Menguji Tingkat Presisi Polri
Polri sebagai komponen utama keamanan negara punya peran sangat strategis. Bukan hanya sebagai instrumen penegakan hukum yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Juga menopang legitimasi pemerintahan.
Setelah 20 tahun sejak lahirnya reformasi Polri yang ditandai dengan lahirnya UU Polri, transformasi Polri kini berada dalam tahap strive for excellent dari Grand Strategy Polri yang diwujudkan dalam tagline Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan).
Di masa kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat ini, Polri berupaya untuk mewujudkan Polri yang excellent di era revolusi industri 4.0 dengan mengusung 16 program prioritas. Komitmen ini memberi sebuah janji atau harapan kepada masyarakat bahwa Polri telah bertransformasi dan bebenah diri untuk semakin berkapasitas, tepercaya, dan meraih kepuasan publik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hanya saja, menjelang peringatan HUT Ke-76 Polri, Korps Bhayangkara ini justru mendapatkan rapot yang cukup mencemaskan. Berdasarkan publikasi hasil survei Litbang Kompas pada 20 Juni 2022, apresiasi publik pada citra Polri berada di angka 65,7 persen pada Juni 2022. Angka ini menurun 9,1 persen dari Januari 2022 sebesar 74,8 persen. Menurut catatan Kompas, angka ini tercatat juga paling rendah bagi Korps Bhayangkara itu selama lebih dari lima tahun terakhir ini.
Baca juga:
Korupsi Membayangi Kinerja Penegakan Hukum
Survei Litbang ”Kompas”: Gejolak Politik Mengikis Apresiasi Publik
Memang benar bahwa Polri berbagi persentase dengan KPK sebagai unsur penegak hukum yang mengalami penurunan apresiasi publik cukup serius, yaitu 57 persen. Di bidang hukum ini ketidakpuasan tertinggi terjadi dalam hal pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum (44,7 persen)—yang itu adalah domain tugas kepolisian—serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (43,2persen) yang merupakan domain KPK.
Implikasinya tidak sesederhana itu. Kemerosotan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum ini ternyata berdampak signifikan terhadap persepsi dan tingkat kepuasan publik kepada pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam masalah penegakan hukum dan keamanan. Pada Survei Litbang Kompas Januari 2022 keyakinan publik masih sebesar 70,5 persen. Namun, pada survei Juni turun menjadi 63,5 persen.
Slogan Presisi pada kenyataannya belum berjalan sesuai harapan. Dalam satu tahun terakhir, misalnya, kinerja institusi kepolisian mendapatkan cukup banyak tanda tanya dari publik, yang notabene akar permasalahannya justru berasal dari internal polisi sendiri.
Kita mungkin ingat dengan tagar #PercumaLaporPolisi di media sosial pada Oktober 2021. Perlu dicatat, munculnya tagar-tagar sejenis dalam periode beberapa bulan setelahnya merupakan respons atau ekspresi kekecewaan dan kritik masyarakat atas kerja-kerja Polri yang dianggap tidak serius, akuntabel, transparan, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Benar bahwa kasus-kasus tersebut dilakukan oleh oknum Polri dan pihak kepolisian pun dengan tanggap melakukan tindakan tegas kepada semua pelakunya. Persoalannya, apa yang masyarakat pahami sebagai ”oknum” ternyata bukan hanya satu atau dua, melainkan ribuan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut Polri adalah institusi yang paling sering diadukan sepanjang Januari hingga September 2021.
Hal tersebut tampak dari data Divisi Bidang Profesi dan Pengamanan Mabes Polri yang menyebut setidaknya ada 1.694 kasus yang termasuk dalam pelanggaran disiplin, ditambah 803 kasus terkait kode etik, dan 147 kasus pidana dari Januari sampai Oktober 2021. Sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut Polri adalah institusi yang paling sering diadukan sepanjang Januari hingga September 2021. (https://tirto.id/gmHS)
Persoalannya lagi, runtutan kasus ini tidak hanya berhenti sampai di sana. Belakangan, publik menyaksikan dengan perasaan heran kasus Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno yang ternyata masih berstatus sebagai anggota kepolisian meski sudah pernah terjerat kasus korupsi dan dipenjara selama 2017-2022. Bahkan, yang bersangkutan masih menduduki posisi sebagai Penyidik Madya Dittipidsiber Bareksrim Polri. (Kompas.com)
Berbagai persoalan yang melibatkan oknum anggota Polri banyak menghiasi media, mulai dari tindakan kekerasan, kriminalisasi, hingga pelecehan seksual. Meski saat ini—seperti biasa—pihak kepolisian sudah berkomitmen untuk mengusut tuntas banyak persoalan dengan membentuk tim pencari fakta atau sejenisnya, peristiwa yang berulang seperti ini jelas menyalahi rasionalitas publik.
