Mengantisipasi Aset Mangkrak PLTU di Tengah Krisis Iklim
PLN saat ini sedang susah payah menghadapi aset mangkrak akibat investasi berlebihan, Indonesia berkomitmen secara nasional meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi 23 persen pada 2025.
Aset mangkrak (stranded asset) adalah salah satu risiko cukup besar yang akan dihadapi sistem energi fosil dalam menghadapi krisis iklim, dan tampaknya PLN saat ini sedang susah payah menghadapinya.
Aset mangkrak terjadi akibat investasi berlebihan, disengaja ataupun tidak, dalam sebuah kelas aset yang berpotensi menjadi usang jauh mendahului usia produktifnya.
Di tengah krisis iklim, dunia mendorong penghentian (phase out) pembangunan dan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara karena PLTU ini menjadi salah satu sumber terbesar emisi karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lain.
Menguasai sekitar dua pertiga bauran pembangkitan listriknya, tentu saja dorongan ini akan berdampak pada PLTU batubara di Indonesia.
Persetujuan Paris mendesak dunia untuk menahan kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat celsius, bahkan berusaha menahannya pada 1,5 derajat celsius saja, di atas suhu sebelum Revolusi Industri pada pertengahan 1800-an saat energi fosil mulai dibakar secara besar-besaran. Padahal, hari ini kenaikan suhu telah mencapai 1,1-1,2 derajat celsius.
Itu sebabnya, dalam laporan kajian perubahan iklim terbaru Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), disebut oleh Sekjen PBB Antonio Guterres sebagai ”tanda bahaya bagi umat manusia” (code red for humanity). IPCC juga memperlihatkan, kesempatan untuk mencegah krisis iklim semakin buruk sangat sempit. Pendeknya, tindakan harus dilakukan saat ini atau tak akan berguna sama sekali (now or never).
Untuk itu, IPCC memperlihatkan bahwa untuk mencegah kenaikan suhu melebihi yang diperbolehkan oleh Persetujuan Paris, jumlah emisi dunia harus mencapai puncaknya pada 2030, mencapai netralitas (net zero) pada pertengahan abad (sekitar 2050), dan terus menguranginya hingga sama sekali hilang. Untuk itu, semua kegiatan yang menyebabkan emisi, terutama penggunaan PLTU batubara, harus dihentikan sesegera mungkin.
Pendeknya, tindakan harus dilakukan saat ini atau tak akan berguna sama sekali ( now or never).
Penyebab aset mangkrak
Tekanan terhadap PLTU batubara akan membuat aset ini mangkrak sebelum waktunya. Pertama, kelas aset ini akan terdesak karena adanya kebijakan baik internasional maupun domestik untuk meninggalkannya lebih cepat dari usia produktifnya. Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui UU No 16/2016.
Selain itu, Indonesia berkomitmen membatasi emisinya pada 29 persen di bawah emisi business as usual (BAU) tanpa ada kebijakan yang sengaja dibuat untuk menguranginya dalam konteks menghadapi perubahan iklim dengan upaya sendiri, dan akan meningkatkannya menjadi 41 persen jika ada bantuan pendanaan dunia.
Indonesia juga telah berkomitmen mencapai emisi net zero pada 2060 atau lebih cepat, selain menjadikan sektor kehutanan sebagai net sink (penyerapan lebih banyak dari emisi) segera di 2030. Sebelumnya, Indonesia telah berkomitmen secara nasional untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.
Indonesia juga telah bergabung dalam komitmen dunia untuk perlahan meninggalkan sistem energi berbahan bakar batubara hingga habis di 2040.
Menurut Presiden, transisi energi tak boleh ditunda lagi.
Sepulangnya dari KTT G20 di Roma dan Konferensi Iklim Ke-26 di Glasgow, di depan manajer senior Pertamina dan PLN, Presiden Jokowi menegaskan komitmen Indonesia untuk mentransisikan secepat mungkin sistem energi Indonesia meninggalkan bahan bakar fosil dan memperbanyak sumber-sumber energi terbarukan. Menurut Presiden, transisi energi tak boleh ditunda lagi. Transisi energi telah menjadi satu dari tiga tema utama presidensi Indonesia di KTT G20 di Bali, November 2022.
