Sarinah, Penghormatan untuk Mbok Sainah
Dengan nama Sarinah, selain untuk memberi penghormatan kepada Mbok Sainah, pengasuhnya, Bung Karno juga ingin agar pedagang kecil dapat "dijaga, dibina, dan diasuh" dengan baik oleh pemerintah.
Pada 14 Juli 2022, saya dan Syandria, cucu pertama, menghadiri peresmian kembali pusat perbelanjaan Sarinah oleh Presiden Joko Widodo.
Peresmian pusat perbelanjaan itu membangkitkan kenangan 56 tahun lalu saat menemani Bung Karno, yang pertama kali membangun dan meresmikan gedung Sarinah pada 17 Agustus 1966. Waktu itu, penulis sudah tinggal di Bandung karena kuliah di Jurusan Teknik Mesin ITB.
Gedung 15 lantai setinggi 74 meter yang dulu hanya dikenal sebagai gedung tertinggi pertama di Jakarta, toko serba ada atau toserba, dan hanya punya satu eskalator kini telah berubah. Sarinah telah bertransformasi jadi pusat perbelanjaan modern atau mal yang estetik dengan wajah baru, seperti adanya tangga amphitheater dan skydeck atau area luar mal sehingga para pengunjung bisa melihat gedung-gedung dan menikmati senja di atas ruas protokol Jakarta.
Meski demikian, warisan Bung Karno itu masih tetap ada menjadi sejarah. Selain nama Sarinah, antara lain juga dipertahankannya relief-relief petani, kolam pantul, pedagang, penjual buah-buahan dan ikan. Relief tersebut dulu sempat disembunyikan dan dipindah ke lantai dasar dengan ditutup kain oleh pemerintah Orde Baru. Namun, di era sekarang ini, relief tersebut dikembalikan pada tempatnya sebagai karya seni dan budaya bangsa.
Baca juga: Sarinah Lahir Baru Merangkul Sejarah dalam Modernitas
Kisah Mbok Sainah
Keluarga Raden Soekemi Sosrodihardjo, ayah Bung Karno, ketika bermukim di Mojokerto, Jawa Timur, adalah guru yang tiap hari mengajar. Untuk membantu kegiatan sehari-hari istrinya, Ida Ayu Nyoman Rai, perempuan keturunan bangsawan Keraton Singaraja, Bali, keluarga Raden Soekemi mempekerjakan asisten rumah tangga sekaligus pengasuh putranya yang masih kecil: Kusno.
Sehari-hari, Kusno memanggilnya Mbok Sainah. Istilah mbok merupakan panggilan untuk orangtua dalam bahasa Jawa. Meski disapa Mbok Sainah, hingga sekarang nama lengkapnya tidak diketahui persis. Seperti anaknya sendiri, Mbok Sainah mengasuh Kusno hingga remaja. Sebaliknya, Kusno pun menganggap Mbok Sainah sebagai ibunya sendiri.
Kusno yang kala kecil sering sakit-sakitan selalu dirawat dengan kasih sayang, hingga sembuh dan sehat kembali.
Seperti anaknya sendiri, Mbok Sainah mengasuh Kusno hingga remaja. Sebaliknya, Kusno pun menganggap Mbok Sainah sebagai ibunya sendiri.
Dari cerita Bung Karno, ketika Raden Soekemi mendapat tugas mengajar di Kota Blitar, sekeluarga pun pindah, termasuk Mbok Sainah. Pernah suatu saat, Kusno yang selalu sakit-sakitan itu sakit tipus. Selain diberi obat dokter, setiap malamnya, Raden Soekemi tidur di kolong tempat tidur Kusno.
Kepercayaan kuno waktu itu, mengisahkan: jika sang ayah tidur di kolong tempat tidur anaknya yang sakit, hal itu akan mempercepat kesembuhan si anak. Setelah sembuh dan agar tak lagi sakit-sakitan, Kusno diruwat dan diberi nama baru: Sukarno (Soekarno). Sukarno kecil tetap menjadi asuhan Mbok Sainah, hingga Sukarno melanjutkan sekolahnya di Hogere Burger School (HBS), Surabaya.
Mbok Sainah inilah yang sebenarnya membentuk dasar jiwa Sukarno menjadi seorang pembela orang-orang kecil dan berjiwa pemimpin. ”Karno di atas segalanya engkau harus mencintai ibumu. Tapi berikutnya engkau harus mencintai rakyat kecil. Engkau harus mencintai umat manusia,” ujar Mbok Sainah seperti disampaikan kembali oleh Bung Karno dalam buku Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Jika dalam permainan ada keharusan dia memanjat pohon, maka Sukarno akan memanjat paling tinggi dibandingkan rekan-rekannya. Kalau balapan sepeda, Sukarno selalu ingin berada paling depan dan tanpa dapat disusul kawan-kawannya. Demikian pula saat dia harus mengambil keputusan secara cepat, Karno kecil akan cepat bereaksi.
