Pengesahan pembaruan KUHP Indonesia memang telah lama tertunda, tetapi jangan mengorbankan kualitas. DPR dan pemerintah harus sepenuhnya bersikap terbuka, selain membuka proses perumusan draf final kepada publik.
Oleh
EVA KUSUMA SUNDARI
·4 menit baca
Hampir seperempat abad berlalu, sejak masyarakat Indonesia mengakhiri kediktatoran Soeharto dan memulai transisi demokrasi yang secara unik, sukses di Asia Tenggara. Sayangnya, Indonesia kini menghadapi risiko kemunduran besar dalam hal kebebasan fundamental melalui usulan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jika draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini akhirnya disetujui, sejumlah hak privasi dan kebebasan berekspresi bagi masyarakat Indonesia, dan kelompok minoritas agama ataupun seksual, akan rentan mengalami risiko tercabut, bahkan dikriminalisasi.
24 ketentuan bermasalah
Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, draf RUU KUHP memuat 24 ketentuan bermasalah, mulai dari tindak pidana penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, kriminalisasi hubungan seks di luar nikah dan kohabitasi, hingga terkait penodaan agama.
Pengesahan pembaruan KUHP Indonesia memang telah lama tertunda, tetapi jangan mengorbankan kualitas. DPR dan pemerintah harus sepenuhnya bersikap terbuka (open minded and hearts), selain membuka proses perumusan draf final kepada publik yang prodemokrasi. UU KUHP yang baru kelak tak akan mudah untuk diamendemen sehingga setiap perubahan yang dilakukan saat ini tentu akan memiliki dampak jangka panjang.
Proses perubahannya sejauh ini pun sangat berliku-liku. Dimulai lebih dari dua dekade lalu. Draf RKUHP akhirnya selesai September 2019, dan diharapkan disahkan pada tahun itu juga. Publik masih ingat adanya gerakan masif menentang pengesahan RKUHP di seluruh penjuru negeri yang memakan lima korban meninggal.
Meski demikian, RKUHP tetap diserahkan kepada DPR pada tahun yang sama untuk dibahas, tetapi mandek di DPR pada tahun itu juga. Akhir Mei 2022, pemerintah dan DPR mendiskusikan perubahan sejumlah ketentuan bermasalah yang termuat di RKUHP, dan sepakat menindaklanjuti proses pembentukan UU tanpa membahas kembali semua materi RUU.
Panitia kerja yang bertugas merancang perubahan KUHP telah menyelesaikan tahap penyusunan draf RUU secara tertutup, tanpa berkonsultasi dengan masyarakat sipil atau bahkan dengan anggota parlemen yang baru, dengan alasan draf KUHP ”telah disetujui panitia kerja di periode lalu”.
Pemerintah dan DPR berargumen, RKUHP adalah RUU carry-over, dan tiba-tiba menunjukkan ketergesaan, setelah sekian lama tak dikerjakan. Manuver-manuver itu digambarkan Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebagai ”gejala otoritarianisme”.
Meski terdapat klaim dari pemerintah bahwa 14 ketentuan yang tak dikehendaki telah diubah, ketentuan-ketentuan itu tetap berpotensi diskriminatif pada titik tertentu karena memuat hukuman yang berlebihan, dan umumnya merusak prinsip-prinsip demokrasi.
Paling bermasalah
Salah satu aspek RKUHP yang paling bermasalah adalah pasal penodaan agama. Human Rights Watch menegaskan, RKUHP memperluas UU Penodaan Agama tahun 1965 dan meningkatkan jumlah ”elemen kejahatan” dalam rumusannya, seperti penistaan terhadap artefak keagamaan.
Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat kasus penodaan agama meroket beberapa tahun terakhir. Menurut YLBHI, terdapat 38 kasus penodaan agama antara Januari-Mei 2020, sedangkan Setara Institute mencatat hanya enam kasus pada 2014.
Kelompok minoritas agama, seperti Syiah, Ahmadiyah, Baha’i, atau Saksi Yehuwa, kerap jadi korban utama UU Penodaan Agama dengan proses hukum yang sering diprakarsai oleh tekanan publik. Ironisnya, sejumlah pihak yang didakwa atas penodaan agama adalah anak di bawah umur.
Pastikan hukum memang dirancang untuk melindungi mereka yang lemah, bukan justru memersekusi mereka.
Ketika kelompok Islamis semakin diterima—istilah yang oleh beberapa ahli disebut sebagai conservative turn di Indonesia—yang paling tidak dibutuhkan negara ini sekarang adalah jangan memperluas cakupan UU Penodaan Agama. Jika pemerintah serius dalam melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi setiap rakyatnya, sebaiknya UU itu dicabut, jangan justru dikuatkan di RKUHP.
Komunitas LGBTIQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex, and questioning) pun tak lebih baik. Hukuman terhadap seks di luar nikah dan kohabitasi berpotensi dapat digunakan kepada pasangan homoseksual yang tidak memiliki hak untuk menikah, sementara kriminalisasi ”pencabulan” di depan umum juga bisa digunakan untuk menargetkan kelompok LGBTIQ.
Selain itu, beberapa ketentuan baru RKUHP dapat secara drastis membatasi ruang untuk debat politik. Salah satu pasal di RKUHP memidanakan perbuatan ”menyerang kehormatan atau martabat diri Presiden dan Wakil Presiden”.
Pasal bermasalah lain termasuk pidana penjara akibat ”menyebarkan ajaran Marxisme-Leninisme” atau mengadakan hubungan dengan organisasi yang menganut ajaran itu ”dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah”.
Revisi KUHP adalah proyek hukum besar yang sejatinya akan memengaruhi seluruh masyarakat Indonesia.
Jika negara ingin tetap berada di jalur demokrasi yang dipilih Reformasi 24 tahun lalu, sudah sepatutnya pemerintah dan DPR membuka kembali pembahasan RKUHP dan mendengarkan dengan perhatian khusus dan tulus mereka yang paling terkena dampak negatif RKUHP, terutama minoritas agama dan perempuan. Pastikan hukum memang dirancang untuk melindungi mereka yang lemah, bukan justru memersekusi mereka.
Eva Kusuma Sundari, Anggota Board ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), dan Baleg DPR RI 2004-2019