Survei Litbang ”Kompas”: Gejolak Politik Mengikis Apresiasi Publik
Situasi politik yang menghangat di tengah gejolak kenaikan harga meningkatkan ketidakpuasan publik pada pemerintah. Pemerintah perlu lebih bijak mengelola isu-isu strategis yang bisa memengaruhi psikologi masyarakat.
Oleh
ANDREAS YOGA PRASETYO
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjawab pertanyaan wartawan seusai dilantik menjadi Presiden-Wakil Presiden dalam Sidang Umum MPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019).
Meningkatnya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah di bidang politik dan keamanan tergambar dari hasil survei Kompas Juni 2022. Secara umum, tingkat kepuasan publik di bidang polkam tercatat 73,1 persen atau turun 4,5 persen dibandingkan dengan Januari 2022 (77,6 persen), tetapi lebih tinggi daripada Oktober 2021 (70,8 persen).
Dilihat dari hasil survei sepanjang periode kedua pemerintahan Joko Widodo, angka penilaian kinerja polkam kali ini sebenarnya masih tergolong ”lumayan”. Angka saat ini bahkan sama dengan penilaian publik pada Januari 2015 saat triwulan pemerintahan dinilai masih dalam masa ”euforia” pemilu presiden (pilpres) dan lebih tinggi daripada penilaian pada Maret-Oktober 2019.
Meski tergolong lumayan, tingkat penurunan patut menjadi perhatian karena menyentuh aspek mendasar dan terjadi di banyak lini. Hal ini mengindikasikan, dalam lima bulan terakhir, pemerintah belum sepenuhnya mampu mengendalikan persoalan polkam di masyarakat.
Aspek yang menurun tajam di antaranya pengendalian konflik-separatisme (turun 11 persen); menjamin kebebasan berpendapat (turun 8 persen); menjamin rasa aman dari kejahatan (turun 6 persen); dan membuka partisipasi masyarakat (turun 6 persen). Hanya aspek kinerja pemerintah dalam membangun sikap menghargai perbedaan yang relatif tetap diapresiasi (turun 2 persen).
Dalam perspektif media sosial, penurunan apresiasi terhadap kinerja politik hukum itu juga terpantau senada.
Di era penyerapan informasi masyarakat melalui teknologi digital, setiap detik persoalan politik segera terekspos di media sosial. Ambil contoh gejolak politik terkait isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Polemik yang muncul pada Maret 2022 itu segera memicu kegaduhan di masyarakat. Terbukti ada perdebatan hangat terkait dengan sikap pro-kontra dan mahasiswa segera bereaksi. Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) salah satunya yang melakukan unjuk rasa besar-besaran pada 28 Maret 2022 dan 11 April 2022.
Ini jadi gambaran munculnya ”batas toleransi” publik terhadap kecenderungan kekuasaan pemerintah yang ditopang koalisi mayoritas di parlemen. Jika dalam periode sebelumnya dominasi ini ”ditoleransi” dalam upaya stabilisasi pemerintahan di tengah keterbelahan masyarakat, kini dipandang sebagai intensi yang tak relevan lagi dengan aras publik.
Keamanan
Pada aspek penanganan konflik-separatisme, tuntutan perbaikan kinerja pemerintah dihadapkan pada terus berulangnya kekerasan di Papua. Kelompok kriminal bersenjata (KKB) masih terus menebar teror. Hingga 12 April 2022, setidaknya sudah delapan kali serangan dilakukan KKB mengakibatkan 6 prajurit TNI dan 10 warga meninggal.
Selain Papua, teror keamanan juga muncul di Aceh, 12 Mei 2022. Kasus terakhir ialah penembakan warga Aceh Besar yang menewaskan dua orang. Sebelumnya, Komandan Badan Intelijen Strategis Pidie juga tewas ditembak pada November 2021. Gejolak keamanan dan rentetan kemelut politik terbukti dapat menjadi bola liar yang mengganggu penilaian kinerja pemerintah.
Ada tiga hal yang perlu dicermati pemerintah untuk meminimalkan munculnya gejolak politik. Pertama, tensi politik yang menghangat menjelang Pemilu 2024 berpotensi memicu konflik akibat keterbelahan masyarakat akan pilihan politik. Kedua, fokus kerja pemerintah yang bakal terpecah oleh isu politik, terutama koalisi parpol dan pencalonan presiden. Dan, ketiga, adanya persoalan di luar politik yang masih berkecamuk di masyarakat, yaitu masalah kenaikan harga barang-barang.
Kebebasan berpendapat
Pada aspek kebebasan berpendapat yang dinilai menurun bisa dilacak dari sejumlah kasus menonjol lima bulan terakhir. Unjuk rasa menjadi titik pelampiasan masyarakat yang merasa tidak banyak didengarkan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Jejak pembahasan undang-undang strategis bagi pemerintah, seperti UU Cipta Kerja dan UU Ibu Kota Negara (IKN), minim pelibatan masyarakat karena begitu cepatnya proses pembahasannya. Bahkan, UU Cipta Kerja kemudian dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun UU IKN kini tengah diuji konstitusionalitasnya menyusul banyaknya gugatan dari sejumlah kelompok masyarakat atas UU tersebut.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, sebelum menyampaikan pidato kemenangan di Kampung Deret, Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
Tuntutan pelibatan pengawasan publik juga mengemuka saat pemerintah mulai mengisi penjabat kepala daerah sebagai pengganti kepala/wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sebelum pemilihan kepala daerah serentak nasional 2024. Penunjukan penjabat kepala daerah pada Mei menyisakan polemik, seperti penunjukan tokoh berlatar militer hingga ditolaknya usulan penjabat yang ditunjuk pemerintah pusat oleh daerah.
Turunnya apresiasi tersebut sejalan juga dengan melemahnya Indeks Kebebasan Pers di Indonesia dari 62,60 pada 2021 menjadi 49,27 pada 2022. Hasil pemeringkatan yang disusun lembaga Reporters Without Borders (RSF) ini menunjukkan komitmen Presiden Jokowi yang belum sepenuhnya berpihak pada kebebasan pers, khususnya di Papua. Di tempat lain, jurnalis juga menghadapi aksi premanisme yang meneror para pekerja media.
Dengan berbagai kondisi ini, terhambatnya kesempatan masyarakat untuk mengawal jalannya pemerintahan dapat dilihat sebagai bagian dari dominannya kekuasaan pemerintah. Kuatnya peran pemerintah dan koalisi pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Ma’ruf Amin di parlemen sedikit banyak mulai menutup akses terhadap partisipasi warga.
Karena itu, tidak ada cara lain bagi pemerintah untuk mengembalikan dukungan publik selain merespons cepat setiap gejolak yang terjadi di masyarakat. Pemerintah perlu menunjukkan diri dengan cepat menangani isu yang muncul demi mencapai target pembangunan strategis yang sudah dicanangkan.