G20 Dorong Transfer Teknologi untuk Produksi Vaksin Berbasis mRNA
Pertemuan Menteri Kesehatan G20 mendorong transfer teknologi untuk memproduksi vaksin berbasis mRNA. Transfer teknologi penting untuk pemerataan akses vaksin, termasuk antisipasi pandemi di masa depan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Pertemuan Menteri Kesehatan G20 yang digelar di Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (20/6/2022), antara lain mendorong transfer teknologi untuk memproduksi vaksin berbasis mRNA. Transfer teknologi itu penting untuk pemerataan akses vaksin. Tidak hanya mengatasi pandemi Covid-19, tetapi juga mengantisipasi situasi serupa di masa mendatang.
”Kalau ada pandemi lagi dan ketahuan jenis virusnya, dengan teknologi mRNA ini, dalam 100 hari vaksinnya bisa siap untuk uji klinis,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam konferensi pers di sela-sela Pertemuan Menteri Kesehatan G20, Senin sore, di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pertemuan Menteri Kesehatan G20 itu dihadiri 80 delegasi sejumlah negara dan lembaga internasional. Acara itu juga dihadiri secara langsung Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus. Selain Pertemuan Menteri Kesehatan G20, pada Selasa (21/6) juga akan dilaksanakan Pertemuan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan G20.
Budi memaparkan, Pertemuan Menteri Kesehatan G20 membahas tiga agenda utama. Pertama, memperkuat ketahanan sistem kesehatan global. Kedua, harmonisasi standar protokol kesehatan global. Adapun yang ketiga, memperluas pusat manufaktur dan penelitian global untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi.
Selain itu, kata Budi, pertemuan tersebut juga membahas lima target konkret. Target pertama adalah ketersediaan sumber daya keuangan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanggulangan pandemi. Kedua, menyediakan akses ke tindakan medis darurat. Sementara ketiga, membangun jaringan global laboratorium surveilans genomik dan memperkuat mekanisme berbagi data yang tepercaya.
Target keempat terkait dengan sertifikat vaksin yang diakui bersama di titik masuk negara. Sementara itu, target kelima soal teknologi vaksin mRNA serta perluasan pusat manufaktur dan penelitian global untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi.
Budi menyebut, saat ini, WHO sudah memprakarsai transfer teknologi vaksin berbasis mRNA di sejumlah negara, misalnya Afrika Selatan, Argentina, dan Brasil. Bahkan, sejak Juni 2021, WHO telah mendirikan Pusat Transfer Teknologi mRNA di Afrika Selatan.
Budi menambahkan, ke depan, transfer teknologi vaksin berbasis mRNA juga akan dilakukan di Indonesia dan India. ”India sudah memiliki kapasitas (untuk memproduksi vaksin) dan kita juga sudah punya kapasitas, tetapi kita butuh akses untuk teknologi vaksin berbasis mRNA,” tuturnya.
Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan, Pusat Transfer Teknologi mRNA yang diinisiasi WHO memiliki dua pilihan untuk pengembangan teknologi vaksin berbasis mRNA. Pilihan pertama adalah melakukan transfer teknologi dari perusahaan farmasi besar yang sudah melakukan produksi vaksin berbasis mRNA.
Adapun pilihan kedua adalah mengembangkan sendiri teknologi untuk produksi vaksin berbasis mRNA. ”Ini (pilihan kedua) membutuhkan waktu lebih lama, tetapi memungkinkan,” ujar Tedros yang juga hadir dalam konferensi pers bersama Budi di sela-sela Pertemuan Menteri Kesehatan G20.
WHO sudah memprakarsai transfer teknologi vaksin berbasis mRNA di sejumlah negara, misalnya Afrika Selatan, Argentina, dan Brasil.
Pembentukan FIF
Budi memaparkan, Pertemuan Menteri Kesehatan G20 itu juga membahas pembentukan Financial Intermediary Fund (FIF) atau Dana Perantara Keuangan. FIF dibentuk sebagai persiapan penanganan pandemi di masa depan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sudah ada lima negara dan satu lembaga internasional yang berkomitmen mengucurkan dana dengan nilai total sekitar 1,1 miliar dollar AS untuk FIF. Salah satu negara yang telah memberikan komitmen itu adalah Indonesia.
Indonesia telah berkomitmen untuk berkontribusi 50 juta dollar AS untuk FIF, Singapura berkomitmen sebesar 10 juta dollar AS, Amerika Serikat 450 juta dollar AS, Uni Eropa 450 juta dollar AS, Jerman 52,7 juta dollar AS, dan lembaga Wellcome Trust 12,3 juta dollar AS.
Budi menambahkan, selain pembentukan FIF, Pertemuan Menteri Kesehatan G20 juga membahas pengembangan mekanisme formal agar dana di FIF bisa digunakan untuk mengakses vaksin, obat-obatan, serta peralatan kesehatan saat terjadi pandemi. ”Kalau uangnya sudah ada, bagaimana caranya kita bisa punya akses ke barang,” ujarnya.
Tedros menyatakan, WHO dan Bank Dunia memperkirakan, dibutuhkan sekitar 31 miliar dollar AS atau Rp 459 triliun per tahun untuk memperkuat keamanan kesehatan global. ”Dua pertiga dari kebutuhan itu bisa dipenuhi dari sumber daya yang ada, tetapi masih ada kekurangan 10 miliar dollar AS per tahun,” ujarnya.
Oleh karena itu, pembentukan FIF diharapkan bisa memenuhi kekurangan tersebut. Tedros menambahkan, WHO dan Bank Dunia sedang bekerja sama untuk menentukan bagaimana bentuk FIF. Selain itu, WHO juga mendengarkan masukan-masukan dari negara-negara G20 dalam proses tersebut.