Dunia tengah menanti tindakan lebih tegas dan lebih keras ASEAN terhadap junta militer Myanmar. Tanpa tindakan tegas dan keras itu, junta akan kian sewenang-wenang.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pekan ini, para menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN dan negara-negara mitra wicara berkumpul di Phnom Penh, Kamboja, guna mengikuti Pertemuan Para Menlu ASEAN (AMM). Pertemuan itu juga diikuti oleh sejumlah menlu negara-negara kekuatan utama dunia, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China.
Banyak isu—mulai dari isu kawasan hingga isu global—akan dibahas. Namun, dari sekian isu yang ada, paling mendesak dan butuh perhatian serius adalah krisis politik di Myanmar. Sejak ASEAN menyepakati lima poin konsensus, guna menyelesaikan krisis pascakudeta militer 1 Februari 2021, tak ada kemajuan sama sekali dalam implementasi poin-poin kesepakatan tersebut.
Yang terjadi, mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Jepang, 27 Juli 2022, adalah ”kemunduran” dan ”tidak adanya komitmen junta militer Myanmar” mengimplementasikan lima konsensus ASEAN. Poin-poin konsensus, seperti penghentian kekerasan, dialog konstruktif, dan akses ASEAN ke semua pihak di Myanmar, tidak dijalankan. Komunitas ASEAN geregetan melihat junta Myanmar kian sewenang-wenang, termasuk lewat eksekusi empat aktivis pro demokrasi di negara tersebut.
Menlu Malaysia Saifuddin Abdullah menyebut eksekusi itu sebagai cemoohan terhadap langkah ASEAN. Dari Singapura, Menlu Vivian Balakrishnan menyebut peristiwa itu kemunduran besar bagi upaya ASEAN menyelesaikan krisis Myanmar. Sementara Menlu Retno LP Marsudi mendesak digelar sesi khusus untuk membahas isu Myanmar.
Namun, retorika kemarahan dan kejengkelan itu tak cukup untuk menekan junta militer Myanmar agar mengimplementasikan lima poin konsensus ASEAN. Pengucilan Myanmar dari forum-forum ASEAN sejak akhir tahun 2021—termasuk pada AMM di Phnom Penh pekan ini—tidak mempan untuk menghadapi sikap keras kepala junta. Bahkan, tepat sebelum AMM dimulai, pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengumumkan perpanjangan mandat dirinya untuk memimpin negara itu hingga enam bulan ke depan.
Perlu tindakan lebih keras dan lebih tegas ASEAN terhadap junta Myanmar. Mantan Menlu Thailand Kasit Piromya dalam tulisannya pada laman The Diplomat, misalnya, menyebut ASEAN perlu membekukan keanggotaan Myanmar. Ada sejumlah kelemahan dalam lima konsensus ASEAN, seperti tiadanya mekanisme dan kerangka waktu implementasi, serta konsekuensi jika lima konsensus itu tidak dijalankan.
Melihat tradisi dan cara ASEAN, terlalu muluk berharap ada keputusan keras, seperti pembekuan keanggotaan Myanmar. Yang realistis, berharap ada mekanisme dan kerangka waktu implementasi plus—syukur-syukur—ada konsekuensi bagi Myanmar jika tidak menjalankan lima konsensus ASEAN. Tanpa itu, benarlah kritik para pengamat, ASEAN hanya semacam tempat jualan bualan (talking shop).