Kedua, mereka akan terdesak oleh adanya teknologi EBT yang lebih baru, yang juga muncul akibat desakan untuk meninggalkan bahan bakar fosil yang lebih baik dan lebih bersih.
Ketiga, akibat pengembangan teknologi energi terbarukan ini, mereka pun terdesak karena energi terbarukan akan semakin murah menyalip harga listrik PLTU batubara. Dalam sepuluh tahun terakhir, harga produksi listrik tenaga surya turun hingga lebih dari 80 persen. Darmawan Prasodjo, saat masih menjabat Wakil Direktur Utama PLN, menyatakan, harga listrik yang dihasilkan oleh panel surya terapung tanpa baterai di Cirata jauh di bawah harga listrik batubara.
Saat ini, harga lelang listrik PLN sekitar 0,035 dollar AS atau Rp 500 per kWh. Dalam World Energy Outlook 2020, Badan Energi Internasional (IEA) mengakui bahwa skema tenaga surya terbaik saat ini adalah energi termurah yang pernah ada sepanjang sejarah.
Keempat, tekanan masyarakat. Di seluruh dunia, PLTU batubara mendapat tentangan keras. Yang telah ada diminta untuk ditutup dan yang masih berupa rencana dibatalkan.
Di Indonesia, tentangan juga cukup kuat. Banyak tentangan masyarakat atas rencana pembangunannya. Bukan hanya karena emisi karbon dan gas-gas rumah kaca, melainkan juga karena buruknya kualitas udara yang dicemarinya. Jakarta, dengan delapan PLTU di sekitarnya (menjadi 12 sebentar lagi), telah menjadi kota dengan udara terkotor sedunia pada 2022. Sayangnya, kemenangan masyarakat dalam tuntutan pengadilan melawan pemerintah mengenai ini belum memberikan perbaikan sama sekali.
Kelima, karena semakin bersaingnya energi terbarukan, dan membesarnya tekanan kebijakan, peraturan, dan opini masyarakat, lembaga pendana serta pengguna energi besar semakin menjauh dari batubara. Saat ini, sekitar 1.500 perusahaan di dunia telah menentukan target mereka untuk mencapai emisi net zero pada pertengahan abad ke-21 ini, antara 2030 dan 2060. Beberapa di antaranya, seperti Grup Indika, adalah perusahaan Indonesia.
Sekitar 370 perusahaan di seluruh dunia yang terhimpun dalam asosiasi RE100 telah berkomitmen hanya menggunakan 100 persen EBT. Nike, salah satu anggota RE100 ini, terpaksa tak lagi bisa mengembangkan fasilitas produksinya di Indonesia di luar apa yang telah ada dan mengembangkannya di Vietnam, antara lain karena Indonesia tak bisa memberikan jaminan untuk menyediakan listrik dari 100 persen EBT.
Ke depan, banyak perusahaan multinasional akan menghadapi tantangan yang sama di Indonesia dan terpaksa harus hengkang menyusul Nike.
Bank-bank pembangunan multilateral, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), sejak lama menyatakan tak lagi mendanai batubara.
Lebih dari 1.500 lembaga dan 50.000 perseorangan yang mengelola aset total 40,4 triliun dollar AS telah menyatakan keluar dari investasi di energi fosil, terutama batubara, dan menginvestasikan kembali di EBT. Bank-bank pembangunan multilateral, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), sejak lama menyatakan tak lagi mendanai batubara.
BRI, salah satu bank terbesar di Indonesia, menyatakan berhenti mendanai batubara, sedangkan BNI, yang masih mendanai batubara, mendapat serangan cukup besar dari masyarakat. Baru-baru ini, pendana Jepang menghentikan pendanaannya pada PLTU Indramayu 2 sebesar 1 gigawatt (GW).
Aset mangkrak PLTU Indonesia
Sistem energi Indonesia telah sejak lama didominasi oleh bahan bakar fosil. Kapasitas terpasang PLTU batubara terus meningkat dari 27,7 GW pada 2014 menjadi 34 GW (sekitar 26 persen) pada 2019, bahkan setelah komitmen peningkatan bauran energi terbarukan ditegaskan. Selain itu, sebagian besar listrik yang dibeli dari pembangkit swasta pun dibangkitkan oleh PLTU. Ke depan, bahkan hingga 2030, batubara diperkirakan masih akan tetap mendominasi.
