”Bersih-bersih” untuk penyegaran kembali (”rejuvenation”) reformasi Polri kini bukan subyek baru. Wacana dan programnya sudah bergulir sejak awal masa Reformasi 1999.
Oleh
Azyumardi Azra
·4 menit baca
Reformasi Polri. Presiden Joko Widodo; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; serta banyak aktivis demokrasi, HAM, dan masyarakat sipil menyerukan perlunya reformasi Polri. Urgensi itu muncul secara kuat terkait kasus besar menghebohkan di dalam ataupun luar negeri, yaitu pembunuhan Brigadir J yang melibatkan langsung Inspektur Jenderal FS yang sudah menjadi tersangka beserta empat orang lagi (PC, istri FS; dua anggota Polri; dan satu sipil).
Tak kurang 83 personel Polri diperiksa; setidaknya 35 orang terbukti melakukan ”pelanggaran kode etik”, dan 24 orang di antara mereka dicopot dari jabatan masing-masing terkait kasus pembunuhan Brigadir J.
Presiden Jokowi dalam wawancara dengan harian Kompas (15/8/2022) menekankan urgensi penuntasan pengungkapan kasus tewasnya Brigadir J. Presiden sangat memperhatikan kasus ini; sampai empat kali menanggapi. Intinya, rekayasa pembunuhan dan jaringan Irjen FS harus diungkap sampai pengadilan. Presiden Jokowi menegaskan, ”(Pengungkapan kasus) Ini menjadi momentum untuk membangun kembali kepercayaan publik. Jangan sampai momentum ini dilewatkan begitu saja, yaitu reformasi Polri, untuk memperbaiki sistem selama ini.”
Tidak terlalu jelas apa yang dimaksudkan Presiden Jokowi dengan ”reformasi Polri”. Namun, yang terpenting adalah Presiden memandang perlu reformasi Polri. Tak kurang signifikan, Presiden menyatakan ada sistem yang salah atau tidak sesuai di dalam Polri yang memerlukan reformasi.
Masalah pokok yang terungkap antara lain struktur-ekstra satuan tugas khusus pimpinan bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Irjen FS sebelum dia dijadikan tersangka. Sangat berkuasa seolah dalam ”kerajaan” sendiri, Irjen FS disebut ”Kaisar Sambo” bergerak tanpa kontrol di dalam Polri.
”Bersih-bersih” untuk penyegaran kembali (rejuvenation) reformasi Polri kini bukan subyek baru. Wacana dan programnya sudah bergulir sejak awal masa Reformasi 1999. Reformasi bermula dengan pemisahan Polri dari Tentara Nasional Republik Indonesia—mulai dengan Instruksi Presiden (BJ Habibie) Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah Pemisahan TNI dan Polri. Langkah ini dikuatkan dengan Ketetapan MPR VI/MPR/2000, yang kemudian dikunci dengan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
UU No 2/2002 ini sering disebut menjadi dasar reformasi Polri agar selaras dengan paradigma perubahan politik demokratis yang menghormati kebebasan beraspirasi, hak asasi manusia, dan lingkungan kewargaan dengan supremasi sipil. UU itu juga mengatur pembinaan dan kode etik profesi agar kebijakan dan tindakan aparat Polri dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, moral, etika, dan HAM.
Namun, dalam perjalanan 20 tahun, banyak kalangan, khususnya aktivis demokrasi, HAM, dan anggota Komisi III DPR, menilai perlunya revisi UU No 2/2002. UU ini dipandang tidak memadai untuk mengembangkan Polri yang kredibel dan akuntabel secara internal dan eksternal dalam lingkungan politik, sosial, budaya, agama, lingkungan hidup, dan kewilayahan lebih luas. Juga tak kuat untuk menjadikan Polri organisasi sipil dengan civilian police yang lebih human—tidak militeristis. Meski pihak terkait (Polri, pemerintah, dan DPR) sudah berusaha melakukan revisi UU No 2/2002, sejauh ini belum terlihat hasil konkretnya.
Dua dasawarsa setelah UU No 2/2022, Polri terlihat bukan semakin reformatif dan mengikuti paradigma reformasi politik, demokrasi, kebebasan berekspresi, penghormatan pada HAM, dan hak sipil. Dari tahun ke tahun, aparat Polri melakukan pemberangusan ekspresi demokrasi atau kebebasan berpendapat lewat unjuk rasa, menggunakan kekerasan berlebihan (police brutality), dan berlaku partisan; bahkan belakangan terkait kasus Irjen FS juga disebut-sebut di ruang publik terkait dengan dugaan jaringan 303 (judi liar daring dan luring), narkoba, dan prostitusi.
Reformasi Polri yang kadang-kadang ditegaskan pimpinan Polri di masa pasca-UU No 2/2002 terdiri atas tiga aspek: reformasi struktural mencakup perubahan institusi kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan; reformasi instrumental menyangkut filosofi visi, misi, dan tujuan—termasuk regulasi, fungsi, dan perencanaan; serta reformasi kultural mencakup doktrin, perekrutan, pendidikan, dan operasional.
Jika ketiga aspek reformasi ini dikontraskan dengan fenomena dan realitas di lingkungan Polri, terlihat kesenjangan seperti terungkap, misalnya, dalam kasus pembunuhan Brigadir J yang diotaki Irjen FS. Kesenjangan dan penyimpangan dari paradigma reformasi Polri mesti segera diatasi. Jika tidak, Polri terus kehilangan kredibilitas dan akuntabilitasnya.
Untuk itu, perlu reformasi struktural—misalnya seperti sudah lama diusulkan banyak kalangan—agar institusi Polri ditempatkan di Kementerian Dalam Negeri (atau yang lain, sebagaimana TNI di bawah Kementerian Pertahanan) dengan menerapkan tata kelola good governance; bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Juga agar visi dan misi organisasi Polri lebih berorientasi menjadi polisi sipil—mitra humanis berbagai lapisan warga. Akhirnya, agar Polri secara kultural berpegang pada budaya demokrasi dengan segala cakupannya dan HAM.