Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi–Amin di bidang penegakan hukum berada di titik kritis. Pemberantasan korupsi, suap, dan jual beli kasus hukum paling banyak membuat publik kecewa.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Pengusaha Samin Tan menuju mobil tahanan seusai diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Senin (12/4/2021). Samin merupakan tersangka kasus suap kepada bekas anggota DPR, Eni Maulani Saragih, dalam pengurusan terminasi kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara PT Asmin Koalindo Tuhup di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, pada Juni 2022, Samin Tan divonis bebas oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi.
Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam bidang penegakan hukum berada di titik kritis. Pemberantasan korupsi, suap, dan kasus jual beli hukum menjadi yang paling banyak dikecewakan publik.
Menurunnya tingkat kepuasan publik di bidang hukum ini tampak dari hasil survei Kompas, Juni ini. Tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Amin di bidang penegakan hukum berada di kisaran 57,5 persen. Angka ini mengalami penurunan cukup dalam, yakni sebesar 8,4 persen, dibandingkan dengan masa survei Januari 2022.
Dalam rentang waktu satu setengah tahun terakhir, capaian pemerintah di bidang penegakan hukum kali ini menjadi yang paling rendah. Sebelumnya, tingkat kepuasan ini pernah turun 5 persen pada pengukuran Oktober 2021. Namun, apresiasi kinerja penegakan hukum kembali menguat pada survei Januari 2022.
Dilihat lebih dalam, penurunan ini merata terjadi di tiap aspek kinerja bidang penegakan hukum. Penurunan paling signifikan terlihat dalam aspek pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tingkat kepuasan hanya tersisa di angka 50 persen. Angka ini mengalami penurunan 13 persen dibandingkan dengan capaian pada survei Januari lalu. Penurunan ini juga tercatat paling tajam dibandingkan dengan penurunan yang dialami pada aspek lainnya di bidang penegakan hukum.
Tingginya penurunan di aspek pemberantasan kasus korupsi ini tidak lepas isu yang mengiringinya saat survei ini digelar. Salah satunya adalah kasus mafia minyak goreng yang kemudian menjerat pejabat Kementerian Perdagangan. Kasus ini tentu berdampak langsung pada masyarakat. Hal ini mengingat dampaknya pada kelangkaan minyak goreng pada periode April sampai Mei lalu.
Rendahnya tingkat kepuasan terhadap pemberantasan korupsi ini justru dijawab dengan keputusan yang memantik kontroversi. Sebut saja kasus yang menjerat aparat hukum seperti halnya yang dialami Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno yang tak dipecat dari kepolisian walau pernah mendekam di penjara akibat kasus korupsi. Untungnya, Polri kemudian segera meninjau kembali keputusan tersebut setelah disorot publik.
Aspek lain yang juga mengalami penurunan apresiasi secara drastis adalah penuntasan kasus hukum. Pada survei kali ini, aspek tersebut mengalami penurunan sebesar 12 persen. Meskipun sedikit lebih baik dibandingkan dengan titik terendahnya pada Januari 2020, anjloknya kepuasan publik ini tetap harus menjadi alarm bagi pemerintah.
Ketidakpuasan soal penuntasan kasus hukum ini juga dibarengi dengan menurunnya rasa keadilan di tengah masyarakat. Hal ini tecermin dari menurunnya tingkat kepuasan publik pada aspek jaminan perlakuan yang sama oleh aparat hukum kepada semua warga. Selama enam bulan terakhir, kinerja pada aspek ini mengalami penurunan tingkat kepuasan sebesar 7 poin dari 62 persen menjadi 55 persen.
Rendahnya kepuasan masyarakat ini bisa jadi imbas dari aparat penegak hukum yang dinilai lamban dalam menyelesaikan kasus hukum. Hingga kini, tagar ”No Viral No Justice” atau ”Percuma Lapor Polisi”, yang sempat ramai setahun silam, masih saja digunakan dalam unggahan di berbagai kanal media sosial. Artinya, asumsi bahwa kejahatan tak ditindak sebelum viral di media sosial masih melekat di benak masyarkat.
