Kepemimpinan murid bermakna pemberdayaan murid. Melalui guru, sekolah mesti mengajak murid mengenali potensi dirinya, mengenali kebutuhan belajarnya, dan mendampingi mereka agar kelak menjadi pemimpin di masyarakat.
Oleh
MASBAHUR ROZIQI
·5 menit baca
”Menurut saya, Pak Ziqi sudah sangat menghargai anak, tapi kekurangannya, Bapak itu permainannya kurang menantang. Buat game yang lebih seru Pak saat di kelas, biar ndak boring (tidak membosankan), selebihnya oke kok.”
Tulisan itu sebagian dari ratusan tulisan murid saya. Bagian dari kegiatan refleksi kegiatan layanan bimbingan dan konseling yang saya lakukan selama setahun. Saya meminta anak-anak menyampaikan kesan dan pesan terkait layanan saya. Semuanya menulis pada kertas atau laman Google Form. Boleh memilih salah satu. Tujuannya, memberi kesempatan kepada murid memiliki kegiatan layanan dan mendapatkan ide-ide baru dari para murid.
Refleksi yang saya kemas dalam bentuk curah pendapat itu bagian dari menumbuhkembangkan kepemimpinan murid. Kepemimpinan murid bukan berarti murid harus selalu jadi ketua organisasi. Alhamdulillah jika sudah ada yang bisa meraihnya. Namun, tentu tidak semua. Tiap anak punya karakternya. Mengajak anak menyampaikan pendapat, bertanya, memprotes, mengkritik, termasuk upaya menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.
Selama ini saya sendiri merasa sekolah masih terjebak pada ekosistem mencekoki murid.
Selama ini saya sendiri merasa sekolah masih terjebak pada ekosistem mencekoki murid. Kurikulum turun dari pusat, dan bapak-ibu guru menjadi penafsir tunggal atas program kurikulum tersebut. Murid hanya perlu ikut. Tanpa perlu urun rembuk. Semua kompetensi dasar dan kompetensi inti sudah pemerintah tentukan. Harus urut. Tidak boleh menyalip antara satu kompetensi dan kompetensi lain. Bahkan jika kompetensi itu kurang diminati murid, ya, harus tetap guru berikan. Agar tidak dianggap tidak kerja. Atau bahkan dianggap melawan pemerintah.
Berawal dari situ, sudah saatnya sekolah berubah. Bapak-ibu guru wajib berubah. Hal penting ada yang terlupakan, yakni eksistensi kepemimpinan murid. Jika membaca kepemimpinan murid, tidak perlu membayangkan harus murid yang pengurus OSIS. Atau murid yang jadi pengurus kelas. Tidak harus. Kepemimpinan murid bermakna pemberdayaan murid. Guru menuntun murid berdasarkan kodratnya. Menjembatani kodrat murid untuk memiliki profil pelajar Pancasila dalam mengaktualisasikan kemampuan atau keterampilannya pada proses pembelajaran dan berinteraksi di sekolah.
Murid memiliki fase perkembangan. Mereka juga memiliki karakter sendiri. Antara murid satu dan murid lain berbeda. Cara penyikapan atas kehidupan juga tentu akan berlainan. Termasuk bagaimana mereka mengelola diri, ini jelas berbeda dan unik sesuai ciri khas masing-masing. Sekolah mesti mewadahi ini. Melalui guru, sekolah mesti mengajak murid mengenali potensi dirinya, mengenali kebutuhan belajarnya, dan mendampingi mereka untuk mencapai tugas perkembangan dan capaian pembelajaran selama berada di sekolah. Sebagai bekal nantinya terjun di masyarakat. Baik untuk berkarier maupun melanjutkan studi.
Ada beberapa elemen yang harus sekolah perhatikan berkaitan dengan kepemimpinan murid. Penumbuhkembangannya dapat sekolah lakukan dengan mengacu pada tiga hal. Pertama, suara murid; kedua, pilihan murid; dan ketiga, kepemilikan murid. Mari kita bahas satu per satu.