Ketika Sukarno dewasa dan mondok di kediaman pemimpin pergerakan Islam terkemuka saat itu: Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, teman Raden Soekemi itu, Mbok Sainah sudah tak lagi mengasuh Sukarno. Di era ini, konsentrasi pemikiran Sukarno adalah masalah sosial politik. Salah satunya adalah bagaimana cara memerdekakan bangsa Indonesia dari kolonialis Belanda.
Di sanalah paham-paham politik Sukarno mulai berkembang. Seperti perlunya persatuan nasional seluruh kekuatan antikolonialisme dalam satu barisan, juga paham nonkooperasi menghadapi penjajah Belanda. Boleh dibilang, pemikiran Islam dan sosialisme mulai tumbuh sesuai pemikiran HOS Tjokroaminoto dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya, selain isi dari buku-buku yang dibaca dan pidato yang didengar Sukarno.
Selesai pendidikan HBS pada 1921, Bung Karno melanjutkan pelajarannya ke THS (Technise Hoogeschool te Bandoeng) atau sekarang dikenal dengan nama Institut Teknologi Bandung. Sukarno lulus pada 1926. Dengan gelar Insinyur Teknik Sipil dan Arsitektur, Bung Karno lebih giat lagi memompa persatuan di kalangan bangsa Indonesia.
Baca juga: Menghidupkan Soekarno
Pada 4 Juli 1927, Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), yang berideologi Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Strategi PNI adalah nonkooperasi dengan semboyan ”Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, dan sekarang juga”. Singkat cerita, akibat kegiatan politiknya yang membuat posisi kolonialis Belanda terancam, Bung Karno masuk penjara di Banceuy, Bandung.
Dari penjara Banceuy, Bung Karno dipindah lagi ke penjara Sukamiskin selama dua tahun.
Pada 1933 Bung Karno memimpin Partindo (Partai Indonesia)—partai kader sekaligus partai massa yang sepak terjangnya sangat revolusioner. Akibat artikelnya ”Mencapai Indonesia Merdeka”, yang berisi strategi dan taktik merebut kekuasaan kolonial dan meraih kemerdekaan, Bung Karno dibuang ke Ende, Flores.
Di sini Bung Karno mengembangkan pemikirannya lebih dalam lagi mengenai Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi menjadi Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah yang menjadi cikal bakal Pancasila yang dicetuskan Bung Karno pada 1 Juni 1945 dan diterima secara aklamasi sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka.
Dari Sainah ke Sarinah
Sebagai Presiden RI pertama, Bung Karno merasakan kaum perempuan Indonesia harusnya juga ikut berjuang bersama-sama dengan kaum lelaki. Tak hanya menggugurkan kekuasaan kolonialisme Belanda, tetapi juga mendirikan suatu masyarakat berkeadilan sosial bagi seluruh bangsa dan rakyat atau dikenal dengan Masyarakat Sosialisme Religius.
Dengan jasa Muallif Nasution dan K Goenadi, kursus politik berkala untuk kalangan perempuan, terutama tokoh-tokohnya, dapat diadakan di Balairung Gedung Agung Yogyakarta. Kursus-kursus yang diberikan Bung Karno kepada kaum perempuan tersebut naskahnya kemudian dibukukan menjadi satu buku.
Bung Karno memberikan judul Sarinah, sebuah nama baru diambil dari nama Mbok Sainah, yang pernah merawat dan mengasuhnya di masa kanak-kanak. Nama ”Sarinah” merupakan penghormatan dan rasa terima kasihnya kepada jasa-jasanya yang telah membentuk jiwa Bung Karno. Itulah untuk pertama kalinya publik mengenal nama ”Sarinah”, yang dikonstruksi Bung Karno.
Nama ”Sarinah” merupakan penghormatan dan rasa terima kasihnya kepada jasa-jasanya yang telah membentuk jiwa Bung Karno.
Walaupun judul bukunya tak diberi nama sesuai panggilannya dulu: Sainah, jiwa dalam buku dan nama itu sendiri adalah jiwa Mbok Sainah, pengasuhnya sejak kecil dulu.
Ketika Ibu Kota RI kembali ke Jakarta pada 1949 karena kolonialis Belanda bertekuk lutut dan mengakui kedaulatan RI, Indonesia mulai menggelar berbagai agenda nasional yang dapat menunjukkan eksistensi, meningkatkan citra dan kebanggaan bangsa di mata dunia.
