Pandemi, ”One Health”, dan Lingkungan
Konsep "One Health" dilaksanakan sebagai pendekatan kolaboratif dalam pelayanan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara terpadu lintas sektor dan bersama masyarakat.
Pandemi Covid-19 berdampak amat besar pada berbagai sendi kehidupan. Dari sisi kesehatan, sampai 20 Juni 2022 di dunia sudah ada lebih dari 536 juta kasus dengan lebih dari enam juta kematian.
Untuk pengendaliannya, sekitar 12 miliar dosis vaksin telah disuntikkan bagi penduduk bumi.
Walau sudah lebih dari dua tahun berjalan dan berbagai upaya sudah dilakukan, sampai sekarang dunia masih dalam pandemi.
Hal ini dinyatakan langsung oleh Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pada pembukaan pertemuan Menteri Kesehatan G20 di Yogyakarta, 20 Juni 2022. Secara tegas Dr Ghebreyesus menyatakan, persepsi yang salah untuk menyatakan bahwa pandemi sudah berakhir.
Baca juga: G20 Dorong Transfer Teknologi untuk Produksi Vaksin Berbasis mRNA
Secara umum, memang ada kemajuan. Jumlah kasus di dunia sudah menurun dan banyak negara sudah memberlakukan berbagai pelonggaran. Namun, pandemi masih berlangsung. Di sebagian negara, kasus masih meningkat. Di sisi lain, jumlah tes dan pemeriksaan sekuens genomik justru berkurang sehingga makin sulit bagi kita untuk mengamati kemungkinan evolusi virus.
Dr Ghebreyesus juga mengatakan, sekitar 40 persen warga dunia belum divaksin Covid-19 dan tetap ada risiko munculnya varian baru yang lebih berbahaya. Kerja sama global amat penting dalam pengendalian pandemi Covid-19.
Upaya kini
Untuk Indonesia, dalam beberapa waktu ini kasus sedang meningkat. Pada 21 Mei 2022, ada 263 kasus baru dalam sehari dan pada 21 Juni 2022 tercatat 1.678 kasus baru.
Bahkan pada 22 Juni hampir menyentuh 2.000 sehari. Peningkatan nyata dalam waktu satu bulan. Angka kepositifan yang tadinya sudah di bawah 1 persen terus merangkak naik. Di beberapa daerah angkanya bahkan sudah di atas 5 persen.
Setidaknya perlu ditingkatkan jumlah pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) untuk mengetahui ada varian yang dominan dari ribuan kasus kita sepanjang Juni.
Untuk mengendalikan kenaikan kasus, beberapa langkah perlu dilakukan. Pertama, menganalisis secara lebih pasti penyebab kenaikan. Apakah karena varian BA.5 dan BA.4, karena pelonggaran kebijakan penggunaan masker, karena masyarakat sudah banyak abai dengan protokol kesehatan (prokes), karena gabungan semua itu, atau karena hal lain?
Untuk itu, setidaknya perlu ditingkatkan jumlah pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) untuk mengetahui ada varian yang dominan dari ribuan kasus kita sepanjang Juni. Juga perlu dilakukan penyelidikan epidemiologi secara mendalam pada semua/sebagian besar kasus baru tiap hari. Kalau kita sudah tahu sebab pasti kenaikan kasus, upaya pengendalian bisa dilakukan secara lebih terarah.
Sementara itu, masyarakat perlu tetap menjaga protokol kesehatan sesuai dengan aturan berlaku. Juga perlu perhatian khusus untuk kelompok risiko tinggi, seperti lanjut usia (lansia) dan kelompok dengan komorbid, karena jika kasus terus naik, mereka yang kemungkinan terdampak lebih berat.
Upaya yang juga amat penting adalah vaksinasi. Data Kementerian Kesehatan per 21 Juni 2022, cakupan vaksinasi lengkap kita mencapai 80,93 persen, tetapi laman Our World in Data menyebut cakupan kita per 15 Juni baru mencapai 60,9 persen. Dr Ghebreyesus di Yogyakarta juga menyebutkan cakupan RI sekitar 60 persen.
Angka Kemenkes lebih tinggi karena pembaginya adalah target yang akan divaksin, yaitu 208 juta orang, bukan total jumlah penduduk. Sementara angka cakupan 60 persen pembaginya adalah total jumlah penduduk. Data Kemenkes 21 Juni 2022 juga menyebut yang sudah menerima vaksinasi dosis ketiga (booster) baru 23,63 persen.
Masyarakat perlu tetap menjaga protokol kesehatan sesuai dengan aturan berlaku.