Pertama, suara murid. Saat berbicara tentang suara murid, bukan berarti hanya mendiskusikan pemberian kesempatan kepada murid untuk menyampaikan pendapat. Namun, ada yang lebih dari itu, yakni bagaimana guru memberdayakan murid agar memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan. Suara murid yang otentik memberi mereka peluang untuk berkolaborasi bersama bapak-ibu guru. Terutama menentukan bagaimana mereka belajar dan bagaimana pembelajaran mereka dinilai.
Suara murid ini dapat ditumbuhkan dengan berbagai cara. Di antaranya adalah membentuk dewan murid untuk memberi masukan kepada sekolah, mengajak murid merefleksikan pembelajaran/layanan BK selama setahun, membangun budaya saling mendengarkan, dan kegiatan ekspresif lain yang mewadahi penyampaian suara murid. Tentu ini bisa juga berkolaborasi bersama pihak masyarakat sekitar sekolah atau pihak manajemen sekolah agar penyampaian suara murid lebih bergaung. Kemudian, murid makin merasa terlibat bersuara demi kemajuan sekolah.
Kedua, pilihan murid. Selama ini pemberian kemerdekaan kepada murid dalam pembelajaran masih sebatas pada beberapa hal kecil, seperti pada waktu pengumpulan tugas atau dikumpulkan pada siapa. Namun, kebebasan untuk menentukan apa dan bagaiamana murid akan belajar masih belum jamak dilakukan oleh sekolah. Padahal, menurut Thibodeaux (2017), jika sekolah menginginkan murid untuk mengambil tanggung jawab atas pembelajaran mereka, murid harus mendapat kesempatan memilih apa dan bagaimana mereka akan belajar.
Suara murid yang otentik memberi mereka peluang untuk berkolaborasi bersama bapak-ibu guru.
Selama ini skema tersebut masih absen pada kebiasaan pendidikan formal kita. Sebagian besar masih berbentuk top down. Perintah langsung tanpa kritik sehingga anak hanya mengetahui apa yang sudah digariskan guru. Tanpa memiliki peluang untuk mengusulkan cara berbeda. Ini pula yang mengakibatkan mereka menjadi lebih seragam. Berpatokan pada satu hal. Jika ada yang berbeda pandangan akan mereka gencet atau minimal tidak dihargai. Bahkan memandang sebelah mata/mereka anggap remeh. Tentu tidak bagus bagi perkembangan pendidikan multikultural dan penyemaian toleransi. Kesempatan memilih bagaimana mereka akan belajar, apa bentuknya, hingga proses pemaknaan atas hasil belajar mereka perlu melibatkan murid secara komprehensif.
Ketiga, kepemilikan murid. Muara suara murid dan pilihan murid ini nantinya berujung pada kepemilikan murid, yakni murid akan merasa memiliki atas apa yang telah dia suarakan dan telah dia pilih. Termasuk pula murid lebih bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri dan menunjukkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses belajar. Ini bisa diformulasikan dengan konsep dari murid, oleh murid, dan untuk murid. Senada dengan konsep demokrasi.
Didie SW
Damiano-Lantz (1993) dalam artikelnya, ”Developing Ownership in Learning”, menjelaskan bahwa kepemilikan dalam belajar mengacu pada rasa keterhubungan, keterlibatan aktif, dan minat seseorang dalam belajar. Jadi, ketika murid telah terhubung dan asyik secara kognitif, sosial emosional, dan fisik atas apa yang sedang mereka pelajari, kemudian mereka juga terlibat aktif dan sangat berminat dalam proses belajarnya, mereka berarti telah merasa memiliki kegiatan belajar itu. Proses belajar yang telah murid merasa miliki akan lebih bermakna dan membekas pada hati mereka sehingga internalisasi kepemimpinan murid menghasilkan pembelajaran bermakna bagi tiap anak.
Tentu harapannya penumbuhkembangan kepemimpinan murid ini akan terus menjamur di setiap sekolah. Tulisan ini saya harapkan dapat menjadi pemantik bagi sekolah dan masyarakat untuk bisa diterapkan bersama anak-anak. Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid tidak ada ruginya. Justru sekolah akan mendapat banyak ide. Tidak ribet. Asal melakukannya dengan hati dan tetap tidak lupa bahagia. Selamat menumbuhkembangkan kepemimpinan murid!
Masbahur Roziqi,Calon Guru Penggerak SMAN 1 Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur