Pajak Karbon untuk Kegiatan PLTU Batubara Mulai Berlaku 1 Juli 2022
Pajak karbon sangat potensial untuk diterapkan di sektor kehutanan. Namun, tarif pajak karbon di sektor kehutanan harus lebih tinggi dibandingkan untuk sektor PLTU batubara.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pajak Karbon akan mulai diberlakukan pada 1 Juli 2022 untuk kegiatan usaha di sektor energi, khususnya pembangkit listrik tenaga uap batubara. Apabila pemberlakuan ini sukses dilakukan, ke depan Pajak Karbon juga sangat berpotensi diterapkan di sektor kehutanan.
Profesor Riset Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haruni Krisnawati mengemukakan, saat ini sudah banyak studi yang menunjukkan potensi besar dari hutan Indonesia dalam memitigasi perubahan iklim. Potensi ini termasuk dari hutan mangrove dan gambut sebagai penyerap emisi karbon.
Di samping potensinya yang besar, hutan mangrove dan gambut juga dapat melepaskan emisi apabila terjadi kerusakan. Di sisi lain, beberapa studi menunjukkan bahwa merestorasi hutan mangrove dan gambut memiliki biaya cukup besar karena ekosistem tersebut memiliki karakteristik yang tidak cocok bagi sejumlah tanaman.
Berdasarkan studi dari Queensland University, Australia, biaya rata-rata untuk merestorasi lahan gambut di Indonesia sebesar 1.866 dollar AS per hektar dengan skenario terendah. Sementara hasil studi lainnya, biaya untuk memulihkan tutupan vegetatif dan fungsi ekologis ekosistem mangrove berkisar 225-216.000 dollar AS per hektar.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam menjaga hutan, menurut Haruni, yaitu dengan memanfaatkan program Pajak Karbon. Bahkan, penerimaan Pajak Karbon juga dapat digunakan untuk merestorasi dan memulihkan kembali ekosistem hutan yang rusak.
”Untuk tahap awal, Pajak Karbon memang diterapkan untuk sektor energi PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batubara. Akan tetapi, nantinya diberlakukan secara bertahap dan ada kemungkinan di sektor lain termasuk kehutanan,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk Pajak Karbon: Menuju Era Inovasi dan Investasi Hijau, di Jakarta, Senin (20/6/2022).
Mengingat besarnya biaya untuk merestorasi dan menjaga hutan, Haruni memandang bahwa penetapan Pajak Karbon di sektor kehutanan juga harus mencakup tarif tinggi di pasar karbon. Tarif Pajak Karbon senilai Rp 30 per kilogram setara karbon dioksida (CO2e) yang dipatok untuk PLTU batubara juga dinilai tidak sesuai untuk sektor kehutanan.
Untuk tahap awal, Pajak Karbon memang diterapkan untuk sektor energi PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batubara. Akan tetapi, nantinya diberlakukan secara bertahap dan ada kemungkinan di sektor lain termasuk kehutanan.
”Tarif Rp 30 per kilogram mungkin masih terlalu rendah dan belum layak untuk diterapkan di sektor kehutanan. Namun, kita hargai bahwa Pajak Karbon ini akan menjadi salah satu alat kontrol dalam mewujudkan sistem perpajakan berkeadilan yang tidak hanya mengubah perilaku konsumen, tetapi juga praktik buruk produsen penyumbang emisi,” tuturnya.
Pajak Karbon sebagai pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang berdampak buruk bagi lingkungan ini akan mulai berlaku pada 1 Juli 2022. Tujuan utama pengenaan Pajak Karbon bukan hanya menambah penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan juga sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai ekonomi berkelanjutan.
Penghitungan pajak karbon dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Subyek Pajak Karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung atau menghasilkan emisi karbon.
Metodologi penghitungan
Kepala Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup BRIN Nugroho Adi Sasongko mengatakan, metodologi penghitungan Pajak Karbon sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan pembaruan terkini dari metodologi yang disusun Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC). Di sisi lain, harmonisasi kebijakan dan peraturan teknis juga diperlukan untuk menyeragamkan istilah dan mekanisme lainnya.
”Kontribusi co-firing (penambahan) biomassa perlu dimasukkan juga dalam metodologi penghitungan. Sebab, biomassa dikategorikan sebagai netral karbon,” ucapnya.
Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN Raden Deden Djaenudin menekankan, metodologi pengukuran garis batas (baseline) dan pengurangan emisi gas rumah kaca perlu diperkuat. Setiap kegiatan pengurangan emisi harus memenuhi kaidah pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV).
Raden memperkirakan bahwa penerapan Pajak Karbon ke depan akan menemui sejumlah tantangan. Dari aspek sosial ekonomi, Pajak Karbon dinilai akan mendorong naiknya harga bahan bakar yang bisa menimbulkan peningkatan pengeluaran hingga efisiensi besar-besaran, termasuk mengurangi tenaga kerja.
Sementara dari aspek regulasi, perlu dukungan memadai untuk mengurangi dampak sosial penerapan Pajak Karbon. Selain itu, pengurangan emisi yang telah dibayar Pajak Karbon harus dicatat ke sistem registrasi nasional (SRN).