Angka ini jelas harus ditingkatkan dengan serius karena dosis ketiga diperlukan untuk perlindungan terhadap varian yang kini berkembang. Selain itu, proteksi dari vaksinasi lengkap dua dosis akan turun dalam beberapa bulan sesudah pemberian. Beberapa negara bahkan sudah memberikan dosis keempat atau booster kedua, setidaknya pada kelompok dengan risiko tinggi.
”One Health”
Dalam perkembangan awal Covid-19, penyakit ini dihubungkan dengan hewan tertentu. Pernah disebut peran kelelawar dan trenggiling. Dalam perjalanan berikutnya juga pernah dilaporkan penularan pada cerpelai, kucing, dan lain-lain. Karena itu, secara umum orang menghubungkan Covid-19 dengan penyakit zoonosis, yang berhubungan dengan hewan.
Beberapa tahun lalu dunia juga pernah dihebohkan dengan merebaknya flu burung yang ditularkan unggas. Di beberapa tempat di negara kita juga dilaporkan adanya kasus rabies pada manusia akibat gigitan anjing, anthrax, serta berbagai penyakit zoonosis lain.
Baca juga: Pendekatan ”One Health” dalam Penanganan Masalah Kesehatan
Data dunia menunjukkan 60 persen patogen penyebab penyakit pada manusia berhubungan dengan hewan peliharaan atau hewan liar. Kemudian, 75 persen patogen yang baru muncul juga berasal dari hewan, dan 80 persen patogen dalam kaitan bioterorisme juga berhubungan dengan hewan.
Gangguan pada pasokan hewan juga bisa memengaruhi pola makan dan keamanan pangan kita. Diperkirakan dibutuhkan lebih dari 70 persen tambahan protein hewani untuk konsumsi manusia sampai 2050. Karena pentingnya hubungan kesehatan manusia dan kesehatan hewan serta lingkungan, maka dikenal konsep ”One Health” (Kesehatan Satu Bersama).
One Health dilaksanakan sebagai pendekatan kolaboratif dalam pelayanan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara terpadu lintas sektor dan bersama masyarakat.
Pendekatan yang tadinya banyak dihubungkan dengan pengendalian penyakit zoonosis ini kemudian berkembang ke penanganan penyakit infeksi baru (emerging diseases) dan yang muncul kembali (reemerging), serta lalu dikaitkan dengan pengendalian pandemi kini dan di masa datang, dalam bentuk pencegahan, persiapan menghadapi, dan respons bila pandemi kembali terjadi.
One Health juga mencakup area keamanan pangan, penyakit tropik terabaikan (neglected tropical diseases) dan resistansi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR). Karena luasnya dampak dan cakupan dari One Health, tepat jika dikatakan bahwa ”there is no health without one health”.
One Health juga mencakup area keamanan pangan, penyakit tropik terabaikan ( neglected tropical diseases) dan resistansi antimikroba ( antimicrobial resistance/AMR).
Mengingat pentingnya penerapan konsep One Health, pada 17 Maret 2022 pimpinan empat organisasi dunia—FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian), WOAH (Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan), UNEP (Program Lingkungan PBB) dan WHO—menandatangani nota kesepahaman (MoU), yang disebut sebagai era baru implementasi One Health.
MoU ini memberi landasan formal untuk menangani masalah kesehatan masyarakat, hewan, tanaman, dan ekosistem secara terkoordinasi dan terintegrasi. Sebagai tindak lanjut, sudah disusun pula Joint Plan of Action di tingkat global.
Akan amat baik kalau sebagai tindak lanjut, kita di Indonesia juga membuat forum multisektoral One Health di tingkat nasional yang bersifat formal, dengan melibatkan kementerian terkait, organisasi profesi, akademisi, serta pemangku kepentingan terkait lainnya.
Kemudian, perlu dibuat rencana kerja nasional dan daerah, dan paling utama implementasi nyata di lapangan. Kerja nyata di lapangan makin diperlukan karena presidensi G20 Indonesia memasukkan One Health sebagai salah satu agenda, bersama tuberkulosis dan AMR.
Lingkungan
Kita tahu pentingnya pelestarian lingkungan sehat. Sejak tahun 1972, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menetapkan adanya Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang kita peringati setiap tanggal 5 Juni.
Berbagai perubahan lingkungan global yang terjadi, akan memengaruhi kesehatan manusia, seperti perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, degradasi lahan, berkurangnya sumber daya air, perubahan fungsi ekosistem, dan kehilangan keanekaragaman hayati.
