dengan itulah pemilu yang akan menentukan nasib bangsa kembali menjadi ajang pertarungan terhormat atas dasar aturan main. Dan lebih dari itu, pemilu pada akhirnya juga dapat benar-benar menjadi momen penting pengembalian marwah partai-partai politik kita.
Firman Noor, Peneliti pada Pusat Riset Politik BRIN