Penerimaan Pajak Karbon dapat Dialokasikan untuk Pemenuhan Hak Anak
Penerimaan dari pajak karbon di negara lain digunakan sebagai jaminan sosial masyarakat serta subsidi asuransi kesehatan. Contoh ini dapat diikuti Indonesia, khususnya untuk memenuhi hak anak dan kelompok rentan.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Labuan Unit 2, Pandeglang, Banten, beroperasi untuk memenuhi kebutuhan listrik wilayah Jawa, Bali, dan Madura, Rabu (18/2).
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya tingkat polusi udara hingga dampak perubahan iklim mengancam hak anak untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat. Upaya memenuhi hak anak ini di antaranya dapat dilakukan dengan mengalokasikan pajak karbon dan instrumen pembiayaan lainnya.
Direktur Program dan Sponsorsip Childfund International Indonesia Aloy Suratin mengemukakan, pajak karbon dapat dialokasikan secara inklusif untuk mengatasi dampak negatif kerusakan lingkungan pada anak dan kelompok rentan. Tujuan utama alokasi ini ialah mewujudkan prinsip kepentingan terbaik anak dan keadilan bagi semua generasi.
”Dampak dari emisi karbon memang cukup kompleks sehingga mengatasi perubahan iklim selama ini lebih pada upaya dari aspek penyebab. Tanpa mengabaikan kompleksitas ini, Childfund mendorong bahwa apa pun pendekatan yang dilakukan tetap harus memprioritaskan kepentingan anak,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Polusi Udara dan Pemenuhan Hak Anak”, Rabu (13/4/2022).
Isu polusi dan perlindungan anak tidak terlepas dari komitmen Indonesia dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.
Menurut Aloy, pajak karbon adalah instrumen kebijakan yang bersifat luas sehingga peruntukannya sangat dimungkinkan untuk perlindungan hak anak. Distribusi pajak karbon juga dipandang dapat digunakan sebagai mekanisme insentif untuk menumbuhkan inovasi guna mengatasi dampak negatif polusi udara pada kesehatan anak.
Aloy mencontohkan, penerimaan dari pajak karbon di Irlandia dan Swiss digunakan sebagai jaminan sosial masyarakat serta subsidi asuransi kesehatan. Sementara di Australia, pajak karbon dialokasikan untuk bantuan rumah tangga berpenghasilan rendah dan lapangan kerja. Contoh ini menunjukkan bahwa penerimaan pajak karbon dapat dialokasikan untuk beragam kebutuhan, tetapi dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan kondisi di setiap negara.
Selain itu, pajak karbon juga perlu didefinisikan secara inklusif dengan mengintegrasikan konsep hak anak. Meski pajak karbon dilaksanakan dengan prinsip keadilan untuk semua, tetapi konsep hak anak tetap perlu menjadi satu definisi khusus.
Merujuk pada definisi parsial, pajak karbon adalah instrumen pembiayaan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sesuai target dokumen kontribusi nasional (NDC). Namun, definisi ini dinilai Aloy dapat dikembangkan dengan menyisipkan inklusivitas tujuan.
Melalui penyisipan ini, pajak karbon dapat didefinisikan sebagai instrumen pembiayaan untuk mencapai target penurunan emisi dan perlindungan sosial bagi kelompok terdampak negatif akibat polusi udara. Perlindungan sosial ini bertujuan untuk mengoptimalkan bonus demografi dan perwujudan prinsip kepentingan terbaik anak sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
”Pasar karbon akan efektif jika memenuhi prinsip pertama, yakni fairness atau keadilan sesuai dengan yang dikeluarkan Bank Dunia. Bila perempuan hamil dan anak terpapar polusi udara, dampak dan keadilan bagi mereka perlu dipastikan,” ucapnya.
Implementasi pajak karbon
Peneliti Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto mengatakan, isu polusi dan perlindungan anak tidak terlepas dari komitmen Indonesia dalam menanggulangi dampak perubahan iklim. Sebab, polusi dan perubahan iklim berkaitan erat dengan emisi karbon yang terlepas ke atmosfer.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pasokan batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (11/10/2021).
Pajak karbon awalnya akan mulai diberlakukan pada 1 April 2022 untuk kegiatan usaha di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara.Pokok pengaturan pajak karbon diatur dalam UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Secara umum, pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Namun, rencana penerapan pajak karbon ini diundur menjadi 1 Juli 2022. Pemerintah menyatakan, penundaan ini untuk mematangkan peraturan sehingga lebih komprehensif dan selaras dengan peraturan sejenis lainnya (Kompas.id, 30 Maret 2022).
Joko menjelaskan, penerimaan dari pajak karbon diprioritaskan untuk penguatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, belanja sosial, serta kegiatan lain yang bersifat pelayanan dasar. Pajak karbon ini tidak diterapkan langsung dan seketika karena memiliki peta jalan.
Tarif paling rendah pajak karbon yang ditetapkan ialah Rp 30 per kilogram setara karbon dioksida (kgCO2e) atau Rp 30.000 per ton CO2e. Namun, tarif pajak karbon Rp 30 kgCO2e merupakan tarif perkenalan pertama dan terbatas dikenai terhadap kegiatan usaha yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
”Tarif pajak karbon diupayakan akan selalu lebih mahal dari harga karbon sehingga orang terdorong masuk ke pasar karbon. Hal ini juga sekaligus akan diselaraskan untuk meningkatkan kualitas program dalam pemanfaatan pendanaan dari pajak karbon yang diserahkan pada sektoral,” ucapnya.