Perubahan iklim dalam arti luas (climate change) tersebut akan memengaruhi perubahan cuaca regional/kawasan sampai dalam bentuk cuaca ekstrem, kenaikan temperatur, perubahan pola curah hujan, dan kenaikan muka air laut.
Perubahan iklim bisa memengaruhi kesehatan manusia dengan dua cara: langsung dan tak langsung.
Perubahan iklim bisa memengaruhi kesehatan manusia dengan dua cara: langsung dan tak langsung. Dampak langsung berupa paparan langsung dari perubahan pola cuaca, baik berupa fluktuasi temperatur, curah hujan, kenaikan muka air laut, ataupun peningkatan frekuensi cuaca ekstrem.
Dampak tidak langsung bisa lewat mekanisme tertentu. Misalnya, perubahan iklim memengaruhi faktor lingkungan seperti perubahan kualitas lingkungan, termasuk kualitas air, udara, dan makanan, serta perubahan pola hidup vektor penular penyakit.
Peningkatan temperatur sebesar 2-3 celsius akan meningkatkan jumlah penderita penyakit tular vektor 3-5 persen. Peningkatan temperatur juga akan memperluas distribusi vektor dan meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan parasit jadi lebih infektif.
Sementara perubahan curah hujan bersamaan dengan perubahan temperatur dan kelembaban bisa meningkatkan atau mengurangi kepadatan populasi vektor penyakit dan kontak manusia dengan vektor penyakit. Ekosistem rawa dan mangrove yang berubah juga bisa menyebabkan pola penyebaran vektor penyakit berubah.
Baca juga: Krisis Iklim Tingkatkan Risiko Kesehatan
Penipisan lapisan ozon di stratosfer dapat meningkatkan risiko terkena kanker kulit, sementara peningkatan temperatur akibat perubahan iklim dapat meningkatkan konsentrasi ozon permukaan yang merupakan salah satu pencemar udara utama yang dapat menyebabkan penyakit pernapasan.
Kehilangan keanekaragaman hayati bisa menyebabkan langkanya bahan baku obat dari tumbuhan. Penurunan sumber daya air menyebabkan akses yang terbatas terhadap air bersih dan sanitasi yang sehat dengan berbagai akibatnya.
Perubahan iklim dapat menimbulkan penyakit/kematian akibat iklim ekstrem, longsor, banjir, badai, dan bencana alam lain. Lebih jauh, bisa terjadi malnutrisi akibat terganggunya sumber makanan dan panen.
Dalam mengendalikan dampak buruk perubahan lingkungan, perlu dilakukan kajian kerentanan dan penilaian risiko sektor kesehatan akibat perubahan iklim. Juga dapat dibuat kajian hubungan antara perubahan iklim dan perkembangan penyakit menular melalui vektor, air atau udara, terjadinya bencana dan kecelakaan serta penyakit tak menular.
Kemudian, dibentuk upaya memperkuat sistem kewaspadaan dini dan tanggap darurat terhadap bencana, baik bencana alam maupun ancaman penyakit menular. Upaya pencegahan perburukan perubahan iklim juga perlu jadi prioritas dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pengertian lebih luas, kita mengenal istilah determinasi sosial kesehatan (social determinants of health), yaitu faktor nonmedik yang memengaruhi status kesehatan.
Kondisi ini mencakup mulai dari ketika seseorang lahir, bertumbuh besar, pendidikan, bekerja dan berinteraksi dengan manusia lain, lingkungan sekitar serta sistem yang ada. Ini juga terkait dengan kebijakan ekonomi, pembangunan daerah dan nasional bahkan global, norma sosial, dan bahkan perkembangan politik juga.
Baca juga: Indonesia dan Kesehatan Dunia
Tegasnya, kesehatan tidak dapat berdiri sendiri. Banyak faktor yang akan memengaruhi yang perlu diketahui dan dikuasai untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa.
Kita ucapkan selamat ulang tahun ke-57 harian Kompas yang kita cintai bersama. Dalam 43 tahun ke depan menjelang Kompas 100 tahun, perubahan iklim jelas akan menjadi tantangan dunia. Berbagai penyakit menular baru juga pasti akan muncul, dan pendekatan One Health menjadi amat penting. Kita semua tahu, akan ada pandemi lagi di masa datang. Yang kita belum tahu, kapan terjadi.
Yang bisa kita lakukan adalah pencegahan dan persiapan pengendalian. Tentu yang paling utama kebiasaan hidup bersih dan sehat. Ingat, kesehatan adalah milik berharga yang harus kita jaga secara saksama. Health is not everything, but without health everything is nothing.
Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI; Guru Besar FKUI; Mantan Direktur WHO Asia Tenggara