Dimulai dari Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung, Konferensi Non-Blok Beograd Yugoslavia 1961, dan persiapan menghadapi Asian Games IV 1962 di Jakarta.
Dengan pandangan jauh ke depan (historis telescopic), Bung Karno membangun jalan, jembatan dan hotel bertaraf internasional yang pertama, yaitu Hotel Indonesia. Kemudian toserba Sarinah di Jalan Thamrin, Wisma Nusantara, Jembatan Semanggi, Stadion Gelora Bung Karno, Gedung Conference of The New Emerging Forces (Conefo), dan lainnya.
Baca juga: Presiden Jokowi: Misi Awal Sarinah Dilanjutkan
Bangunan-bangunan tersebut oleh kaum yang anti Sukarno dianggap sebagai proyek mercusuar, menghambur-hamburkan keuangan negara yang kala itu masih kondisi sulit.
Menghadapi tantangan-tantangan, kritikan-kritikan dan cemoohan, Bung Karno jalan terus. Pasalnya, hemat Bung Karno, pembangunan proyek tersebut merupakan upaya membangun watak dan jiwa bangsa (nation and character building) bagi bangsa Indonesia yang pernah dijajah selama 350 tahun lebih. Karena itu, harkatnya harus ditingkatkan sejajar dengan negara-negara merdeka lainnya.
”Mengasuh” UMKM
Khusus toko serba ada Sarinah, peletakan batu pertamanya pada 17 Agustus 1962 dan peresmiannya pada 17 Agustus 1966 oleh Bung Karno.
Fungsi Sarinah pada mulanya adalah tempat usaha untuk mengangkat derajat para pedagang usaha mikro, kecil, dan menengah serta usaha kecil dan mikro (UMKM/UKM) serta perajin dan industri kecil dari berbagai provinsi sekaligus stabilisator harga di pasar pada jenis dan produk tertentu.
Jika ada pedagang atau perajin yang menaikkan harga ”seenak udelnya” di luar dengan jenis produk yang sama, Sarinah harus tetap berpegang pada harga-harga semula. Pasalnya, mereka sudah diberi fasilitas bagus dan paviliun khusus. Untuk itu, Sarinah harus siap bersaing dengan pedagang dan perajin serta industri kecil tanpa menurunkan kualitas produk dan menaikkan harga.
Pemberian nama Sarinah oleh Bung Karno dilatarbelakangi oleh peran Mbok Sainah yang telah mengasuh Bung Karno kanak-kanak hingga remaja.
Dengan nama Sarinah, selain, sekali lagi, ingin memberi penghormatan kepada ibu pengasuhnya, Bung Karno juga ingin agar para pedagang kecil itu dapat ”dijaga, dibina, dan diasuh” dengan baik oleh pemerintah atau setidaknya menteri terkait yang menangani ekonomi atau pedagang saat itu.
Harapannya, Sarinah yang diresmikannya itu juga menjadi sentra produk pedagang dan perajin kecil dengan harga relatif bersaing dan kualitas terjaga, juga ikon dan citra Indonesia. Sebuah etalase produk-produk pertanian, kerajinan, dan industri rakyat kecil, juga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.
Baca juga: Presiden Jokowi: Misi Awal Sarinah Dilanjutkan
Di bawah kepemimpinan Menteri BUMN Erick Thohir, yang telah merenovasi besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan citra masa kini dan masa datang di tengah abad digitalisasi, transformasi Sarinah harapannya benar-benar dapat mendukung Indonesia Maju 2045.
Sarinah bukan hanya menampilkan wajah baru, melainkan juga warisan lama yang mulia. Sarinah juga menjadi lebih cerah dengan cahaya lampu yang gemerlapan dibandingkan Sarinah dulu pada 1966.
Berjejalnya pengunjung dan tamu saat peresmian oleh Presiden Jokowi yang hadir bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo sungguh luar biasa. Dalam sambutan singkatnya Presiden Jokowi berharap agar lebih banyak lagi paviliun-paviliun produk dalam negeri dapat berpartisipasi sehingga Sarinah bisa menyedot lebih banyak lagi pengunjung.
Pada akhirnya, hal itu dapat meningkatkan kesejahteraan bagi para pedagang dan perajin selain penerimaan negara.
Siapa yang menyangka berkat jasa Mbok Sainah membentuk jiwa Bung Karno, kini ada Sarinah yang kembali menjadi mercusuar dan ikon bagi NKRI. Sukses untuk Sarinah!
Guntur Soekarnoputra, Putra Sulung Presiden Soekarno dan Pemerhati Sosial