Kontrol publik
Dalam sistem demokrasi, rasionalitas publik adalah medan paling obyektif untuk mengukur efektivitas sebuah kebijakan, bahkan dalam kondisi paling darurat sekalipun. Ketika demokrasi sudah menjadi sistem nilai yang disepakati (civic virtue), masyarakat umumnya mengedepankan rasionalitas dan memiliki standar pemahaman yang sama atas cara kerja pemerintahan (Lucien W Pye: 1965). Maka, tidak mengherankan apabila kebijakan ataupun tindakan yang keluar dari koridor yang dipahami dan disepakati bersama ini menuai kritik dari publik.
Dalam kerangka kerja negara demokrasi, langkah dan kebijakan yang diambil oleh setiap lembaga publik memang dituntut untuk selalu bisa dipahami. Dengan demikian, publik dapat memverifikasi dan mengontrol pemerintahan agar tidak mengalami abuse of power. Keluarnya pemerintah dari koridor kewajaran ini akan dicurigai sebab sebagaimana Hannah Arent nyatakan, ”tidak ada kategori legal tradisional, moral, atau akal sehat utilitarian yang dapat membantu kita menyesuaikan diri dengan, atau menilai, atau memprediksi langkah tindakan mereka (pemerintah) selanjutnya” (Hannah Arent; 1973).
Dalam kerangka kerja negara demokrasi, langkah dan kebijakan yang diambil oleh setiap lembaga publik memang dituntut untuk selalu bisa dipahami.
Menurut Habermas, sistem politik memerlukan pasokan (input) berupa kesetiaan massa seluas mungkin. Produknya berupa keputusan administratif yang ditetapkan dengan tegas. Krisis produk terjadi dalam bentuk krisis rasionalitas, di mana sistem administratif tidak berhasil mendamaikan dan memenuhi tuntutan yang diterimanya (Jurgen Hebermas, 2004).
Inilah sejatinya yang tecermin dari hasil sejumlah lembaga survei yang dipublikasi beberapa pekan terakhir. Di mana logika kekuasaan dan politik berbenturan satu sama lain dengan pengetahuan dan hukum positif.
Tidak adanya integrasi yang solid antara pengetahuan, keputusan politik dan hukum itu akhirnya melahirkan krisis rasionalitas dalam diri masyarakat sehingga tingkat kepuasan publik kepada institusi Polri menurun hampir dua digit hanya dalam setahun. Dan, ini berdampak cukup signifikan terhadap tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Amin.
Persoalannya kemudian bisa lebih serius apabila akar masalah ini tidak segera ditanggulangi. Sebab, krisis rasionalitas yang berlarut biasanya akan menyeret sebuah pemerintahan ke arah krisis legitimasi. Masalah legitimasi dalam masyarakat modern bisa muncul ketika tidak dijaminnya lagi suatu ekuivalensi dan kemapanan dunia karena perpecahan antara kekuasaan, pengetahuan, dan hukum. Akibatnya, tidak ada hukum yang dapat dipastikan atau dijadikan sebagai acuan (Laclau-Moufee, 1999). Situasi inilah yang paling berbahaya.
Dengan kata lain, Polri sebagai komponen utama keamanan negara memiliki peran yang sangat strategis. Tidak hanya sebagai instrumen penegakan hukum yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, tetapi juga menopang legitimasi pemerintahan dan negara. Inilah yang harus segera disadari oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan negara.
Baca juga: Rejuvenasi Reformasi Polri
Terlebih saat ini di saat dinamika lingkungan strategis global, regional, dan nasional sedang tidak menentu. Banyak negara dunia—bahkan negara maju—yang sudah ikut merasakan dampaknya, mulai dari kelangkaan pangan, krisis energi, resesi ekonomi, hingga konflik terbuka antarnegara. Ditambah lagi pada 14 Juni 2022 KPU sudah memulai kick-off tahapan Pemilu 2024. Itu artinya, tahun-tahun politik sudah dimulai dan dinamika perebutan kekuasaan akan segera terasa.
Gugus fakta ini—disadari atau tidak—pasti melahirkan sejumlah variabel fundamental untuk terbentuknya suatu dinamika keamanan dalam negeri. Faktor-faktor fundamental ini biasanya menjadi aktual saat bertemu dengan variabel pemicu (katalis), seperti buruknya sistem penegakan hukum, instabilitas politik dan ekonomi, serta provokasi politik. Apabila institusi penegak hukum tidak siap, terbuai dengan kekuasaan, atau bahkan terjerumus di dalamnya—alih-laih kehilangan marwahnya—maka ini bisa saja berujung bencana politik yang serius, dan kita semua tentu tidak ingin itu terjadi.
Maka, dalam nuansa peringatan HUT Ke-76 Bhayangkara ini, penting bagi semua pihak—khususnya pemerintah, DPR, dan masyarakat—untuk memikirkan kembali formulasi terbaik, baik dalam hal kebijakan, kewenangan, maupun kedudukannya, dalam menyempurnakan komponen utama keamanan negara dan penegak hukum ini agar mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara lebih ”Presisi”.
Dirgahayu Polri.
David Hartadi Tenggara, Tenaga Ahli Komisi III DPR