Laporan Lancet Countdown 2021 memberikan peringatan serius akan risiko kesehatan di masa depan terkait upaya pengendalian perubahan iklim dan pemulihan pascapandemi Covid-19.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemulihan Covid-19 yang tidak sesuai dengan Persetujuan Paris akan berimplikasi pada situasi kesehatan jangka panjang. Berbagai potensi peningkatan penyakit akibat perubahan iklim akan dihadapi negara berkembang ataupun negara dengan indeks pembangunan manusia yang sangat tinggi.
Menurut laporan terbaru dari Lancet Countdown tentang kesehatan dan perubahan iklim yang dirilis Kamis (21/10/2021) malam waktu Indonesia, tidak adanya upaya integrasi mitigasi perubahan iklim ke dalam rencana pemulihan Covid-19 akan meningkatkan dan memperburuk risiko kesehatan masyarakat. Risiko ini akan dihadapi terutama oleh masyarakat yang terpapar kerawanan pangan dan air, gelombang panas, serta penyebaran penyakit menular.
Laporan dari Lancet Countdown ini mengidentifikasi 44 indikator dampak kesehatan yang terkait langsung dengan perubahan iklim. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa banyak negara kurang siap menghadapi dampak kesehatan dari perubahan iklim. Padahal, perubahan iklim memicu berbagai dampak bagi kesehatan manusia.
Hasil laporan menunjukkan bahwa perubahan iklim memicu peningkatan potensi wabah demam berdarah dengue, chikungunya, dan zika. Wabah penyakit ini diprediksi akan meningkat pesat di negara-negara dengan indeks pembangunan manusia (IPM) yang sangat tinggi, termasuk Eropa. Sedangkan infeksi malaria akan meningkat di negara dengan IPM rendah, khususnya daerah dataran tinggi dengan cuaca relatif dingin.
Kita pulih dari pandemi dengan cara yang membahayakan kesehatan kita sendiri.
Di sisi lain, sistem pelayanan kesehatan tidak akan siap menghadapi peningkatan risiko penyakit akibat perubahan iklim saat ini ataupun di masa depan. Hal ini juga ditegaskan dalam hasil survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2021 tentang kesehatan dan perubahan iklim yang dirilis awal Oktober lalu.
Dalam laporan WHO tersebut, hanya 45 dari 91 negara yang disurvei memiliki rencana atau strategi kesehatan dan perubahan iklim nasional. Selain itu, 8 dari 45 negara melaporkan bahwa dampak perubahan iklim terhadap kesehatan warganya telah memengaruhi alokasi sumber daya manusia dan keuangan.
Perubahan iklim juga meningkatkan risiko banjir, badai yang lebih intens, serta peningkatan salinitas pada tanah dan air. Risiko ini akan mengancam 569 juta orang di dunia yang tinggal di daerah dengan ketinggian kurang dari 5 meter di atas permukaan laut. Pada akhirnya mereka terpaksa akan meninggalkan daerah tersebut dan bermigrasi ke daerah pedalaman.
Penulis utama laporan tersebut sekaligus Direktur Riset Lancet Countdown Maria Romanello menyatakan, hasil studi ini menjadi laporan keenam tentang dampak perubahan iklim dan kesehatan yang disusun oleh Lancet Countdown. Namun, ia menyayangkan bahwa negara-negara di dunia kurang ambisius dalam melakukan transisi energi terbarukan ataupun penanggulangan polusi.
Negara-negara di dunia saat ini tengah menganggarkan triliunan dollar AS untuk pemulihan pandemi Covid-19. Kondisi ini sebenarnya memberikan peluang dan kesempatan agar setiap negara menetapkan pembangunan yang lebih aman, bersih, dan rendah karbon. Akan tetapi, upaya ini belum tampak dilakukan oleh setiap negara.
”Hanya satu dari lima dollar anggaran pemulihan Covid-19 dari sejumlah negara yang diperkirakan akan mengurangi emisi gas rumah kaca. Sedangkan sebagian besar anggaran dialokasikan untuk pemulihan dengan dampak yang cenderung negatif. Kita pulih dari pandemi dengan cara yang membahayakan kesehatan kita sendiri,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Lancet Countdown Anthony Costello mengatakan, identifikasi dalam laporan ini mencatat banyak indikator berwarna merah. Artinya, masih banyak upaya dari setiap negara yang belum mendukung penanggulangan perubahan iklim.
Padahal, menurut dia, upaya negara-negara di dunia untuk memulihkan ekonomi pascapandemi dapat diintegrasikan untuk menanggulangi perubahan iklim secara bersamaan. Pemulihan ekonomi dari Covid-19 dapat lebih hijau sekaligus meningkatkan kesehatan manusia dan mengurangi berbagai dampak dari perubahan iklim.
Temuan lain
Selain aspek kesehatan, laporan ini juga mencatat temuan lainnya terkait dampak perubahan iklim saat ini. Perubahan iklim memicu peningkatan frekuensi, intensitas, dan durasi kekeringan, mengancam ketahanan air, sanitasi, produktivitas pangan, serta meningkatkan risiko kebakaran hutan hingga paparan polutan. Afrika menjadi salah satu wilayah yang terkena dampak kekeringan ekstrem ini sejak lima tahun terakhir.
Perubahan iklim bahkan turut mengancam ketahanan pangan setiap negara. Hal ini terjadi akibat peningkatan suhu bumi sehingga mempersingkat proses kematangan tanaman dan menurunkan produktivitas. Tercatat produksi sejumlah komoditas di beberapa negara telah mengalami penurunan hasil panen. Jagung mengalami penurunan 6 persen dalam potensi hasil panen, gandum penurunan 3 persen, dan beras penurunan 1,8 persen, dibandingkan dengan periode 1981-2010.
Laporan juga mengungkap bahwa negara dengan IPM rendah kerap tidak bertanggung jawab dalam peningkatan emisi gas rumah kaca. Mereka juga cukup tertinggal dalam upaya adaptasi ataupun mitigasi perubahan iklim.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, laporan ini menunjukkan bahwa perubahan iklim sangat berkaitan dengan aspek kesehatan. Peningkatan kualitas udara, pola makan, dan aktivitas fisik merupakan bagian dari sepuluh rekomendasi WHO untuk mengatasi perubahan iklim dan menghindari dampak terburuk pada kesehatan atas krisis iklim yang terjadi.
”Pemimpin setiap negara di COP 26 (Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim) harus mencegah bencana kesehatan yang akan datang dengan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius. Laporan ini diharapkan dapat meningkatkan aksi perubahan iklim yang dibutuhkan,” ucapnya.