Suap
Selain aspek pemberantasan korupsi dan penuntasan kasus hukum, aspek lain yang cukup mengganjal kepuasan masyarakat dalam menilai kinerja pemerintahan Jokowi-Amin di bidang penegakan hukum ini adalah soal pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum. Dalam survei Juni 2022, tingkat kepuasan publik pada aspek ini hanya tersisa 41,4 persen. Aspek pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum ini juga tercatat paling rendah apresiasinya dibandingkan dengan aspek lainnya di bidang hukum.
Sama halnya dengan kasus korupsi, ketidakpuasan publik ini juga dijawab dengan putusan kontroversial oleh lembaga yudikatif. Tentu belum hilang dari ingatan publik bagaimana Samin Tan yang sebelumnya didakwa memberi suap kepada bekas anggota DPR, Eni Maulani Saragih, kini melenggang bebas setelah diberikan putusan bebas oleh Mahkamah Agung. Sekali lagi, rasa keadilan publik tercederai.
Aspek terakhir yang juga dinilai kritis oleh publik dalam bidang kerja penegakan hukum ialah penuntasan kasus-kasus kekerasan oleh aparat dan pelanggaran HAM. Pada survei kali ini, hanya separuh responden (53,7 persen) yang mengaku puas dengan kinerja pemerintah dalam aspek tersebut. Angka ini juga menurun 9 persen dibandingkan dengan survei Januari lalu.
Menteri Perdagangan M Lutfi mendukung proses hukum Kejaksaan Agung dalam mengusut dugaan gratifikasi izin ekspor minyak goreng dengan tersangka Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardana.
Merosotnya kepuasan dalam aspek ini menunjukkan kegelisahan publik yang menilai penuntasan kasus HAM yang stagnan. Meski masuk ke dalam Program Nawacita yang digaungkan sejak periode pertama Jokowi, pemerintah masih tampak enggan menyelesaikan berbagai utang kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menumpuk ini.
Alih-alih tuntas, kegelisahan masyarakat ini justru dijawab oleh pemerintah dengan berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM lain yang hingga tahun ini masih terjadi. Tak tertutup kemungkinan bahwa kasus kekerasan aparat dan dugaan pelanggaran HAM masih terus berulang sampai saat ini. Sebut saja kasus kekerasan aparat di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, yang memanas pada awal tahun ini yang disinyalir turut memengaruhi persepsi publik pada kinerja bidang hukum.
Citra menurun
Tidak heran jika kemudian rendahnya tingkat kepuasan publik pada kinerja pemerintah di bidang hukum ini juga diikuti dengan kekecewaan mereka pada kinerja institusi lembaga hukum terkait. Pada survei kali ini, tampak semua lembaga hukum menurun citranya di mata publik.
Isu korupsi yang memberikan konstribusi besar pada anjloknya apresiasi publik pada kinerja pemerintah di bidang hukum membuat citra KPK pun anjlok. Dalam survei Juni ini, citra KPK hanya berada di angka 57 persen. Ini apresiasi paling rendah dari publik kepada KPK sepanjang survei Kompas sejak Januari 2015.
Sama dengan yang terjadi pada KPK, meningkatnya kekecewaan dalam penuntasan kasus hukum juga berimbas pada apresiasi publik pada citra Polri. Dibandingkan dengan masa survei Januari lalu, citra polisi dalam survei Juni ini hanya berada di angka 65,7 persen atau menurun 9,1 poin dibandingkan dengan survei Januari lalu. Angka ini tercatat juga paling rendah selama lebih dari lima tahun terakhir ini.
Kondisi serupa dialami Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang citranya sama-sama merosot sebesar 11 persen. Hal yang sama juga terjadi pada citra Mahkamah Konstitusi yang menurun sebesar 15 persen. Proses hukum yang melibatkan hampir semua lembaga hukum, sesuai tingkatan proses hukum, sedikit banyak memberikan insentif pada persepsi publik untuk ”memukul rata” penilaian mereka pada lembaga hukum.
Hal ini menjadi sinyal bahwa kepercayaan publik pada penegakan hukum di negeri ini sedang menurun. Tingginya kekecewaan publik pada penuntasan kasus korupsi memberikan alarm bagi penegak hukum untuk tidak bermain-main dengan proses penegakan hukum. Komitmen penuh pada upaya pemberantasan korupsi menjadi pintu untuk memperkuat kembali kepercayaan publik pada agenda penegakan hukum di negeri ini.