Sementara itu, akibat disrupsi perang di Eropa, harga energi—termasuk batubara—tiba-tiba meroket. Dari di bawah 70 dollar AS per ton, harga batubara pernah mencapai lebih dari 400 dollar AS per ton. Dengan harga dunia setinggi ini, sejenak Indonesia sempat menghadapi ancaman ketiadaan pasokan batubara karena semua produsen batubara mementingkan ekspor ketimbang menjualnya di pasar domestik (walau ada aturan kewajiban pasar domestik/domestic market obligation).
Dalam pasar energi yang sangat tidak menentu ini, ketahanan energi Indonesia sedang dipertaruhkan.
Tambahan lagi, dengan perjanjian pembelian listrik take or pay, di mana PLN wajib membeli listrik yang dihasilkan pembangkit swasta, saat ini PLN harus menghadapi masalah oversuplai serta mahalnya harga batubara sebagai bahan bakar utama. Subsidi energi di Indonesia tahun ini mungkin mencapai Rp 500 triliun, sekitar seperempat total APBN.
Padahal, dengan harga EBT yang semakin murah dan pilihan teknologi yang terdesentralisasi, PLTU besar dan terpusat menjadi semakin terlihat usang. Teknologi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) telah cukup dewasa untuk dibangun terdesentralisasi.
Tambahan lagi, panel surya atap kian populer penggunaannya. Dari 592 pelanggan pada November 2018, jumlah pengguna mencapai 3.781 pada Mei 2021. Harga listrik yang dihasilkan panel surya atap, termasuk apabila biaya pengelolaan beban dan keandalan dibebankan kepada konsumen, telah kompetitif, bahkan dibandingkan harga listrik sebelum kenaikan harga baru-baru ini. Apalagi dibandingkan dengan apabila kenaikan harga batubara yang luar biasa ini diperhitungkan ke dalam harga energi dan apabila subsidi perlahan dihapus.
Baca juga : Pajak Karbon untuk Kegiatan PLTU Batubara Mulai Berlaku 1 Juli 2022
PLN, protektif ketimbang kompetitif
Pada 2021 terdapat 76 juta pelanggan rumah tangga listrik PLN, dengan kapasitas tersambung sekitar setengah dari total, yaitu 77 GVA dari 154 GVA total, membeli 115 TWh dari 258 TWh (45 persen) tenaga listrik yang dijual di Indonesia. Semua pelanggan rumah tangga ini berpotensi beralih untuk menggunakan panel surya atap.
Pendapatan PLN dari konsumen rumah tangga sekitar Rp 118 triliun pada 2021. Jika seperlima saja dari listrik yang dibeli dari PLN itu tergantikan oleh panel surya atap (misalnya, panel surya atap hanya menggantikan seperlima dari kapasitas terpasang total tiap-tiap rumah), ada potensi kehilangan pendapatan lebih dari Rp 23 triliun.
Berdasarkan pertimbangan inilah PLN harus memperhitungkan lagi kebijakan panel surya atap, dan kemudian menerbitkan kebijakan bahwa pemasangan panel surya atap dibatasi hanya hingga 15 persen dari kapasitas terpasang PLN di rumah tersebut.
Harga pembelian listrik surya atap oleh PLN untuk kelebihan daya dari surya atap, yang menurut Peraturan Menteri No 26/2021 adalah 1:1 (harga yang sama untuk membeli atau menjual), dalam beberapa kasus tak dilaksanakan. Tetap digunakan rasio lama 1:0,65 (PLN membeli listrik berlebih dari surya atap 65 persen dari harga jualnya kepada pelanggan).
PLN telah membangun banyak PLTU batubara, bahkan saat keunggulan energi terbarukan telah banyak didiskusikan, juga di tengah tren harga yang menurun drastis, bahaya emisi karbon dioksida pada kestabilan iklim dunia, serta sumbangannya pada polusi udara. Pengetahuan itu nyatanya tidak menjadi dasar yang kuat untuk bertransformasi. Sekarang, PLN ”kena batunya” atas kekeraskepalaannya membangun sedemikian banyak PLTU, dengan mengorbankan kestabilan iklim, masyarakat, dan keberlanjutan finansial PLN sendiri.
Agus P Sari, Pemerhati Masalah Energi Terbarukan, Lingkungan Hidup, dan Perubahan Iklim